Penulis: Wita Usika O. witausikaa
Happy reading. 💐
.
.
.Kalung seperti hologram itu sebagai alat komunikasi Rahardian dengan bangsa Taxwiz. Rahardian sedang telepon, tetapi dengan cara yang berbeda pada umumnya, ia membuat laporan mengenai perkembangan tugasnya turun ke bumi.
Penyihir muda itu masih menyamar menjadi anak SMA.
"Pihak tersangka tidak memberi respons meski aku berupaya mencuri perhatiannya," adu anak yang masih gunakan seragam sekolah Matjayatam. Cukup sulit mendapatkan seragamnya, Rahardian harus mengalihkan pikiran mereka agar dapat masuk ke sekolah. Rahardian tak perlu lagi memikirkan bagaimana kakinya melangkah ketika diusir, toh mereka para guru kesadarannya masih di bawah kendali ketika Rahardian masih di sekitar sekolahan.
Bangsa Taxwiz atau dunia penyihir meminta sesuatu lagi pada Rahardian. "Rahardian, selalu pantau anak dari penyihir Stefano La Darco itu," pinta sang Raja.
"Ya, laksanakan!" serunya menurut.
Rahardian melepas benda yang bergelantung di lehernya. Nyawa seorang penyihir muda itu berada di leher, ketika ia ingin berkomunikasi, maka sesuatu harus menyentuh lehernya agar bangsa Taxwiz dapat melihat keberadaannya.
Keberadaan Ryan alias Rahardian diketahui Lea, gadis itu seperti hendak menghampirinya, tetapi ia berbalik seperti melupakan sesuatu. Tak mau ditinggal, Ryan segera menyusul.
"Lea, kau mau kemana?" tanyanya setelah berhasil menjajari langkah gadis itu.
"Kenapa tidak jadi menghampiriku? Ada sesuatu yang kau sembunyikan?" tanyanya basa-basi.
"Kita baru bertemu, tidak ada alasan untuk aku membohongimu sebagai orang baru." Lea membuka suara.
Ryan mengangguk kecil, langkah semakin cepat saja, Ryan bingung bagaimana Lea tidak kelelahan berjalan.
Sekolah sudah sepi, hanya tersisa beberapa murid yang mengikuti ekstrakurikuler. Lea sudah tidak lagi mengikuti kegiatan tambahan, karena sebentar lagi ia harus siap-siap menjalani simulasi.
Dipikir-pikir, sebentar lagi kelulusan sekolah, kepindahan siswa bernama Ryan itu terbilang aneh, karena sayang saja pindah sekolah padahal sebentar lagi masa menjadi pelajar SMA usai.
Lea juga berpikir mengapa Ryan selalu mengikutinya, banyak bicara tak penting sehingga terkadang membuatnya terganggu.
“Kita mau ke mana?”
“Tempatku bekerja.”
Ryan terkejut, masih ada lagi? Di mana? Ryan sangat terkejut saat dirinya melihat gadis kecil itu menghampiri tempat pembuangan sampah. Demi apa, Ryan benar terperanjat.
***
"Dimana kalungku?"
Pemuda itu kehilangan benda yang sangat penting untuk kelanjutan hidupnya. Kalung berbentuk hologram yang selalu ia gantungkan di leher untuk bertukar kabar dengan bangsanya, bangsa Taxwiz yang memberinya tugas untuk turun ke bumi.
Ia yakin benda itu terjatuh saat dirinya membantu Lea kemarin malam. Hitung-hitung, dengan kebaikannya itu, mereka lebih dekat.
"Ryan," panggil seseorang ketika dirinya sibuk merotasikan mata di setiap sudut tempat terakhir ia membawa kalung itu.
"Kau sedang apa?" tanya gadis bernama Danare, di belakang sana terdapat Faro dengan wajah dinginnya.
Ryan menggaruk tengkuknya, kikuk. "Ah ... itu, aku mencari sesuatu, sudah ketemu, kok."
Danare mengangguk.
"Oh, ada gerangan apa kalian menemuiku?"
"Tidak ada alasan untukku tidak menemuimu, kan?" Faro menyahut, ia mendekati Ryan dan bahu lebar milik Ryan sedikit nyeri saat tertimpa tangan kekar milik Faro.
"Bisakah aku mempercayaimu?"
Ryan hanya mengangguk tak yakin, pasalnya ia tidak kenal Faro dan Danare, ia hanya mengenal Lea, gadis pemilik senyum hangat.
"Aku pernah jatuh cinta dengan Lea," ucap Faro kemudian melirik bagaimana ekspresi Danare, ternyata gadis itu tersenyum.
Hatinya terculas mendengarnya, tetapi setelah kembali dipikir, Faro sudah melalui masa itu.
"Namun, jika kau yakin kau bisa kupercaya, aku ingin kau melihat keyakinanku mulai mencintai Danare."
Faro kembali melirik Danare, senyuman yang ditahan.
Blush ... Danare terbawa perasaan.
"Ah ... aku tidak paham. Jika kalian berpacaran, ya silakan, itu bukan urusanku."
Ryan menahan diri agar tak terjatuh, tekanan semakin berat dari tangan Faro.
"Aku tidak sudi menyukai dua gadis dalam satu masa. Jadi, jika kau percaya aku memperhatikan Danare, kau juga harus mampu membuatku percaya padamu."
" To the point saja, aku sangat tidak paham," ucap Ryan masih sabar.
***
Jam pelajaran masih berlangsung, dua murid dalam satu bangku itu masing-masing tidak fokus, kalimat sang guru buyar berceceran.
Ryan, anak laki-laki itu kepikiran ucapan Faro tadi pagi, jika Faro menyerahkan Lea untuknya. Sedangkan Lea pikirannya tidak baik karena terganggu sebab tatapan Ryan. Bocah itu terus menatapnya.
"Tadi pagi Faro menemuiku, dia berkata untukku menjagamu. Makanya aku menatapmu seperti ini," ucapnya pelan tanpa berdosa.
Lea menahan napasnya sejenak, tak pikir panjang ia berdiri untuk pindah bangku, tetapi sebelum bibir itu bergerak meminta izin, penghapus sudah dulu melayang di mejanya.
"Kalian berdua keluar," pinta sang guru dengan nada dingin.
Lea tidak bisa membantah, guru satu ini memang begitu. Beliau tidak mau pilih pandang walaupun Lea siswi terpintar di kelas.
"Maaf, Pak," ucap Lea kemudian pergi dari kelas.
"Hem."
Ryan menyusul, ia menyeringai ke arah guru dan murid-murid sebelum keluar. Gadis itu sedang duduk, Ryan segera menghampirinya, tetapi Lea spontan berdiri dan pergi ke arah lapangan, ia memutuskan untuk berpanas-panasan agar Ryan tidak lagi mengikutinya. Mustahil jika anak itu ikut turun ke lapangan, kulitnya putih, jika terkena surya, bisa merah.
"Lea, ke mari!" panggilnya sedikit meninggikan suara.
Lea tak menggubris, ia malas menoleh. Lea memain-mainkan rumput untuk pengalih rasa panas di siang hari.
Jujur, Lea mulai kepanasan. Diam-diam ia mencari keberadaan Ryan, anak itu menghilang entah ke mana.
Lea melangkahkan kaki untuk menepi, ia haus dan juga kepanasan. Apa mungkin harus pakai cara seperti ini agar terhindar dari sosok itu?
Ryan cekikikan tanpa ia sadari, gadis kecil itu tidak mengetahui keberadaannya.
**
“Subbin, hari ini aku mau makan mie ayam di kedai yang aku kerjai, tapi malah kedai sudah ditutup,” ucapnya kesal.
Lea membereskan pekerjaannya, sungguh banyak sampah-sampah untuk hari ini.
“Kau bisa cari kedai lain, kan? Kalau lelah, biar aku saja,” kata Subbin kasihan, wajah Lea tampak kelelahan.
“Boleh?” beo Lea.
“Tentu boleh, tugasku—“
“Baiklah,” potong Lea kemudian melepas sarung tangan, dia merogoh sesuatu di tas sekolahannya. Ia ingin makan sesuatu yang empuk dan pedas.
Saat dirinya sibuk menghitung uang, Lea melihat benda mengkilap terkena cahaya rembulan. Ia mengambil benda itu, kemudian otaknya berputar mengingat nama Ryan yang hari ini tidak masuk sekolah.
Lea memasukkan kalung jenis hologram itu ke tas sekolah, kemudian memanggil Subbin untuk mencari kedai untuk ia makan malam. Cahaya malam begitu halal untuk dimiliki.
Keesokkan paginya, hujan turun di kala Lea terbaring sakit sebab terlalu keras memorsi hidup. Subbin merasa bersalah dan dia kembali marah karena tidak dengarkan perkataannya. Namun, Lea hanya bisa diam dengan disertai wajah pucat, melihatnya, rasa bersalah semakin besar dan sebabkan Subbin mengurung diri di kamar mendiang ayah Lea.
Subbin merasa gagal dan tak berguna dihadirkan Fano untuk menjaga putrinya. Ia tidak lagi hadir menemani Lea karena diselimuti rasa bersalah.
Ketika Lea sudah sembuh, ia sama sekali tidak ada uang untuk sekadar membeli air putih. Rumah terbengkalai dan Lea kembali bekerja, tetapi ternyata dirinya dipecat karena sudah beberapa kali tidak berangkat. Lea bingung mencari pekerjaan di mana, saat itu juga ia harus menebus rapor untuk diambil. Saking bingungnya, ia melupakan Subbin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumus Rubik
FantasyAlgalea, gadis lugu yang begitu baik hati terhadap sekitar. Seorang anak penyihir yang memikul janji besar dari sang ayah. "Ayah titipkan semua ini padamu, Lea." *** "Mengapa aku terlalu bodoh?" -- Bagaimana gambaran janji yang disampaikan sang ayah...