20. Niat Nggak Sih?

5.1K 1.1K 677
                                    

"Nih!" Tiba-tiba Sandra mengacungkan ponselnya ke arahku.

Refleks aku menerimanya. "Apaan nih?"

Kening Sandra mengerut heran. "Foto Mas Kev."

"Ya gue tau ini foto Mas Kev. Terus kenapa?" gerutuku sambil melirik ponsel Sandra, mencari keanehan di foto tersebut.

Namun, aku nggak menemukannya. Foto itu menampakkan Mas Kev sedang menyuap makanan sambil tertawa menghadap seseorang di sebelahnya yang nggak tertangkap kamera.

Sama sekali nggak ada yang aneh.

"Katanya lo mau foto Mas Kev?"

"Sekarang lo udah nggak naksir Mas Kev, Ren?" selidik Eliza.

Pertanyaan tersebut membuatku tersentak. Sekali lagi aku melirik foto tersebut, tapi nggak merasakan sesuatu yang membuat jantungku berdegup tidak karuan.

"Udah bukan Kevlar lagi, tapi Arion. Iya 'kan?" tanya Sandra.

"Kok lo langsung tanya gitu?"

"Beberapa hari lalu Ardo cerita, katanya lo lagi deket sama Arion." Sandra menatapku dengan tatapan terluka. "Perasaan kita nggak sekelas cuma tiga matkul, tapi kenapa udah banyak banget yang lo sembunyiin dari gue sih?"

"Apa juga gue bilang, Ren, Mas Arion jauh lebih oke dibanding Mas Kev. Maksud gue, cowok pentolan kampus yang akrab sama semua orang tuh nyebelin! Yang ada cuma bikin makan hati. Mending sama yang kalem kayak Mas Arion!" tukas Eliza.

"Ya emang sih, setelah gue pikir lagi, Mas Arion nggak seburuk itu kok!" sahutku.

Eliza memelotot nggak terima. "Siapa yang bilang Mas Arion buruk?!"

"Gue," jawabku. "Pas belum kenal, gue kesel banget sama dia. Kayak ... songong banget mukanya. Kesel aja gitu gue liatnya. Tapi setelah kenal ... orangnya oke juga."

Kalimatku berhasil mengundang rasa penasaran keduanya. Aku pun menceritakan secara singkat apa saja yang sudah terjadi di antara aku dan Mas Arion. Termasuk perkataannya saat makan gelato. Minus kejadian kami rebutan gelato sampai jadi tontonan bocah.

"Sumpah, dia bilang gitu? Anjir gentle banget!" seru Eliza mengomentari ceritaku soal Mas Arion yang bilang kalau dia mau pedekate.

"Tadinya juga dia nggak gentle. Malah nyuruh gue lupain aja. Pas gue omelin, baru ngomong. Bisa aja dia ngomong gitu karena udah gue todong," sanggahku.

Pemikiran itu memang sempat memenuhi kepalaku. Meski begitu, beberapa perlakuannya mulai berhasil menggoyahkan hatiku. Entahlah. Sejak dia mengaku kalau menyukaiku, mataku sudah nggak menatapnya dengan pandangan yang sama seperti beberapa waktu lalu.

Yang ada aku malah terus berandai-andai, semisal dia sungguhan jadi pacarku, apakah aku bisa dengan leluasa menyentuh bibirnya yang suka julid itu? Apakah aku bisa ... memeluknya saat dibonceng naik vespanya?

"Terus, besok Minggu kalian jadi jalan bareng?" tanya Sandra.

Kedua alisku bertaut. "Jalan bareng?"

"Tadi lo bilang dia minta lo jadi modelnya!"

Tanganku langsung menepuk dahi pelan. "Lah, iya! Ternyata bentar lagi udah hari Minggu ya?"

"Taruhan nggak nih, Za?" tanya Sandra pada Eliza. "Setelah mereka photoshoot pasti langsung jadian!"

"Gas! Mau apa nih taruhannya?" timpal Eliza penuh semangat. "Eh, lo aja belum traktir kita yang waktu taruhan di kantin itu!"

"Kan waktu itu gue belum deal! Mana bisa taruhan sepihak gitu?" protesku.

"Ya pokoknya! Lo 'kan diem aja. Jadi gue anggap deal!"

Perfectly Wrong Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang