Penulis: Vina Febriyanti vin_febriiiHappy reading. 💐
.
.
.Hingar bingar perkotaan menusuk ke telinga. Dalam perjalanan di bus, Lea membisu membayangkan bagaimana keadaan bosnya sekarang.
Hingga tak lama kemudian bus berhenti di halte dekat rumah Rehan—bosnya. Lea melangkahkan kakinya mendekat menuju rumah besar milik Rehan.
Tak perlu meminta izin untuk memasuki rumah besar bercat putih tersebut, Lea langsung bergegas masuk dan mencari keberadaan Rehan. Lea tampak cemas terhadap kabar yang menimpanya.
"Lea, saya di sini," ucap Rehan ketika mendapati seorang gadis yang ia kenali tak melihatnya duduk di sofa ruang tamu.
"Maafkan saya, Pak, jalanan begitu padat," ucap Lea seraya mengamati apa yang terjadi dengan bosnya itu.
Rehan masih menggunakan pakaian kerjanya yang rapi dengan dasi berwarna hitam yang masih terikat di lehernya. Lea bingung dengan keadaan bosnya yang nyaris tak terjadi apa-apa dan terlihat baik-baik saja.
"Apakah Anda baik-baik saja?"
Mata Rehan melirik ke arah luka terbuka di jarinya. Seakan tanda jika dirinya tidak baik-baik saja. Tak berpikir panjang, Lea memahami apa maksud dari bosnya itu.
"Ma-maafkan saya, Pak. Saya ambilkan kotak obat terlebih dahulu," ucap Lea sebelum meninggalkan bosnya untuk mengambil sesuatu yang disebutkan.
"Bagaimana bisa dia tak menyadari luka di jariku," gumam Rehan.
Lea segera berlutut di depan sofa tempat Rehan berada. Ia segera meraih jari yang Rehan tunjukan kepadanya. Darahnya sudah mulai mengering, tetapi lukanya terlihat begitu dalam.
"Bagaimana hal ini bisa terjadi, Pak?" tanya Lea seusai menutup luka bosnya itu dengan plester luka.
"Saat jam istirahat tiba, saya berniat untuk membuatkanmu semangkok salad buah. Namun, pisau yang saya gunakan begitu menginginkan darah segar," jelas Rehan.
Lea terkekeh mendengar penjelasan bosnya itu. Ia tak menyangka jika bosnya terkena pisau hanya karena ingin membuatkannya sebuah salad.
"Saya pikir, Anda tak perlu repot-repot membuatkan saya salad, Pak."
"Kenapa? Apakah Anda meragukan kemampuan saya?" ucap Rehan merasa tertantang.
"Tidak begitu, Pak."
"Anda tidak boleh meremehkan saya dalam hal memasak!" seru Rehan seraya bangkit dari duduknya. "Akan saya tunjukkan!"
Lea begitu takut melihat bosnya marah. Ia tak pernah melihat bosnya marah sampai seperti itu.
Rehan berjalan menuju dapur di rumahnya yang begitu luas. Ia tak menghiraukan jarinya yang terkena pisau dan berniat untuk memasak.
Rehan berusaha untuk memasak sayuran yang telah ia ambil dari kulkas. Sebelumnya memang ia tak pernah memasak, tetapi kali ini ia berusaha menunjukkan kebolehannya dalam hal memasak.
Tampak Lea mendekati bosnya yang sedang fokus menatap bahan masakan di dapur.
Lea tersenyum menahan tawanya ketika melihat Rehan mulai memotong sebuah bawang. Pakaian yang ia pakai memang cukup meragukan untuk seseorang yang ahli memasak.
"Jika Anda memotong bawang seperti itu, akan membuat Anda kesusahan," ucap Lea seraya meraih pisau yang Rehan gunakan. Lea memberi contoh bagaimana cara memotong bawang dengan benar.
Mata Rehan tak berkedip menatap gadis kecil di sampingnya itu. Senyuman yang Lea tunjukkan begitu manis dan menenangkan. Dengan lihai, Lea menggerakkan tangannya dan memotong bawang yang ada.
Lea pun menoleh untuk melihat Rehan yang memang sedang memandangnya sedari tadi. Tanpa mereka sadari pandangan mereka berdua bertemu. Lea merasakan sesuatu yang aneh kepada Rehan. Entah perasaan apa yang ia rasakan, ia tak mengerti.
"Itu hanya hal kecil, tak akan berpengaruh kepada masakan yang akan saya buat," remeh Rehan untuk memalingkan pandangan mereka berdua.
Lea menepis perasaannya dan kembali memperhatikan apa yang sedang bosnya perbuat. Tangannya memang sudah cukup geram mendapati bosnya yang kaku dalam hal memasak.
"Sialan!" decak Rehan ketika kemejanya terkena air saat mencuci sayur yang akan ia olah.
Lea tetap tak berkutik menunggu Rehan menyuruhnya untuk membantu. Lea hanya bisa tersenyum menahan tawa yang sudah tak bisa dibendung lagi.
"Algalea! Saya tak menggaji Anda untuk sekadar menonton bosmu memasak!" tegas Rehan sehingga membuat Lea kembali tegang.
Lea bergegas mengambil alih dapur dan menyelesaikan masakannya. Sedangkan Rehan? Ia duduk manis di ruang makan seraya menunggu masakannya datang.
"Silakan, hidangannya dinikmati," ucap Rehan kepada Lea setelah menyiapkan satu porsi makanan yang Lea masak, seakan-akan Rehan yang memasaknya. Lea pun dipersilakan duduk, ia tampak bingung dengan kelakuan bosnya itu.
"Eum, enak sekali, bukan?" ucap Rehan setelah sesuap makanan masuk ke mulutnya.
"I-iya, Pak."
"Saya yakin setelah ini Anda tak akan meremehkan saya lagi dalam hal memasak," bangga Rehan.
"Tapi, Pak. Bukankah saya yang memasaknya?"
"Diam!" bentak Rehan. "Masakanmu tak akan seenak ini tanpa campur tanganku,"
Astaga, kenapa dia sangat menyebalkan hari ini, batin Lea. Ia hanya bisa diam dan mengiyakan perkataan bosnya itu.
"Permisi, Pak. Bolehkah saya mengangkat telepon dari teman kuliah saya?" tanya Lea setelah mendapat panggilan dari temannya, Huberta. Rehan mengangguk tanda memberi izin, ia masih sibuk mengunyah makanannya.
"Iya, hallo," jawab Lea kepada seseorang yang meneleponnya.
Rehan melambatkan makannya dan mendengarkan percakapan Lea dengan seseorang di telepon. Ia mendengar sosok lelaki yang menelepon Lea. Terbesit rasa cemburu di benak Rehan.
"Ah, iya. Maaf aku lupa, aku akan segera ke sana," ucap Lea dan mengakhiri panggilannya.
"Kenapa?" tanya Rehan penasaran.
"Maaf, Pak. Saya harus segera kembali ke kampus, akan ada acara bersama teman-teman saya."
"Biar saya antar," sedia Rehan dan bangkit dari posisi duduknya untuk mengambil kunci mobil di laci. Lea berusaha menolaknya, tetapi Rehan mengancam akan memotong gajinya jika ia tidak mau.
Di setiap perjalanan, Rehan mencuri-curi pandangan kepada Lea. Lea tak kunjung mengetahuinya, hingga beberapa waktu ia menyadari jika bosnya sesekali melihatnya.
"Maaf, Pak. Saya tidak nyaman jika Anda memandang saya terus menerus," ucap Lea.
Rehan menggelengkan kepalanya ketika tingkahnya di sadari Lea.
"Saya hanya mengawasi, siapa tahu Anda merasa terpaksa," ucap Rehan membela diri.
Banyak sekali alasannya.
Sesampainya di kampus, banyak pasang mata yang melihat Lea diantar oleh seorang lelaki berkemeja hitam yang tak lain adalah Rehan—bosnya. Rehan yang memiliki wajah yang tampan mampu menarik perhatian mahasiswi di kampus yang melihatnya.
Rehan tak segan membukakan pintu mobil untuk Lea. Lea merasa tidak enak atas perlakuannya yang cukup berlebihan.
Di antara mahasiswa dan mahasiswi yang menyaksikan, Huberta ikut menyaksikan wanita yang ia idamkan itu turun dari mobil bersama laki-laki lain.
"Aku sarankan kau mundur saja, ia telah mempunyai pangerannya sendiri," ledek Meir kepada saudaranya.
"Diam saja kau, Meir!" ucap Huberta.
"Aku tak bisa diam," ledeknya lagi.
"Maaf, aku datang terlambat," ucap Lea mendekati teman-temannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumus Rubik
FantasyAlgalea, gadis lugu yang begitu baik hati terhadap sekitar. Seorang anak penyihir yang memikul janji besar dari sang ayah. "Ayah titipkan semua ini padamu, Lea." *** "Mengapa aku terlalu bodoh?" -- Bagaimana gambaran janji yang disampaikan sang ayah...