Satu Minggu setelah insiden Johan dibawa ke rumah sakit, lelaki itu kini sudah kembali di rumahnya sejak dua hari lalu, dan sejak awal Fasla bertemu dengan Azha di tempat itu, ia sering sekali melempar sapa ketika bertemu, seperti saat ini. Fasla yang berada di kantin bersama kedua temannya sekadar berisitirahat tanpa makan itu--karena masih bulan puasa--melihat Azha melewati kantin bersama temannya.
Azha melambaikan tangan pada Fasla dan disambut senyum manis gadis berikat rambut satu itu, ia berbicara tanpa suara pada Azha, "Sini."
Azha menggeleng, ia menunjuk teman di sampingnya. "Aku sama Winta aja."
Fasla mengangguk dengan tawa kecil tanpa suara. Melihat Azha sudah tak lagi terlihat, Fasla menoleh dan menemukan Yasna dengan Kian tengah menatapnya.
Kian terlebih dahulu membuka suaranya. "Lo kenal Azha, Fa? Soalnya beberapa kali gue liat lo sapa-sapaan sama dia," tanyanya.
Yasna bergumam pelan di sisi Kian, "Azha tuh siapa, Ki?"
Fasla menjawab, "Azha temen gue, dia temen sekelas Kian juga."
Kian sedikit menarik sudut bibirnya ke atas, tertawa pelan lantas berkata, "Gara-gara lo males cerita apa-apa sama kita, kita nggak tau apa-apa tentang lo, kadang gue ngerasa kita temen atau bukan sampe lo kaya nggak nganggep kita temen," ucap Kian.
Fasla membalas Kian dengan raut wajah yang semula sumringah kini menjadi kebingungan. "Apaan, sih, Ki?"
Kian kembali membuka suara, "Coba lo inget-inget, dari awal kita bertiga temanan, lo nggak pernah sekalipun nuangin cerita ke kita, sampe lo tiba-tiba punya temen baru pun kita nggak tau, yang awalnya kita tau lo nggak pernah punya temen lain di sekolah ini selain gue sama Yasna."
Yasna memegang lengan Kian. Ia sedikit memelankan suaranya. "Kian, jangan kaya gitu sih, Fasla berhak temenan sama siapapun."
Kian menoleh ke arah Yasna, ia menatap gadis itu. "Lo inget nggak sih, Yas? Waktu Fasla bilang dia cukup temenan sama kita di sekolah, dia nggak pengen temanan sama orang lain meskipun banyak orang yang pengen temenan sama dia."
Yasna mengangguk. "Iya gue inget, tapi bukan berarti lo harus terkesan mengekang Fasla dong."
Memang benar Fasla pernah berucap demikian, karena baginya, mempunyai banyak teman hanya akan membebani dirinya, tetapi itu tidak menutup kemungkinan untuknya tidak lagi menjalin pertemanan dengan orang lain, 'kan?
Fasla menutup kelopak matanya, menarik napasnya panjang, ia mengangkat tangannya setinggi kepalanya. "Stop, nggak perlu ributin gue. Kalian itu bukan sekedar temen, tapi sahabat. Dan bukan berarti semua kisah gue harus gue ceritain ke orang lain termasuk sahabat gue sendiri 'kan? Gue punya privasi 'kan? Harus juga kalian ngelarang gue buat temenan sama orang lain? Apa perlu gue ceritain semuanya sekarang tentang perihnya kehidupan gue kaya yang lo minta, Ki?" Fasla menatap Kian lekat, matanya sedikit memerah. Ia melanjutkan kalimatnya, "Yang justru itu malah buka semua luka-luka gue. Perlu?"
Kian tak menanggapi penuturan Fasla, membuat gadis itu membuang pandangannya ke arah lain dan tertawa hambar. "Selama ini gue muak sama masalah keluarga gue sendiri, gue nggak mau semua orang tau. Gue nggak mau." Fasla menjatuhkan setetes air dari matanya yang di sebelah kanan di hadapan Kian dan Yasna.
Fasla memegang lengan Kian dan Yasna, ia meluapkan kembali semuanya. "Gue juga nggak mau berbagi kesedihan sama kalian. Kalian harusnya tau, sesayang itu gue sama kalian sampai gue nggak rela kalian liat sisi rapuh gue, cukup kenal gue sebagai Fasla yang seolah tanpa masalah."
"Kalian anggap gue egois? Silakan. Gue berhak atas privasi masalah gue. Apa pertemanan kita cuma buat tau masalah satu sama lain? Nggak 'kan?"
"Dan harusnya sejak kalian lihat rumah gue, kalian tau betapa kesepiannya gue di tempat itu." Fasla beralih menatap Kian lebih dekat. "Lo waktu itu tanya kenapa di rumah gue nggak ada foto 'kan? Karena gue nggak pernah dikenal sama orang tua dan keluarga gue sendiri, sekarang tau 'kan? Sesakit itu jadi gue, Ki."
Memandangi lelaki itu yang diam tak berkutik, Fasla membuang napasnya gusar. "Gue pamit, jangan cari gue kalo lo cuma mau minta gue cerita tentang semua hal," ucap Fasla tertuju pada Kian.
Fasla menarik mundur kursi yang ia duduki untuk memudahkannya meninggalkan kursi itu. "Gue nggak suka dipaksa, jangan pernah paksa gue."
"Fasla," panggil Yasna menatap Fasla yang berlalu begitu saja.
Tanpa mengehentikan langkahnya, Fasla menjawab panggilan Yasna. "Gue pengen sendiri, Yas."
Yasna menatap sejenak Kian. "Nggak seharusnya lo ngomong kaya tadi. Biarin Fasla jadi dirinya sendiri, ucapan lo terlalu nyakitin Fasla, dia jadi ngerasa nggak dihargai. Fasla beda sama gue yang lebih suka cerita kalo lagi ada masalah. Jangan lupa minta maaf."
Fasla mengurungkan niatnya untuk ke kelas, ia pergi ke kursi kosong di belakang kantin, menumpahkan semua kekalutannya di sana. Menutup mulutnya dengan kedua tangan agar tak mengeluarkan isakan sedikit pun.
Mengusap kasar pipinya yang basah, Fasla menengadah. "Kenapa sekarang Kian permasalahin itu semua, sih?! Selalu aja maksa gue buat jujur tentang diri gue. Nggak semua orang bisa kaya yang dia mau, gue nggak bisa, Kian, nggak bisa."
Fasla meracau sendiri, menoleh ke belakang sebab merasakan usapan di pundaknya. Pelakunya duduk di samping Fasla dan mengubah usapan itu menjadi pelukan hangat. Fasla menenggelamkan wajahnya di pundak itu.
"Zha, gue capek banget."
Azha mengeratkan pelukannya. "Aku minta maaf karena buat kamu sama Kian marahan. I am really so sorry."
"you're not wrong."
[][][]
Hari ini Fasla sengaja berangkat saat gerbang nyaris ditutup, tepat ia turun dari ojek yang mengantarnya, melihat satpam SMA Buana tengah mendorong gerbang agar tertutup, buru-buru Fasla membayar ojeknya dan menahan pintu itu agar tidak tertutup lebih dulu.
"Eh, Pak. Nanti dulu, saya belum masuk," ucap Fasla.
Pak Manta sedikit menarik kembali pintu gerbang itu agar Fasla dapat memasuki sekolah. "Ayo, cepet masuk, kebiasaan kamu."
Fasla menyelonong masuk, bahkan lupa mengucapkan terima kasih, ia terburu-buru karena malas mendapat hukuman jika terlambat memasuki kelas.
Bukan seperti hari-hari sebelumnya yang apabila Fasla terlambat disebabkan berjalan terlebih dahulu menuju pangkalan ojek. Namun, hari ini ia sengaja meminta tukang ojek itu untuk memperlambat laju motornya agar sampai di sekolah tepat saat bel sudah berbunyi, menghindari Kian tentunya, lagi pula ujian kenaikan kelas telah usai.
Fasla berdiri di depan kelasnya, sedikit melirik ke pintu kelas Kian yang tertutup rapat, mungkin guru sudah berada di kelas yang beriiringan dengan kelasnya.
Sorry, Ki, gue lagi pengen ngehindarin lo dulu, gue nggak mau kebawa emosi kaya kemarin. Gue minta maaf.
[][][]
Huwaaa Alhamdulillah up meskipun cuma dikit jumlah katanya 😩
Bye bye💗😩
Tegal, 31 Juli 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Story
Teen FictionBukankah kebahagiaan adalah milik semua orang? Lantas mengapa masih ada saja orang yang mengharapkan kebahagiaan? Ini bukan tentang siapa yang tak pandai bersyukur, tetapi rasa ingin bahagia layaknya orang lain selalu datang menghampiri. Takdir tak...