Bukankah kebahagiaan adalah milik semua orang? Lantas mengapa masih ada saja orang yang mengharapkan kebahagiaan? Ini bukan tentang siapa yang tak pandai bersyukur, tetapi rasa ingin bahagia layaknya orang lain selalu datang menghampiri.
Takdir tak...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Lima bulankemudian ...
Di taman Dwindu, Fasla duduk menyendiri, tak menanti siapa pun, hanya sekadar menikmati waktu sore yang seharusnya ia berada di kafe tempatnya bekerja, bahkan Fasla tak memberitahu Zayyan maupun Jurdy. Fasla memilih untuk duduk di kursi yang berada di bawah pohon besar, bahkan Fasla tak membawa ponsel agar waktu sendirinya tak terkacau.
Pandangannya jatuh pada sosok pria di atas kursi roda dengan gadis cantik yang mendorong kursi itu, mungkin mereka sepasang anak dan ayah. Pikirannya melayang jauh, memundurkan memori pada empat bulan yang lalu, tepatnya satu bulan setelah hari raya.
Menempatkan diri di tempat duduk paling pojok ruang kelas XI IPA 2 yang Fasla lakukan saat ini. Memperhatikan beberapa wali murid yang maju ke depan saat nama anaknya disebutkan untuk pengambilan raport hasil belajar selama dua semester di kelas XI ini.
Fasla mengehela napasnya, lagi dan lagi Johan menolak datang untuk hadir di sekolah seperti saat ini.
"EvikaInnalaila."
Nomor urut 12 sudah terpanggil, setelah ini nama Fasla yang akan diucapkan oleh Bu Jeini selaku wali kelasnya. Padahal, berkali-kali guru itu mengingatkan agar raport dapat diambilkan oleh wali murid, tetapi Fasla kembali mengambilnya sendiri tanpa didampingi siapa pun.
"Fasla Alanada Agista."
Mendongak saat namanya terucap, ia menoleh beberapa kali pada orang-orang yang menatapnya saat ia berdiri. Perlahan Fasla melangkahkan kakinya ke depan. Diberi tatapan heran oleh Bu Jeini, Fasla tak mengindahkannya, Ia duduk di kursi yang disediakan di depan wali kelasnya itu.
"Orang tua kamu mana?" tanya Bu Jeini menatap Fasla lekat.
"Nggak hadir, Bu," jawab Fasla.
"Kenapa? Apa orang tua kamu tidak punya waktu sedikit pun untuk kamu? Saya sudah ingatkan kemarin sama kamu 'kan? Ya sudah, jangan lupa sampaikan pesan-pesan saya tadi untuk orang tuamu."
Fasla menatap balik wanita itu. "Iya, Bu." Jawaban Fasla membuat Bu Jeini sedikit menggelengkan kepalanya.
Pintu terbuka, pria berjas hitam dengan kemeja putih di dalamnya memasuki kelas, menarik semua mata untuk menatapnya.
"Maaf terlambat."
Fasla sontak berdiri, perlahan senyumnya terukir, terkejut dengan kedatangan Johan yang tiba-tiba. Seolah semesta ingin mengangkat dirinya dengan setinggi-tingginya dan Fasla berharap tak akan pernah dijatuhkan lagi secara tiba-tiba.
Bu Jeini menatap Johan yang sudah berada di sebelah Fasla, guru itu melihat catatan tentang Fasla. "Saya ingin bilang sama Bapak, perhatikan anak Bapak baik-baik. Peringkatnya yang sedari awal kelas sepuluh berada paling atas, di semester ini turun menjadi peringkat tiga. Harap diperhatikan lagi, Pak. Sebelumnya sulit sekali Fasla untuk turun peringkat, tetapi perubahan nilainya saat ini sangat jauh dari semester-semester sebelumnya," ucap Bu Jeini panjang,