Satu pesan dari gue, kalau lo jelek lo harus bisa apa aja. Jangan banyak milih, harus inget lo jelek
'Gramatika'"Grama, gue hari ini piket." Lesta berdiri begitu guru keluar dari kelas mereka, dan hendak menggendong tasnya, tetapi Grama lebih dulu mengambilnya, dan mencangklongkannya. "Gue yang bawa sementara," ujarnya sambil menaikkan kursi yang didudukinya ke atas meja.
"Gue juga bisa kali." Meski berkata begitu, Lesta tersenyum senang mengambil sapu. Dia merasa bebas bergerak tanpa tas berat yang harus digendongnya.
"Gue tungguin!" Grama menyenderkan punggungnya ke kusen pintu memperhatikan Lesta yang tengah kebagian menyapu.
Sesekali gadis ayu itu memerintah teman laki-lakinya, dan apa itu?! Mereka menurut begitu saja.
Luar biasa!
Normalnya kaum adam itu sangat susah sekali untuk diajak bekerja sama apalagi mengenai kebersihan bersama, tapi ini ... selain yang kebagian piket dengan Lesta hadir semua ... mereka juga seperti caper gitu pada Lesta.
Sekali lagi ... luar biasa!
Memang ya, jika berhadapan dengan makhluk cantik itu beda gitu perlakuannya. Apa Grama, salah? Tidak, kan? Itu memang kenyataannya.
Sebagian besar laki-laki bahkan kaum hawa juga cenderung menurut pada gadis cantik, apalagi yang pembawaannya seperti putri keraton semacam Lesta. Entah motifnya apa, tetapi itu lah yang dilihat Grama dari sekitarnya.
Dia yang jelek jelas harus bisa apa-apa. Maksudnya ... bergantung pada orang lain jelas bukan opsi pertama.
Tak berapa lama Lesta menyelesaikan bagiannya, dan mengambil tasnya dari tangan Grama. "Pulang bareng gue, ya," pinta Lesta saat mereka jalan berdua di lorong sekolah.
"Enggak usah, gue balik naik angkot aja." Grama menyingkir saat Lesta menjegal jalannya, dan kembali berjalan lurus menuju jalan raya.
"Pulang bareng gue aja." Lesta memaksa, tetapi Grama tidak menghiraukannya. Gadis itu bahkan sudah lebih dulu masuk ke dalam angkutan umum meninggalkan Lesta yang menatap frustasi padanya.
"Grama jangan lupa janjinya!"
S**t! Apa yang diteriakkan Lesta itu membuat Grama geram saja!
Bagiamana bisa dia dengan mudahnya luluh pada Lesta?
Sial. Kata yang cocok untuk menggambarkan keadaannya sekarang. Dikarenakan memikirkan berbagai kemungkinan dan harus bagaimana nanti dia bersikap saat pertemuan, Grama jadi tidak bisa tidur semalaman, dan lebih sialnya lagi Grama kesiangan.
Meskipun ini hari Minggu, dan sekolah juga libur tentu saja, tetapi Grama sudah berjanji pada Lesta untuk membantu gadis itu menepati janjinya pada Ardi. Namun, setelah mandi, dan menghadap lemari, Grama merutuki dirinya sendiri, "Ngapain juga gue ngerasa sial segala! Justru bagus kalau gue kesiangan, jadi bisa punya alasan buat datang entar-entaran." Puas Grama dengan pikirannya.
Bukannya segera memakai baju, Grama justru berjalan ke arah ranjang sempitnya untuk melanjutkan tidurnya yang sempat terganggu. "Maaf, Les. Gue mau kencan dulu," gumam Grama sebelum menarik selimutnya sampai menutupi kepala.
Sedangkan di tempat lain, Lesta merasa gugup menunggu. Kedua orang yang memiliki janji dengannya belum datang juga. Jus dingin yang dipesannya pun telah habis setengahnya.
Matahari semakin tinggi saat Ardi melajukan motornya membelahi jalanan. Bermodal jaket jeans yang dipakainya, Ardi menerjang panas dan angin yang menerpa tubuhnya.
Sampai di kafe tujuannya, laki-laki berambut gondrong itu melepaskan helm fullface-nya. Sempat-sempatnya tersenyum pada orang-orang yang dilewatinya. Bahkan Ardi melatih bibirnya untuk menunjukkan kesan pertama yang baik untuk kedua gadis yang hendak ditemuinya.
Kesan pertama dari pelayan kafe yang sempat berpapasan dengan laki-laki itu ... Ardi memiliki wajah enak dilihat meskipun tidak begitu tampan yang wah sampai bisa membuat semua orang meliriknya. Sopan gitu, liatnya.
"Les," sapa Ardi dengan senyumnya.
Lesta tersenyum lebar membalas sapaannya. "Hi, maaf ya, kayaknya Grama bakalan telat."
"Iya, santai aja."
Keduanya tidak tau saja jika Grama masih belum beranjak dari ranjangnya.
"Paling mantap emang kalau libur sekolah itu rebahan." Grama menggesek-gesekkan wajahnya pada bantal. Meskipun begitu matanya tak kunjung terpejam, dan otaknya tidak berhenti memutar janjinya pada Lesta sang teman. "Argh! Sial!" Akhirnya Grama bangkit juga. "Belum apa-apa aja mereka udah buat gue enggak tenang!" gerutunya menghampiri lemari, dan menarik kemeja hitam dengan asal.
Memang, dia sudah berpakaian. Hanya saja kemeja itu dibutuhkan untuk melapisi kaos putihnya yang pendek di atas siku lengan.
Bermodal uang receh sepuluh ribuan, Grama menaiki angkutan umum berwarna hijau untuk sampai di tempat janjian. Yang penting datang, itu lah yang dia pikirkan.
Sampai di kafe yang lumayan ramai dengan interior kekinian, di mana terdapat banyak spot foto seperti yang teman-temannya bicarakan. Grama celingukan, masalahnya dia baru pertama kali ke kafe Rindu ini. Dia mana pernah sih, keluyuran buat buang uang, bisa makan kenyang di rumah saja dia sudah bersyukur pada Tuhan. Kafe yang menjual makanan mahal jelas adalah tempat asing baginya, meski itu berada di dekat rumahnya sekali pun.
"Berasa anak ilang gue," gumam Grama memilih bersandar di pilar bangunan yang jauh dari keramaian. Dia berdiri di sana cukup lama sampai tukang parkir menghampirinya.
"Lagi nunggu siapa Neng, pacarnya, ya?"
F**k! Pacar apaan! Apa dia terlihat seperti gadis yang tengah menunggu seseorang? Padahal Grama hanya tengah mencoba menenangkan debaran jantungnya yang maraton tanpa bisa dia kendalikan. Benar-benar kampungan!
"Enggak Pak, saya lagi ngangin bentaran," jawab Grama asal, bahkan dia mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah seolah benar-benar kepanasan.
"Masuk aja, Neng. Adem kalau di dalam. Di sini mah emang panas."
Mau tak mau Grama pun mengangguk, dan dengan ogah-ogahan masuk lebih dalam. Dia sadar dia terlihat mencurigakan jika terus berdiri di dekat parkiran. Bahkan, Grama tau jika beberapa orang juga diam-diam memperhatikan.
Apa yang harus dia katakan?
Apa yang harus dia lakukan?
Itulah yang terus berputar-putar di dalam benak Grama, sungguh dia lebih senang berada di balik layar dan berpikir orang lain tidak perlu tau siapa dirinya, dibanding harus mengadakan pertemuan, dan memikirkan kesan apa yang harus dia tinggalkan.
Terkutuk lah segala kecemasan yang dia rasakan!
KAMU SEDANG MEMBACA
No Crush No Love ✅
Fiksi RemajaBukannya gue enggak percaya sama yang namanya kekuatan cinta, tapi apa gue mesti terlibat dalam menunjukannya? Apa bisa bawang merah kayak gue gantiin posisi putri keraton kayak Lesta? Mungkin bisa, kalau soal hati siapa yang, tau kan, ya Masalahnya...