Nama penulis: Wita Usika
Happy reading. 💐
.
.
.Algalea La Darco terbangun saat alarm berbunyi dengan suara volume jenis time up. Anak gadis itu bergegas ke kamar mandi, kemudian berangkat sekolah.
Aktivitas hariannya berubah saat ia menjadi yatim piatu. Di rumah hanya untuk tidur dan beristirahat, selebihnya Lea berada di luar rumah untuk sekolah, sarapan di kantin, bekerja, dan mencari kedamaian hidup dengan selami cahaya di malam hari ketika waktu senggang.
Ia sekolah di SMA Matjayatam. Sekolah elite yang berisikan siswa-siswi golongan atas dan berpendidikan. Tidak ada satu pun anak yang dapat belajar di sekolah itu selama IQ tak sesuai dengan prosedur SMA. Sekolah tersebut mengutamakan kecerdasan dan keaktifan anak, Algalea termasuk anak yang cerdas dan aktif meski dirinya hanya rakyat jelata.
Gadis pemilik panggilan Lea itu termasuk siswi yang sering dirundung. Ada beberapa yang gugur karena perundungan, tetapi hal itu tidak berlaku bagi Lea. Ia tidak peduli disebut seperti jalan aspal karena wajahnya polos, Lea tetap tebar senyum ketika dihina tak mampu membeli kosmetik. Lea sadar diri jika dirinya tidak punya uang untuk membelinya, jangankan untuk itu, membeli makan saja ia harus bekerja sebagai pembuang sampah.
"Lea, bolehkah kau belikan kami pangsit? Jika kau mau, kami bisa mengasihanimu."
Lea tersenyum sembunyikan hati yang tergores atas ucapan itu. Mengangguk, Lea ke kantin untuk mereka. Sebentar lagi ada ulangan harian, ia tidak ada uang untuk beli sarapan, jika tolak, Lea tidak bisa konsentrasi mengerjakan soal ujian.
Sudah mendarah daging kalau Lea harus ada pasokan masuk dalam perut, baik itu sebelum bekerja atau belajar. Ayah selalu buatkan sarapan, tidak ada pagi yang terlewat tanpa masakan ayah sebelum ia meninggal dunia.
Tak mau sedih mengingat masa itu, buru-buru Lea kembali ke kelas membawakan pesanan mereka.
Danare, Aita, Olivia, Asnara, dan Calin, mereka adalah gadis-gadis yang membuat Lea jadi orang kuat setelah sekian jenis rundungan yang mereka beri. Danare, gadis itu paling tega lakukan tindakan demikian untuk Lea.
"Tidak perlu."
Lea melenggang pergi. Ia paling benci diberi tetapi tidak karena usahanya. Lea ikhlas.
Ia bisa sarapan nanti, sekarang utamakan belajar terlebih dahulu. Ia tidak tahu cari uang dari apa untuk beli makan hari ini, sampai siang Lea belum juga dapatkan sesuap nasi, hanya air putih yang mengisi perut itu.
Lea putuskan untuk ke perpustakaan, mana tahu dengan baca buku rasa lapar itu hilang. Saat mulai konsentrasi, tiba-tiba Faro muncul di hadapannya.
"Hei, bolehkah aku minta bantuan?"
"Apa?"
"Salin komik di kertas ini, kemudian boleh kau taruh di tasku jika sudah selesai. Ini bayaranmu."
Faro berikan tiga lembar uang, kemudian pergi dari ruang banyak buku itu. Anak itu sengaja, dengan cara ini Lea mau terima pemberian darinya.
Lea tercengang, pekerjaan macam apa yang Faro beri? Tak mau pikir panjang, Lea segera lakukan tugasnya. Di ruangan hening itu, Lea dapat selesaikan dalam waktu 30 menit, komik tidak tebal. Setelahnya, Lea kembal ke kelas dan berikan lima lembar kertas HVS ke Faro.
"Waw! Kau cepat sekali." Faro memuji, Lea hanya bisa tersenyum.
"Karena kau bekerja dengan cepat. Maukah kau makan bersamaku nanti?" tanya Faro memberikan tawaran.
"Terima kasih, tapi aku sudah kenyang."
"Maksudku kapan-kapan."
Keseharian Lea sudah terbiasa untuk anak itu. Dia memang sudah tidak ada orang tua, tapi Lea masih punya satu teman tak kasat mata bernama Subbin. Subbin adalah goblin yang ditugaskan mendiang ayah untuk jaga Algalea. Meski ayahnya sudah tiada di muka bumi, beliau masih menanggung Lea sebagai putrinya.
Pulang sekolah, sore hari Lea bekerja di sebuah minimarket sebagai office girl, kerja dia dari jam 2 sampai jam 7 malam. Kemudian, Lea melanjut sebagai jasa pembuang sampah di kedai mie.
Lea tidak sendiri, ia ditemani Subbin. Beberapa kali makhluk itu ingatkan Lea untuk tidak terlalu keras dalam jalani hidup.
"Lea, kau tidak perlu terlalu keras menjalaninya. Jangan sampai kau sakit sebab jalani hidup ini," tegas Subbin padanya.
Lea menyambar dua plastik hitam-besar, dia selesaikan dulu pekerjaannya. Masih ada 5 kantong di sana untuk ia buang dan musnahkan. Selain benci kedinginan, Lea juga membenci tempat kumuh.
Subbin elus dada, ia hanya bisa menyaksikan, Lea tidak mau dibantu dengan kekuatannya, jika saja Lea berikan izin, sudah dari tadi pagi Subbin beri keringanan.
"Aku harus bekerja selama masih ada mimpi kalau aku ingin kuliah. Masuk universitas itu harus ada biaya, kalau aku tidak bekerja keras, bagaimana caranya aku masuk ke sana? Jangan halangi aku, kau masih ingat 'kan kalau tugasmu cuman melindungiku," jelas Lea sedikit emosi.
"Otakku lebih baik darimu, tentu aku mengingatnya. Sebenarnya kau tak perlu kuliah, belajar saja denganku, karena aku lebih pintar dari manusia manapun!" jawab Subbin tak kalah emosi karena Lea yang begitu keras kepala.
"Hei, Goblin. Kau memang punya otak yang baik, tapi kau punya hati nurani tidak?" tanya Lea dengan napas memburu.
"Hei, kenapa kau memalingkan wajah? Kau marah dengar ucapanku? Benarkah kau sakit hati? Sejak kapan Subbin punya hati seperti manusia?" lanjutnya melihat Subbin yang tak merespon pertanyaannya.
"Lea!" bentak Subbin padanya.
"Subbin, kau jangan remehkan aku. Kau harus yakin kalau aku bisa masuk ke sana," ucap Lea yakin.
"Memangnya kau mau masuk universitas mana?" Subbin bertanya, ikut penasaran.
"Hm ... Universitas Nasaga," sahut Lea singkat.
"APA?!" jerit Subbin kaget akan jawaban Lea.
"Kenapa?" tanya Lea sambil menaikkan sebelah alisnya.
Lea melepas kaus tangan setelah pekerjaan selesai. Ia melangkah mencari halte bus untuk pulang. Sampai di mana langkah itu berhenti ketika Subbin kembali bersuara.
"Aku marah mendengar kabar ini. Bagaimana bisa kau masuk ke univ tersebut? Bukankah itu keterlaluan?"
Lea tersalut, ia menatap Subbin dengan sorot kesal sedikit emosi. "Sudah kubilang jangan remehkan aku!"
"Bukan itu. Aku percaya kau bisa, tapi—"
"Argh!" teriak Lea histeris memotong pembicaraan Subbin.
Terkejut, bukan hanya Subbin, semua orang yang berjalan juga ikut terkejut melihat Lea berteriak dengan tiba-tiba. Lea yang sadar, akhirnya ia bungkukkan badan untuk meminta maaf atas ketidaksengajaan.
Lea benar-benar malu. Ia segera bergegas mencari halte bus untuk cepat pulang.
Subbin masih diam di tempat, ia beranggapan jika Lea kelelahan belajar dan bekerja seharian. Sebenarnya Subbin tak marah, ia hanya takut, mengingat Lea selalu dirundung di tempat yang tidak sesuai dengan derajatnya. Contoh, di SMA, tetapi Lea malah mau mengulang hal itu di kampus. Dari pengetahuan Subbin, kampus itu ternama di deretan kampus terbaik, di sana pasti hanya ada orang-orang beruntung yang memiliki keluarga utuh dan tentunya hal itu membutuhkan biaya besar.
Makhluk itu menghilang, menyusul Lea yang masih ada di halte bus—sedang menunggu.
Lea tak beri respons, gadis itu kesal jika dirinya dianggap remeh.****
Halo, selamat datang di cerita ini, ya.
Seperti biasa, sebagai syarat kelulusan member kelas 4 wajib untuk menyelesaikan sebuah cerbung.Kali ini, genre pilihan member kelas 4 adalah Fantasy, dan cerita ini adalah karya kelompok 2.
InsyaAllah akan update setiap hari Selasa, Jumat, dan Minggu.😍
Jangan lupa bantu vote, koment, and share ya teman-teman. ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumus Rubik
FantasyAlgalea, gadis lugu yang begitu baik hati terhadap sekitar. Seorang anak penyihir yang memikul janji besar dari sang ayah. "Ayah titipkan semua ini padamu, Lea." *** "Mengapa aku terlalu bodoh?" -- Bagaimana gambaran janji yang disampaikan sang ayah...