26. Kangen

3.8K 813 50
                                    

Saat melihat wajah Mas Arion, tiba-tiba aku jadi mellow sendiri. Apalagi dia terus-terusan menyinggung soal kepulangannya ke Surabaya besok. Rasanya aku ingin melarang, tapi nggak mau egois juga. Masa aku bisa berkumpul dengan keluargaku, tapi dia enggak?

"Kenapa sih, kok diem aja?" tanyanya sambil mematikan rokoknya di asbak.

Sebelumnya Mas Arion memang nggak pernah merokok di depanku. Dia bilang cuma merokok di saat pikirannya sedang penuh aja. Namun, ketika kami sedang bersantai di gazebo, dia melihat asbak dan kotak rokok di dekat rak buku. Itu milik Ayah. Biasanya Ayah suka merokok di sini, karena Bunda nggak suka asap rokok.

"Aku boleh ngerokok nggak?" tanyanya ketika menemukan lighter milik Ayah juga.

"Nggak papa kok kalau nggak boleh!" ucapnya cepat, sebelum suaraku keluar.

"Boleh! Aku juga sering nemenin Ayah ngerokok kok!"

Setelahnya dia mengeluarkan kotak rokok dari saku jaketnya, lalu mulai merokok sambil membelakangiku agar asapnya nggak mengenaiku. Sedangkan aku bersandar di punggungnya dan menghabiskan waktu untuk melamun. Baru beberapa menit lalu aku mengubah posisiku jadi memeluknya dari belakang.

Dia melepaskan pelukanku, kemudian memutar tubuh sehingga kami berhadapan.

Aku cuma menggeleng. "Nggak papa."

"Beneran?"

"Hmm ...."

Suasana kembali hening. Sama seperti kemarin, Ayah kembali meminjam vespa untuk jalan-jalan bersama Bunda. Aku tahu sekarang Bunda udah ketagihan dibonceng naik vespa. Bahkan tadi Bunda yang membujukku agar di rumah aja dengan Mas Arion, sehingga vespanya bisa dipinjam. Aku nggak menyangka bakal rebutan vespa dengan orang tuaku sendiri.

Namun, itu bukan masalah besar. Toh, sekarang aku juga sedang nggak mood ngapa-ngapain. Aku hanya ingin memeluk Mas Arion selama yang kubisa, sebelum jarak memisahkan kami.

Tiba-tiba aku jadi kepikiran, tadi Mas Arion bilang, dia cuma merokok di saat pikirannya sedang penuh aja. Itu artinya sekarang pikirannya sedang penuh kan? Apa berarti dia juga sama nggak relanya denganku untuk berpisah jarak?

"Mau nonton Netflix?" tawarnya.

Daripada terus-terusan meratapi kesedihan mau ditinggal pergi, aku pun mengangguk. Kemudian Mas Arion lebih dulu memposisikan tubuhnya di bean bag dan mengambil laptopku. Tadi saat ingin mengambil iPad, ternyata baterainya habis. Alhasil aku membawa laptop ke sini.

"Kemaren sebelum ketiduran kamu nonton apa?" tanyanya pelan.

Sepertinya dia sungguh memahami bagaimana perasaanku sekarang. Makanya dia berusaha menyedot perhatianku.

"Vagabond."

Dia langsung mencari series tersebut. "Ini ceritanya tentang apa?"

"Kamu baca sinopsisnya aja, aku males jelasin."

Kupikir Mas Arion bakal ikut menyahuti kalimatku dengan sengit. Namun, rupanya dia masih tetap sabar menuruti ucapanku.

"Kayaknya seru nih!" serunya setelah membaca sinopsisnya.

"Sini, Ren!" tiba-tiba dia bergeser ke kiri dan menepuk sisa bean bag yang ditempatinya. "Bisa nih, buat berdua!"

Aku masih terpaku di tempat. Bean bag itu memang cukup besar sih. Ayah dan Bunda juga suka memakainya berdua. Namun, itu artinya pundakku dan pundak Mas Arion harus menempel. Dan aku khawatir dadaku akan terbelah saking tidak kuatnya menahan lonjakan jantungku yang begitu keras.

Perfectly Wrong Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang