Bukankah kebahagiaan adalah milik semua orang? Lantas mengapa masih ada saja orang yang mengharapkan kebahagiaan? Ini bukan tentang siapa yang tak pandai bersyukur, tetapi rasa ingin bahagia layaknya orang lain selalu datang menghampiri.
Takdir tak...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Fasla sampai di rumahnya pukul tujuh pagi setelah semalaman ia berada di rumah Azha. Untung saja ini hari Sabtu, jadi ia tak perlu repot ke sekolah.
Fasla menyandarkan punggungnya di sandaran kursi meja makan dengan tangan di atas meja yang memegang gelas minum. Memejamkan matanya dengan kepala mendongak ke atas.
Suara berat milik Johan menyadarkan Fasla, gadis itu sedikit mengubah posisi duduknya. Ia menghela napasnya sejenak lantas menatap Johan yang berdiri di depan lemari pendingin untuk mengambil sesuatu.
Setelah meneguk air yang sempat ia ambil selepas memasuki rumah, Fasla berkata, "Ayah inget aku? Aku kira nggak bakal sadar kalo semalem aku nggak di rumah. Gak perlu juga Ayah nanya kaya tadi kalo cuma buat formalitas." Cukup sarkas, rasanya Fasla lelah harus terus bersikap layaknya anak yang berbakti, disaat bakti itu justru menggores lebih dalam luka dalam hatinya.
Johan melangkah ke arah meja makan, meletakan gelas yang ia pegang dengan sedikit kasar hingga menimbulkan suara.
"Seburuk itu saya menurut kamu?"
Fasla menatap manik hitam pada netra Johan, tetapi lelaki itu dengan cepat mengalihkan pandangannya ketika tatapan keduanya bertemu.
"Apa nggak kebalik? Harusnya aku yang tanya sama Ayah, aku seburuk apa di mata Ayah?"
Johan beralih membelakangi Fasla, lelaki itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana yang ia kenakan.
"Asal kamu tau, saya juga capek."
Johan tak melanjutkan ucapannya, ia menatap kosong ke depan, hatinya bergemuruh ingin menyuarakan banyak hal.
"Kalo Ayah capek, Ayah harusnya bisa jadiin Fasla tempat Ayah buat cerita, bukan buat luapin semua kekesalan Ayah."
gadis itu berdiri dari kursi yang didudukinya, masih berada di tempat yang sama tanpa melangkahkan kakinya mendekat atau menjauh dari Johan.
"Ayah, kalo aku bisa milih, aku juga nggak mau ada di posisi sekarang, aku pengen milih untuk selalu jadi bayi yang gak tau apa-apa."
"Saya hanya menyesali takdir masa lalu."
Fasla sedikit terkejut dengan apa yang Johan ucapkan, selama ini pria itu tak pernah berbicara apa-apa tentang masa lalunya.
"Ayah mau cerita sesuatu?" tawar Fasla.
Johan terkekeh pelan. "Saya rasa tidak ada yang perlu diceritakan." Johan melenggang begitu saja meninggalkan dapur.
Fasla mendengkus, dengan cekatan ia mengejar langkah Johan hingga ia berdiri di depan pintu ruang kerja Johan, tepatnya di hadapan pria itu.
"Ayah," panggil Fasla lirih. Tak merespon, Johan justru masuk dan menutup pintu itu.