Bisakah kita saling mengobati, bukan melukai?
'Gramatika'Grama menyedot teh pocinya setelah menelan bakso colok yang dia beli di pinggir jalan. Sore ini dia tengah santai, kepergian orang tuanya yang bisa berbulan-bulan membuat gadis itu sudah terbiasa sendirian. Biasanya dia memanfaatkan waktunya untuk rebahan, atau sekedar menjual novel-novel yang memang harus dia jual.
Saat hendak menyebrang jalan menuju gerbang rumahnya, Grama mundur lagi karena melihat motor Ardi terparkir di dekat pohon samping rumahnya.
Mau ngapain lagi sih? Batinnya.
Grama sudah merasa cukup dia berada di antara hubungan temannya, dia tidak ingin kehilangan Lesta hanya gara-gara laki-laki yang baru dikenalnya. Jadi, semalam Grama memang sengaja tidak membalas pesan Ardi bahkan tidak online sama sekali, baru tadi pagi dia online hanya sekedar membuka grup sekolahnya saja.
Gadis itu bersembunyi di balik gerbang tetangga seberang rumahnya yang terbuka sampai Ardi pergi.
"Begini lebih baik," ujarnya saat berlari-larian menyeberangi jalan.
Sedikit yang Grama sangkal, bahwa apa yang dia lakukan sebenarnya bukan hanya karena persahabatannya dengan Lesta, tetapi dia tidak ingin merasa kehilangan. Kehilangan orang yang baru dia kenal.
Tepat saat memasuki kamarnya, ponsel Grama berbunyi, saat dilihat ternyata ada panggilan suara dari Lesta. Berulang-ulang kali Grama menolaknya, sampai akhirnya Grama memutuskan untuk mengangkatnya.
"Apa?" tanya Grama sedikit melempar ponselnya yang sudah mode loudspeaker ke atas ranjang.
"Ama."
Sh*t! Perasaan apa lagi sekarang.
Kenapa dia merasa terlalu berlebihan?
Padahal Grama hanya berusaha agar tidak meluapkan perasaannya pada Lesta.
Di kondisi normal saja Grama sudah kasar, apalagi sekarang ... bisa-bisa dia membuat kekacauan.
Fyi, panggilan Ama itu sangat jarang dipakai sahabatnya.
"Lo enggak apa-apa, 'kan? Ardi khawatir lo enggak online, dan dia samperin ke rumah lo juga lo enggak ada."
Ardi, Ardi, Ardi! dumel Grama dalam hati.
Menghembuskan napasnya, Grama mengambil posisi duduk, dan mendekatkan ponselnya. "Gue enggak apa-apa."
"Terus lo ada di mana?"
"Di rumah."
"Tapi Ardi ...."
Ardi lagi, batinnya.
"Udah ya, Les. Gue tutup dulu."
Tutt
Grama membanting tubuhnya untuk berbaring. Gadis itu menatap langit-langit kamarnya, dan berpikir ada apa dengan dirinya? Grama merasa dia harus menjauhi Ardi, tetapi kenapa semesta seperti menggiringnya untuk memikirkan laki-laki itu, sih!
Bagus sekali G, jangan bilang lo suka sama dia, peringat Grama dalam hatinya.
Kenapa dia juga merasa kesal pada Lesta?
Kenapa sih, Lesta tidak mengaku saja jika memang menyukai Ardi? Tanpa perlu mengirim video kata-kata, atau playing victim pun Ardi sudah suka padanya, kenapa dan kenapa ... itulah yang ada dipikiran Grama sampai gadis tomboi itu kesal sendiri pada dirinya.
Jangan sampai lo jadi orang jahat G, batin gadis itu sambil memejamkan matanya dengan paksa.
Namun, tak lama ....
KAMU SEDANG MEMBACA
No Crush No Love ✅
Teen FictionBukannya gue enggak percaya sama yang namanya kekuatan cinta, tapi apa gue mesti terlibat dalam menunjukannya? Apa bisa bawang merah kayak gue gantiin posisi putri keraton kayak Lesta? Mungkin bisa, kalau soal hati siapa yang, tau kan, ya Masalahnya...