Grama mematung di samping pintu kamar melihat bagaimana perhatiannya Ardi kepada Lesta.
Satu hal yang Grama tau ....
Lesta tidak membutuhkannya, dan keputusasaannya sudah tepat untuk menjauh dari gadis itu.
Lesta sudah dikelilingi orang-orang yang menyayanginya.
Berjalan sepelan mungkin, Grama menuruni anak tangga menuju lantai bawah rumah Lesta. Gadis itu celingukan mencari orang tua Lesta. Miris, Grama tidak menemukannya.
Gadis yang tidak asing dengan keluarga Lesta itu pun mencari ART yang membukakan pintu untuknya, dan langkahnya membawa dia ke belakang rumah.
"Kasian Non Lesta. Tuan dan Nyonya tidak ada untuk merawatnya." Suara wanita yang dikenal Grama sebagai ART di rumah Lesta itu terdengar dari balik pintu yang menghubungkan dapur dengan halaman belakang.
"Sutt, udah lah. Buat apa kita bekerja di sini kalau bukan untuk menjaga Non Lesta." Suara berat khas pria itu menyahut.
"Apalah artinya harta." Terdengar kembali suara wanita dengan nada prihatin itu. "Aku tuh kasihan loh, Mas. Masih baik Den Ardi datang. Non Lesta itu kayak sedih banget tadi, tapi pas Den Ardi datang Non Lesta tuh kayak semangat sembuh lagi."
"Iya, saya juga denger pembicaraan mereka sekilas tadi. Den Ardi ini memang cocok tenan untuk Non Lesta."
"Kataku juga apa, mereka itu memang ...."
Sampai situ, Grama tidak berniat menguping lagi. Gadis itu pun meninggalkan bubur yang di bawanya di atas meja dapur, sebelum melangkah pergi meninggalkan rumah besar Lesta.
Satu hal yang Grama simpulkan.
Dia salah menilai Lesta.
Hari berlalu, tidak ada lagi obrolan antara dirinya dan Lesta, pun juga tidak ada lagi pesan yang masuk ke ponselnya selain dari operator dan nomor yang tak dikenal menawarkan pinjaman. Grama cukup baik-baik saja melewati harinya. Terhitung sudah dua hari juga Lesta tidak masuk sekolah.
Kelas yang tadinya riuh seketika senyap saat seseorang masuk. Semua mata tertuju pada gadis ayu itu, siapa lagi jika bukan Lesta.
Grama yang saat itu duduk sendirian pun melihat semua pergerakan temannya sampai duduk di tempat kosong yang jauh darinya. Seulas senyum terukir di wajah Grama, meresapi penyesalan yang kini menggores batinnya.
Tak apa, dia akan terbiasa. Itulah yang diucapkan Grama dalam hatinya.
Beberapa siswi mengerubungi gadis ayu itu, tetapi tidak dengan Fitria. Temannya itu memilih menghampiri Grama.
"Lesta kenapa?" Itulah yang pertama kali meluncur dari bibir tipis temannya.
Semua orang peduli pada Lesta hanya dia orang bodoh yang menyakiti Lesta. Grama hanya tersenyum dengan pemikirannya.
Fitria yang melihat itu mengernyitkan keningnya. Grama tersenyum? Itu sangat langka! Gadis tomboi itu seolah kehilangan jiwa garangnya.
Fitria tidak tau saja jika jiwa garang Grama tertekan sampai terpojok di dalam alam bawah sadarnya yang dipenuhi pembelaan-pembelaan yang tengah Grama sangkal.
Bagi Grama, apa yang kini terjadi adalah salahnya. Ya, kenyataannya memang benar.
Bahkan gadis itu hanya diam ketika dengan jelas mendengar keretakan hubungannya dengan Lesta menjadi perbincangan di kelasnya.
"Lagi musuhan kali mereka."
"Sebelum Lesta pingsan juga si Grama udah aneh sih."
"Aneh gimana?"
"Ya dia enggak duduk sama si Lesta."
"Gue juga liat pas Lesta mau nyamperin Grama dan cewek itu ngeloyor gitu aja."
"Dari sebelum ada Lesta juga si Grama udah aneh kali, temennya aja cuman si Fitria."
"Nah iya! Heran kan, kenapa si Lesta bisa deket sama si Grama? Secara kan si Grama itu tomboi, kasar, terus ya dia juga bukan orang kaya, tapi sikapnya itu loh bikin gue enek sama dia ... sombong banget gila! Kayak enggak perlu orang lain gitu di hidupnya."
"Yang gue denger, sebelum Lesta pingsan itu dia tengkar sama Grama. Ya kalian tau lah sekasar apa si Grama. Wajar aja si Lesta sampai pingsan."
"Gila sih itu anak."
"Ih jangan gitu, lagian ya, sebenernya Grama baik kok. Dia kalau kerja kelompok ambil bagian paling banyak, bahkan ya dia enggak akan protes disuruh apa aja."
"Ya itu sih menurut lo."
Cukup tau saja, dan Grama tidak berniat mengubah pandangan orang terhadapnya.
"Sabar, ya."
Gadis itu tertawa kecil saat Fitria membisikan itu padanya.
"Lo ketawa pas lagi gini, gue yang nyesek tau, gak," celetuk Fitria yang mana membuat Grama tergelak olehnya.
"Gue ketawa salah, gue galak salah. Salah mulu hidup gue," ujar Grama dengan nada bercanda, tetapi Fitria justru menanggapi serius perkataannya.
"Bukannya salah, cuman enggak gini gitu loh. Kenapa sih, lo diem aja? Setelah denger cerita lo, menurut gue ... lo enggak sepenuhnya salah. Kalian cuman miskomunikasi aja."
'Gue enggak akan pernah bisa rubah penilaian kalian terhadap gue, tapi gue punya hak buat cap kalian sama aja'
Adalah perkataan seseorang yang berpikir dirinya tidak peduli pada pandangan orang, meski hatinya menentang.
KAMU SEDANG MEMBACA
No Crush No Love ✅
Fiksi RemajaBukannya gue enggak percaya sama yang namanya kekuatan cinta, tapi apa gue mesti terlibat dalam menunjukannya? Apa bisa bawang merah kayak gue gantiin posisi putri keraton kayak Lesta? Mungkin bisa, kalau soal hati siapa yang, tau kan, ya Masalahnya...