19. Pilih Salah Satu

4.9K 1.1K 987
                                    

"Ini lo dapet dari Mas Arion udah dikasih sampul gini?" tanya Shanika sambil meneliti buku Manajemen Keuangan Fundamental yang baru saja kukeluarkan dari tas.

"Nggaklah, gue yang kasih sampul sendiri," jawabku.

Sebelum Shanika berkomentar lagi, pandanganku tertuju pada seseorang yang baru saja memasuki kelas. Tidak hanya menarik perhatianku, sosok itu langsung menjadi pusat perhatian seisi kelas.

Sayup-sayup bisikan riuh terdengar. Begitu juga dengan Shanika yang ikut berbisik padaku. "Mas Kev ikut kelas ini?"

Aku mengangkat bahu. Semester ini baru memasuki minggu ketiga. Dan seingatku selama dua minggu kemarin, nggak ada Mas Kev di kelas ini. Memang ada beberapa kakak tingkat yang mengulang mata kuliah ini, tapi aku yakin nggak ada Mas Kev.

"Mas, ikut kelas ini juga?" Aku memberanikan diri untuk menyapa, karena dia duduk tepat di baris belakangku.

Dia mengembangkan senyum kemudian mengangguk. "Ini kelas C Manajemen Keuangan Pak Theo kan?"

Kali ini gantian aku yang mengangguk. "Perasaan kemarin Mas Kev nggak ada di kelas ini?"

"Soalnya 2 minggu pertama gue izin, ada urusan di BEM, jadi nggak bisa ikut kelas pagi. Makanya khusus dua minggu kemarin gue masuk kelas A yang rada siang," jelasnya.

Tidak lama kemudian, Pak Theo datang memulai perkuliahan. Aku bisa menyadari pandangan Pak Theo terus tertuju pada Mas Kev, sepanjang penjelasannya. Tidak cuma sekali, Mas Kev terus ditanya-tanya tentang materinya dengan nada tidak enak. Untung saja Mas Kev bisa menjawabnya dengan baik.

"Pak Theo kenapa kelihatan sensi banget sama lo sih, Mas?" Shanika langsung memutar tubuh menghadap Mas Kev, begitu kuliah berakhir.

Mas Kev tersenyum tipis, "Biasa, gue 'kan anak kesayangan!"

Aku paham banget kalau itu berkonotasi negatif. Sebenarnya Pak Theo itu bukan dosen galak. Beliau cuma sedikit lebih tegas. Dan kalau sejak awal sudah pernah membuat kesalahan, beliau tipe orang yang akan terus mengingat kesalahan itu, sampai lulus. Aku tahu banget, karena Eliza sudah dicap buruk oleh Pak Theo di semester kemarin, gara-gara dia sering terlambat.

Kalau Pak Theo sudah kesal, dia bisa bersikap sangat menyebalkan seperti ibu-ibu yang sedang PMS. Persis seperti sikap beliau saat berbicara dengan Mas Kev tadi.

"Kok bisa?" Shanika berjalan mengikuti Mas Kev keluar kelas, mau nggak mau aku pun mengikutinya.

"Dia emang suka sensi gitu sama anak BEM!" cerita Mas Kev santai. "Jadi tahun lalu gue 'kan lagi aktif-aktifnya di BEM, ada acara yang bikin gue nggak bisa ikut kelas dia, bahkan gue udah dapet surat izin nih dari TU. Tapi tetep sama Pak Theo nggak boleh. Gue disuruh ikut jadwal dia di kelas lain. Sementara gue bener-bener nggak bisa. Eh, terus Pak Theo kayak sengaja banget gitu bikin kuis dadakan pas gue sama anak BEM lain nggak masuk. Pas gue ngajuin minta kuis susulan, dia nggak mau. Bahkan yang lain juga udah mohon-mohon minta tugas pengganti buat tambahan nilai, tetep nggak mau. Dan itu dia lakuin dua kali. Jadi nilai kuis gue kosong dua. Ditambah gue juga nggak pinter-pinter banget, nilai UTS sama UAS gue jadi pas-pasan aja."

"Lo ngulang gara-gara dapet nilai apa, Mas?" tanyaku.

"C-. Semua temen gue yang anak BEM ngulang kok. Malah ada temen gue yang dapet D. Emang udah sering dibahas Pak Theo tuh! Nggak tau dulu dia ada masalah apa sama anak BEM, terus sampai sekarang selalu sensi sama anak BEM," jawab Mas Kev sambil geleng-geleng.

"Kalau sama anak HIMA, sensi juga nggak?" aku yang sudah terlanjur asyik menyimak nggak bisa menahan diri buat terus menyahut.

Mas Kev tampak menimbang sejenak. "Sebenarnya dia sensi sama semua organisasi sih, cuman anak HIMA tuh prokernya nggak sebanyak anak BEM kayaknya. Jadi mereka nggak pernah yang sampai harus izin gitu. Paling cuma terlambat. Nah, kalian tau sendiri kan, kalau dia tuh benci banget sama yang suka telat?"

Perfectly Wrong Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang