Baru kali ini aku melewati akhir pekan yang sangat menyedihkan. Memang sih, biasanya juga kalau akhir pekan aku di rumah aja. Paling ke minimarket menemani Bunda belanja, atau cuma seharian di rumah menonton Youtube atau drama korea.
Semuanya jadi terasa sangat menyedihkan di saat teman-temanku sedang camping di pantai, sementara aku gabut banget di rumah. Aku semakin merasa ngenes banget ketika membayangkan bagaimana serunya mereka yang sedang camping. Membangun tenda di pinggir pantai, lalu membakar jagung di dekat api unggun, dengan beberapa cowok yang bernyanyi sambil main gitar bergantian. Apalagi seluruh anggota geng-nya Mas Kev ikutan, pasti acara jadi semakin meriah.
Sayangnya seluruh imajinasiku itu hancur saat Bunda dengan tegas bilang, "Nggak boleh. Titik."
Sumpah, Bunda cuma bilang begitu dengan pelototan tajam, seolah tatapan itu tengah menyumpahi kalau aku ngeyel, bakal langsung kena malapetaka. Kalau aja Bunda memberikan sederet alasan untuk melarangku, aku pasti akan berusaha menyangkal apa pun alasannya supaya tetap bisa camping.
"Bunda udah tau kamu pasti bakal bantah. Jadi Bunda nggak mau ngasih alasan panjang-panjang, karena Bunda nggak mau debat. Bunda capek, Dek, baru pulang kantor," keluh Bunda sambil memijat pelipisnya.
Meski kasihan melihat Bunda yang capek banget baru pulang kantor, aku nggak menyerah begitu saja.
"Ya udah, Bun, aku nggak usah dikasih uang saku deh pas camping. Aku masih punya uang kok," rayuku lagi.
Biasanya kalau Bunda nggak mengizinkanku main gini tuh gara-gara masalah uang saku. Bunda sama saja seperti kebanyakan ibu di luaran sana yang perhitungan banget kalau kasih uang saku.
Bunda menatapku jengah. "Dek, nggak denger Bunda bilang nggak mau debat? Kalau Bunda bilang enggak, ya enggak."
Tatapanku berpindah pada Ayah. Bahuku langsung melemas saat Ayah hanya menghela napas panjang, lalu memberikan kode, "Ayah ngikut Bunda."
"Yah, padahal ya, kalau aku camping, Ayah sama Bunda kan bisa pacaran ..." aku terus bersikeras sambil duduk di sebelah Ayah, lalu memijat bahunya.
"Nah, agak turun dikit, Dek." Alih-alih menanggapi kalimatku, Ayah malah memberikan instruksi pijatan di bahunya. "Nggak kerasa, Dek, kurang kenceng."
"Please, Yah ... aku janji bakal jaga diri, bakal ngabarin Ayah terus. Pokoknya Ayah nggak usah khawatir deh! Di sana tuh rame-rame. Bakal banyak yang jagain kok!"
Ayah malah memejamkan mata meningkahi pijatanku. Sementara Bunda bangkit dari sofa, menuju meja makan.
"Kamu nggak masak buat makan malam, Dek?" tanya Bunda.
Kemarin aku berusaha membujuk Bunda dengan menjadi anak baik. Aku mengerjakan banyak pekerjaan rumah yang biasanya dikerjakan Bunda, seperti menyetrika pakaian, memasak makan malam, mengepel lantai, dan masih banyak lagi. Makan malam yang kumasak juga spesial banget. Aku sengaja menyisihkan uang jajanku untuk membeli daging supaya bisa memasakkan steak, karena kalau nunggu Bunda yang beli dagingnya jadi nggak surprise. Tentu saja Bunda dan Ayah sangat antusias dan memujiku berkali-kali.
Sayangnya semua effort yang sudah kulakukan sampai bermandikan keringat itu nggak juga membuahkan hasil. Bunda tetap menggeleng tegas tanpa menyebutkan alasannya.
Akhirnya aku mengeluarkan senjata terakhirku untuk membujuk Bunda. Yaitu dengan ngambek nggak mau mengerjakan pekerjaan rumah. Tentu saja aku juga nggak memasak makan malam.
Padahal sejak dulu aku dan Bunda sudah membuat kesepakatan untuk bagi tugas dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mengingat Bunda itu wanita karir dan aku anak tunggal. Sejak SD, ketika ART yang sudah mengabdi di rumahku bertahun-tahun memutuskan keluar karena alasan kesehatan, Bunda nggak punya waktu untuk mencari ART baru. Lagian aku juga malas kalau harus berkenalan dengan orang baru lagi, yang belum tentu sebaik ART yang sebelumnya. Alhasil, kami sepakat untuk mengerjakan pekerjaan rumah dengan bergotong royong bertiga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfectly Wrong
FanfictionZetarine sangat menyukai Kevlar. Baginya, Kevlar itu serupa tokoh Webtoon yang terlalu sempurna untuk menjadi nyata. Namun, di tengah usaha Zetarine dalam mendapatkan perhatian Kevlar, Arion terus mengganggunya. Tidak hanya Arion, perjuangan Zetari...