Dua hari menjelang hari raya, Fasla menyibukkan diri di dapur bersama Bi Irma, mereka tengah membuat ketupat dan bahan berbuka puasa hari ini.
Fasla membuang air bekas mencuci beras yang akan dijadikan ketupat itu ke wastafel, ia menoleh ke belakang, menatap Bi Irma yang tengah mengupas bawang.
"Besok Bibi beneran mau pulang kampung?" tanya Fasla, ia menghampiri meja berisi bahan-bahan masakan yang ia beli bersama wanita itu di supermarket. Meletakkan baskom yang memuat beras tadi dan duduk tak jauh dari wanita itu.
"Iya, Neng. Tahun kemarin 'kan Bibi nggak pulang, masa tahun ini nggak pulang juga."
Fasla Menghela napasnya sejenak. "Pengen ikut Bibi deh," celetuk dia.
Bi Irma melempar senyum pada gadis itu sembari mencuci tangannya. "Kalo Neng ikut Bibi, Kasian Pak Johan sendirian."
Fasla menopang dagunya dengan salah satu tangannya. "Kalo di kampung pasti seru 'kan, Bi? Di rumah ini sepi, nggak serame di rumah Tante Wika juga."
Fasla memperhatikan Bi Irma yang hanya menanggapinya dengan seulas senyum, ia kembali berkata, "Nanti kapan-kapan Bibi ajak Neng ke kampung Bibi, ya? Katanya 'kan di kampung tuh seru, banyak anak-anak, bisa main kotor-kotoran di sawah juga."
"Iya seru banget, apalagi menjelang hari raya gini, biasanya pada bagi-bagi ketupat ke tetangga meskipun dikit, biar ikut ngerasain," ucap Bu Irma.
Mendengar itu, Fasla kian merengek. "Bi, Neng pengen ikut."
"Neng nggak kumpul sama keluarga Neng di sini emangnya?" tanya Bi Irma.
Benar juga, Bi Irma pulang kampung pasti tujuannya untuk berkumpul, tidak mungkin Fasla mengganggu momen setahun sekali wanita itu. "Neng di sini aja deh, temenin Acil."
Bi Irma sedikit merasa bersalah karena membuat anak majikannya itu tampak murung. "Maaf, ya, Neng. Tapi Bibi janji kita ke sana lain waktu, kalo Neng udah baikan sama Pak Johan."
Fasla bangkit dari duduknya dan berlalu menghampiri wanita itu, tatapan mereka bertemu, kedua tangan Fasla berada di lengan atas Bi Irma. "Bi." Fasla menjatuhkan erat tubuhnya pada wanita itu, ia memeluknya.
"Karena hari raya nanti Bibi nggak di sini, Neng minta maaf sekarang aja. Maafin semua tingkah Neng, Bi, Bibi paham semua sifat Neng yang kadang keras kepala. Neng pasti kangen banget sama Bibi."
Pelukan yang Fasla dapat dari wanita itu mungkin memang tak sehangat pelukan dari sosok ibu, tetapi Fasla menyukainya, ia nyaman berada dalam dekapan tangan Bi Irma. "Bibi jangan lama-lama."
Jemari Bi Irma mengusap sudut mata Fasla yang berair, ia mengecup singkat pucuk kepala anak itu. "Bibi pasti maafin, Neng itu anak baik."
"Jangan bosan kalo Bibi panggil kamu dengan sebutan 'Neng' ya, karena dari dulu Bibi pengen banget punya anak perempuan, dan kamu adalah sosok anak perempuan yang harus Bibi jaga," tutur Bi Irma terdengar sangat tulus. Satu kecupan mendarat lagi di pipi kanan Fasla telah kering dari sisa air mata.
Fasla mengusap lembut wajah wanita di hadapannya. Wanita yang selalu ada sedari ia masih belum bisa apa-apa, sampai sekarang dirinya sudah sebesar ini. "Bibi adalah Ibu terbaik yang Neng kenal. Bibi orang tersabar yang bisa hadapin semua sifat Neng di saat semua orang bersikap egois."
Fasla kembali mendekap tubuh wanita yang usianya hampir enam puluh tahun itu. "Sampai kapan pun Bibi tetap Ibunya Neng."
Fasla merasakan gelengan kepala dari Bi Irma, wanita itu menyangkal, "Bibi nggak pantas Neng sebut Ibu, Bibi hanya orang biasa."
Fasla menepis kuat ucapan itu, bukan tentang materi atau asal usul suatu orang dapat dikatakan pantas atau tidak, tetapi ketulusan yang tertanam lekat dalam hatinya.
"Neng punya orang tua, tapi Neng lebih bersyukur punya Bibi karena orang tua Neng sendiri nggak pernah bersyukur punya anak kaya Neng."
Bi Irma melepas dekapan anak gadis itu, ia menempelkan telunjuknya di bibir Fasla. "Sst, nggak boleh ngomong gitu. Bibi tau betapa bahagianya mereka saat kelahiran Neng, mereka sangat antusias mempersiapkan segalanya."
"Tapi sekarang Neng kaya anak yang nggak pernah diharapkan ya, Bi."
Senyum hangat Bi Irma lemparkan untuk gadis itu, ia menggeleng kecil. "Neng akan selalu jadi anak yang Bibi harapkan, meskipun Bibi bukan siapa-siapa."
"Aduh." Fasla beringsut menjauh, memegang lengannya yang terasa panas, ia menoleh ke samping kiri. "Bibi itu wajannya nanti gosong." Fasla menunjuk wajan di atas kompor itu, hanya berisi minyak yang sedang dipanaskan, tetapi sekarang justru sampai keluar banyak asap.
Bi Irma buru-buru ke arah meja, mengambil potongan-potongan kecil tempe yang niatnya akan ia goreng. "Aduh, Bibi tadi lupa. Maaf, Neng. Panas ya kecipratan minyaknya?"
"Namanya minyak panas pasti panas, Bi."
[][][]
Seperti apa yang Bi Irma katakan kemarin, Fasla ingin mengikutinya, ia akan ke rumah Wika untuk memberi beberapa ketupat yang sempat ia buat bersama wanita itu tempo hari.
Sejenak ia ingin melupakan kesedihannya karena Bi Irma sudah berangkat dari beberapa jam lalu, ia memilih untuk bermain ke rumah tetangganya itu, tak lupa membawa Acil dalam gendongannya.
Cukup tiga kali Fasla mengetuk pintu itu, sudah dibukakan oleh pemilik rumah itu sendiri.
"Assalamualaikum, Tante," salam Fasla.
Wika menjawabnya, "Wa'alaikumussalam, anak gadis kesayangannya Tante." Wika membawa Fasla masuk, mempersilakannya untuk duduk.
"Fasla bikin ketupat, tapi kebanyakan, sayang banget kalo nggak kemakan, di rumah 'kan cuma aku sama Ayah."
Wika menerimanya dengan senang hati. "Makasih banyak lho, ya."
Wika meletakkan makanan itu ke atas meja, ia melihat Fasla mengambil remot TV yang berada di sofa samping dirinya, gadis itu menoleh singkat padanya seakan meminta izin menyalakan televisi dan diberi anggukan langsung olehnya. Fasla memencet salah satu tombol di remot itu hingga TV-nya menyala.
"Tante, besok berangkat sholat idul fitrinya barengan, ya?" pinta Fasla. Ia menatap harap wanita yang tengah duduk bersamanya itu.
"Gampang itu, mah," jawab Wika.
"Em, Isyam nggak pulang, Tan?" tanya Fasla.
Jujur dalam hati, Fasla amat sangat merindukan sahabatnya itu, tetapi hanya karena gengsi ia perlu waktu untuk berpikir agar dapat bertanya tentangnya, dan akhirnya hari ini pertanyaan itu terungkap hanya dalam masa beberapa detik.
Wika mengusap lembut surai hitam Fasla. "Nggak, Sayang. Rencananya besok kami sekeluarga yang mau ke rumah kakeknya Isyam, hari raya di sana."
"Kamu mau ikut?" tawar Wika.
Fasla sontak menggeleng. "Oh, nggak perlu, Tante. Titip salam aja kayaknya."
Wika mengangguk, sedikit dengan senyum yang terbit di wajahnya. "Pasti, nanti Tante salamin ke anak Tante yang kamu kangenin itu."
Mengambil Acil yang sempat ia letakkan di atas sofa, Fasla buru-buru meninggalkan tempat itu. "Fasla pamit pulang, Tan, udah mau Maghrib."
[][][]
Bwah, amburadul bgt, nulisnya terburu-buru 😩
Udahlah, yg penting ada part-nya
💗
Tegal, 1 Agustus 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Story
Teen FictionBukankah kebahagiaan adalah milik semua orang? Lantas mengapa masih ada saja orang yang mengharapkan kebahagiaan? Ini bukan tentang siapa yang tak pandai bersyukur, tetapi rasa ingin bahagia layaknya orang lain selalu datang menghampiri. Takdir tak...