14. Memang Begini Dari Sananya

4.6K 1.1K 302
                                    

Aku menghela napas kasar saat membaca pesan yang baru masuk ke ponselku.

Mas Arion Koor HPD : gue di ayam bakar bu tinah

Mas Arion Koor HPD : lo ke sini aja

Tadinya aku meminta untuk bertemu di bawah pohon dekat pos satpam saja. Toh, dia cuma mau memberikan bukunya. Nggak ada lima menit juga selesai. Namun, balasan yang kudapat justru seperti barusan.

Kalau saja dia bukan kakak tingkat, dan aku nggak punya kepentingan sama dia, jelas aku nggak akan menurutinya.

Warung ayam bakar yang dimaksud memang nggak terlalu jauh. Sekitar 300 meter dari gerbang utama kampus. Namun, tetap saja terasa sangat jauh karena ini siang hari. Rasanya matahari seperti sedang bersinar satu jengkal di atas kepalaku.

Sambil terus mendumal, aku berjalan ke warung itu. Tiba-tiba sebuah pesan kembali masuk.

Mas Arion Koor HPD : mau pesen apa?

Zetarine : gak usah

Setelah lima menit pesan itu berubah terbaca, tidak ada balasan lagi yang muncul. Aku pun mempercepat langkah agar semua ini bisa cepat selesai. Masalahnya mata kuliah Pak Theo itu besok Senin pagi. Jadi hari ini aku harus mendapatkan buku itu, nggak bisa ditunda lagi.

Tadinya kupikir, sesudah aku bayar bukunya, Mas Arion bakal langsung memberikan buku itu sehari berikutnya. Namun, sampai hari ketiga, dia nggak juga mengirimiku pesan untuk mengajak bertemu. Akhirnya di hari keempat, aku mengirim pesan lebih dulu untuk menanyakan bukunya. Kemudian dia malah membalasnya dengan sederet kegiatan yang super sibuk.

"Aduh, gue bisanya kapan ya? Besok gue kuliah sore, terus lanjut bimbingan kerja praktik."

Tadinya aku sudah mencetuskan buat bertemu hari Jum'at aja, saat dia main basket. Namun, saat aku menanyakan buku itu, dia cuma bilang, "lupa gak gue bawa," tanpa ada rasa bersalah sedikit pun.

Setelah berulang kali membuat janji ulang, akhirnya dia menyanggupi bertemu hari Sabtu ini. Biasanya hari Sabtu aku sengaja mengosongkan jadwal biar bisa libur dua hari. Namun, gara-gara saat KRS-an aku terlambat, jadi jadwal kuliah yang enak sudah penuh. Tinggal jadwal-jadwal di jam dan hari yang menyebalkan, seperti Sabtu ini contohnya.

Nggak sulit menemukan keberadaan Mas Arion di dalam warung. Sebetulnya, warung ini terletak di barisan ruko dekat kampus. Meski menurutku, ini terlalu bagus untuk disebut warung, karena tempat duduknya cukup nyaman dan ada banyaknya kipas angin dinding yang membuat suasana nggak terlalu panas. Desain interiornya juga lebih terkesan kekeluargaan. Lebih cocok disebut restoran keluarga dibanding warung. Namun, sepertinya tempat ini ingin menarik pasar mahasiswa sehingga merendahkan dirinya dengan nama warung, agar terkesan lebih murah.

Mas Arion memilih duduk di bagian lesehan. Dia sudah melihatku saat aku berjalan ke arahnya.

Kekesalanku semakin memuncak saat melihat dua porsi ayam bakar sudah terhidang di depannya. Kedua porsi itu masih utuh, menandakan kalau dia belum makan sama sekali.

"Kan gue udah bilang, nggak usah dipesenin. Gue nggak mau makan," sungutku sambil memandangi paha ayam bakar yang terlihat sangat menggoda.

Setelah kuamati lebih lanjut, sepertinya nasi yang dibentuk setengah lingkaran di dekat ayamnya itu adalah nasi uduk. Berhubung nasi uduk adalah kesukaanku, aku pun menarik satu piring tersebut ke hadapanku. Nggak papa deh, makan di sini aja. Toh, aku juga belum makan siang. Daripada mubazir, karena sudah dipesan.

Sebagai permulaan, aku menusukkan mentimun dengan garpu, dan mulai memakannya. Mood-ku sedikit membaik karena mentimunnya masih segar. Ketika aku hendak mengambil potongan mentimun kedua, aku baru sadar kalau minuman yang dia pesan cuma satu.

Perfectly Wrong Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang