Grama menarik lengan kemejanya sampai siku. Rambutnya yang dikucir kuda itu bergerak seiring langkahnya yang terayun menuju meja Lesta yang kini melambaikan tangan padanya. Laki-laki yang sempat membelakanginya pun saat ini menatapnya.
Di tengah kecanggungan itu, Grama tersenyum tipis yang menunjukkan keterpaksaannya. "Maaf gue sengaja datang telat."
F**k! Grama merutuki bibirnya yang lancang berkata jujur pada kedua manusia yang kini menatapnya. Namun, tawa Lesta justru memecah kecanggungan yang ada, dan rupanya si bucin Ardi juga terdistraksi pada temannya itu.
Ya, si bucin! Kali ini Grama menobatkan Ardi sebagai bucinnya Lesta! Lihat saja matanya yang berbinar-binar saat menatap gadis cantik itu. Seperti jatuh cinta untuk ke sekian kalinya.
"Santai aja. Gue tau kok, gimana gugupnya lo," goda Lesta yang tidak ditanggapi Grama.
Berdeham sekali, Grama mengambil duduk di samping Ardi. Ya, di samping laki-laki yang kini telah kembali menatapnya.
Lesta bahkan tersenyum lebar melihat kelakuan lancangnya yang duduk tanpa dipersilahkan dulu oleh keduanya.
"Kalian cocok deh, duduk bersisian kayak gitu," tutur Lesta dengan tulusnya.
Yang ditanggapi Ardi, sampai keduanya asyik mengobrol, dan melupakan keberadaan Grama.
Grama kesal tentu saja!
Dia kesal karena tujuannya duduk di samping Ardi kan, tak lain dan tak bukan agar laki-laki itu tidak menatapnya saat duduk berhadapan. Lagi pula kenapa Lesta sengaja sekali duduk di kursi yang tidak berhadapan dengan Ardi? Pikir Grama dalam hati.
Padahal Grama tidak tahu saja jika Ardi lah yang datang lebih lama dari Lesta, itu artinya Ardi lah yang sengaja duduk tidak sejajar dengan Lesta.
Sibuk dengan pikirannya, Grama tidak sadar saat Ardi kembali menatapnya.
"Akhirnya bisa ketemu langsung juga, ya," ujar Ardi yang membuat Grama tersentak sampai menjawab sekenanya. Padahal mendengarkan dengan jelas saja tidak.
"Eh, iya."
Lesta mengulum senyumnya, dan Ardi mengangguk singkat isyarat sapaan darinya. Meskipun terlihat sudut bibirnya berkedut menahan tawa.
Grama membuang muka, dan berdeham singkat sebelum kembali menatap keduanya.
"Gue enggak bisa lama-lama," tegas Grama menatap Lesta, dan mencuri pandang ekspresi Ardi dari ekor matanya.
Sial! Jantungnya terlalu kampungan! Melihat laki-laki dalam jarak dekat saja sudah jumpalitan!
Bukannya gimana, Grama itu sangat-sangat anti berdekatan dengan laki-laki. Sebisa mungkin gadis itu hanya berinteraksi lewat pesan saja, dan itu berlaku bahkan saat ada tugas sekolah yang melibatkan dirinya dengan laki-laki di kelasnya. Gadis itu akan membatasi diri, dan memilih mengerjakan semuanya sendiri.
Grama tidak tahu apa yang salah dengan dirinya, tetapi jika berhubungan dengan laki-laki jantungnya akan berdegup dengan kencang yang mana membuat dirinya diliputi kecemasan yang terkadang membuatnya melakukan hal-hal di luar dugaan, darahnya berdesir ... membuatnya merinding, bahkan terkadang dia juga merasa gatal-gatal jika tidak sengaja bersentuhan.
Sempat Grama ingin memeriksakannya, tetapi gadis itu merasa masih bisa menanganinya, dan semuanya akan baik-baik saja.
Lesta menghela napasnya, sebelum bertanya, "Kenapa?"
"Mau nganterin pesenan." Melihat tatapan memohon yang dilayangkan Lesta, Grama justru memilih mengabaikan, dan menggulung lengan kemejanya dengan benar.
Gadis tomboi itu tau jika Ardi juga menatapnya, mungkin laki-laki itu juga mau menahannya? Aish! Kenapa Grama jadi kepedean seperti itu, tentu Ardi akan senang jika Grama pergi, kan karena dia bisa berduaan dengan Lesta tanpa risih dengan keberadaannya.
"Mau gue anter?"
"Hah?" Refleks itu membuat Grama mengusap tengkuknya saat tersadar. Lesta yang tau bagaimana Grama bahkan terlihat menahan tawa, kapan lagi dia bisa melihat Grama salah tingkah seperti itu, kan.
Ardi dengan tawa kecilnya menarik kunci motornya dari atas meja. "Lo mau anterin pesenan, kan. Biar gue anter."
Sebenarnya Grama mau, hitung-hitung menghemat pengeluaran, kan. Namun, dia juga masih punya malu. "Enggak usah deh, thanks. Gue bisa naik angkutan umum."
"Udah sama Ardi aja, hemat."
F**k? Ini Lesta kenapa nyebelin banget, ya.
Pada akhirnya di sini lah Grama. Di atas motor hitam Ardi yang melaju lumayan kencang. Grama menahan sepanjang jangan agar tidak kelepasan memaki Ardi yang seenak udelnya membawa anak orang balap-balapan di jalanan. Masalahnya, Grama berkali-kali nyaris terjungkal ke depan, dan keningnya menabrak helm Ardi yang tidak seempuk yupi, ditambah lagi dia juga berusaha untuk tidak berpegangan.
"Ke sini kan, jalannya?" Ardi bertanya pada Grama saat mengambil jalan ke kanan. Grama yang tidak mendengar dengan jelas pun berteriak padanya. "Apaan?"
"Ini jalannya bener, kan?" Ardi balas berteriak.
"Iya!" teriak Grama sengaja memajukan kepalanya, dan itu sukses membuat Ardi tertawa. "Biasa aja ngomongnya, gue denger kok."
Grama terkekeh pelan. "Takutnya enggak kedengeran," sahutnya kembali menarik kepalanya ke belakang.
Sepanjang jalan, Grama hanya diam, sesekali dia berkata untuk menunjukkan di mana tempat tujuan.
Tiba di rumah temannya, Grama membungkuk, dan langsung memegang lututnya yang sepanjang jalan tegang. "Anjir! Lutut gue gemeteran," gumam Grama yang ternyata masih dapat terdengar.
Buktinya, Ardi menertawakan. "Sorry, gue enggak biasa bonceng cewek."
Grama menoleh masih dengan posisi membungkuk memegang lutut. "Itu tandanya lo jomlo."
Ardi cengengesan. "Tau aja lo."
Menegakkan tubuhnya, Grama tertawa. "Tau lah lo amatiran dari cara lo bonceng gue juga. Kayak enggak ngerasa bawa anak orang tau, gak."
Dan tawa Ardi pun pecah seketika. "Gue cuma pernah bonceng si Lesta, sih."
F**k! Haruskah diperjelas bagaimana sepesialnya Lesta bagi laki-laki itu pada Grama.
Sungguh, itu sedikit menurunkan mood Grama.
Padahal Grama sudah tau bahwa laki-laki yang kini membuka helmnya itu memang menyayangi Lesta. Itu semua bahkan sudah laki-laki itu katakan lewat pesan tepat di dua hari mereka berkabar. Bodohnya meskipun tahu Lesta tetap diam saja, dan parahnya Ardi juga tidak memperjelas hubungan mereka, justru dia yang membuat Grama ada di tengah-tengah hubungan ambigu mereka.
Dalam hati Grama bertanya, "Apa yang membuat keduanya memilih mengabaikan rasa, dan bersikap selayaknya teman, tapi ...."
Argh! Grama tidak sanggup melanjutkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
No Crush No Love ✅
Teen FictionBukannya gue enggak percaya sama yang namanya kekuatan cinta, tapi apa gue mesti terlibat dalam menunjukannya? Apa bisa bawang merah kayak gue gantiin posisi putri keraton kayak Lesta? Mungkin bisa, kalau soal hati siapa yang, tau kan, ya Masalahnya...