23. Jealousy

5.4K 1.2K 463
                                    

"Nggak boleh!"

Bunda langsung memelotot saat aku izin mau makan di luar sama teman. Kalau cuma makan di luar, biasanya Bunda nggak bertanya lebih lanjut siapa teman yang kumaksud, jadi aku nggak perlu menceritakan soal Mas Arion.

"Ini tempat ramen yang katanya enak banget, Bun! Tiap meja ada sekatnya, jadi nggak berkerumunan!"

Kemudian aku mendekati Bunda, menyodorkan Whatsapp yang menampakkan chat bersama admin restoran. "Nih, aku udah reservasi tempatnya, jadi bisa langsung dapet tempat, nggak pakai waiting list dan kemungkinan ketemu orang juga makin dikit."

Alih-alih menatap layar ponselku, Bunda malah mencibir. "Gaya banget kamu, pakai reservasi segala!"

"Ya soalnya ini kebijakan khusus pas PSBB, Bun! Mereka protokol kesehatannya ketat banget!" sahutku. "Aku udah suntuk banget di rumah aja tiga minggu. Mau refreshing bentar!"

Butuh akting lebih bagus untuk membujuk Bunda agar mau mendengarkan isi hatiku. Untung saja aku sudah ahli dalam hal ini. "Aku udah ngerjain semua tugas minggu ini. Udah nyetrika baju segunung, udah--"

"Jam lima udah harus sampai rumah!"

Senyumku langsung mengembang. Memang Bunda tuh pada dasarnya mudah dibujuk kalau urusan sepele begini. Kecuali kalau menginap, itu masih menjadi masalah serius yang belum bisa kupecahkan.

"Siap, laksanakan!" seruku girang.

Kalau hari biasa, pasti aku bakal protes karena dibatasi sampai pukul segitu aja. Namun, dengan kondisi seperti sekarang, dibolehin keluar saja sudah bersyukur banget. Lagi pula rencana kami cuma mau makan ramen.

"Perginya sama siapa sih? Kok girang amat?" selidik Bunda tiba-tiba.

Aku segera bangkit dari sofa, lalu mengantongi ponsel. "Temen."

"Temenmu kan punya nama, Dek!" sungut Bunda.

"Inisialnya A!" setelah berseru begitu, aku langsung menaiki anak tangga untuk menuju kamarku.

"Inisial A itu siapa?! Bunda tanya namanya, bukan ngajak main teka-teki silang!" teriak Bunda yang kubiarkan mengambang tanpa jawaban.

Semalam aku cuma iseng tanya Mas Arion soal tugas. Tadinya nggak kepikiran mau tanya dia sih, cuman di saat aku lagi pusing banget nggak tau jawabannya, Mas Arion malah kirim pesan. Ya sudah, aku minta ajarin sekalian.

Selesai mengerjakan tugas, saat aku sudah siap-siap mau tidur, pesan dari Mas Arion masuk.

Mas Arion Koor HPD : besok mau jalan nggak?

Dengan antusias, aku menyahut, "Mau banget! Pengen makan dine in aja. Rasanya kayak udah lama banget nggak makan di luar."

Singkat cerita, kami pun sepakat untuk makan siang bersama hari ini. Lebih tepatnya aku yang ngebet banget ingin pergi secepatnya karena sudah keburu stres di rumah aja.

Hanya butuh waktu dua puluh menit untukku siap-siap, karena sudah mandi sejak pagi tadi sebelum kuliah online. Senyumku melebar saat mendapati pesan dari Mas Arion yang bilang sudah dalam perjalanan ke rumahku sejak lima menit lalu.

Aku pun memilih menunggu di ruang tamu, biar nanti bisa langsung pergi dan Mas Arion nggak perlu ketemu Bunda dulu. Malas deh, kalau harus ditanya-tanya dulu, sementara aku sudah kelaparan.

Gara-gara aku belum menjawab pertanyaan Bunda tadi soal temanku, kini Bunda jadi menatapku penuh curiga. Bahkan Bunda dan Ayah ikut duduk di ruang tamu, seolah bersiap menyidang siapa pun temanku yang akan datang sebentar lagi.

Perfectly Wrong Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang