8: Salah Ngomong

10K 132 6
                                    

Rencananya, Aris akan menginap di Jakarta selama seminggu sebelum nanti kembali ke Australia. Sekarang aku tak lagi pulang bareng dengan Rina dan tak perlu lagi mengalami "insiden" menegangkan di dalam bus. Rina selalu diantar-jemput oleh Aris menggunakan sepeda motor, kadang juga menggunakan mobil.

Beberapa hari sejak Aris ada di Jakarta, aku melihat beberapa perubahan di dalam diri Rina. Pertama, ia hampir selalu mengenakan jaket berleher tinggi di kantor. Alasannya, AC kantor terlalu dingin. Namun aku pernah melihatnya sekali saat ia lupa mengenakan jaket. Ada bekas merah di pangkal leher Rina yang sangat kontras dengan kulit cerahnya.

"Leher lo kenapa, Rin?" tanyaku iseng.

"Eh? I-ini?" Ia buru-buru memakai jaketnya. "Digigit nyamuk. Hehehe."

"Oooh.. nyamuk?" godaku. "Sejak Aris pulang, kosan lo jadi banyak nyamuk, ya? Hati-hati tuh, katanya nyamuk Australia ganas-ganas."

"Iiih... Mas Panji maaah!" Rina memukul bahuku pelan.

Kurasa ia sudah tahu bahwa aku sudah tahu. Tak perlu bertanya, aku bisa membayangkan nyamuk macam apa yang menghisap leher Rina tadi malam. Tak masalah, aku bisa membayangkan hubungan mereka seperti apa. Untuk sepasang kekasih yang telah lama tak bertemua kurasa itu wajar.

Kedua, ia selalu pulang tepat waktu. Tak ada waktu luang untuk ngobrol-ngobrol di lobi atau ngopi sore di pantry seperti biasa. "Mas Aris udah jemput", katanya. Entah mereka pergi ke mana. Mungkin nge-date di bioskop, nongkorng di kafe, atau buru-buru masuk kamar. Tingkahnya seperti pengantin baru saja.

Aku paham, waktu seminggu sangatlah singkat bagi pasangan yang dimabuk rasa rindu. Mereka pasti ingin memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Aku pun tahu diri. Aku menjaga jarak dan bersikap sebagai sahabat yang pengertian, baik kepada Rina maupun Aris.

Meski demikian, aku tetap tak bisa melupakan apa yang telah Rina lakukan kepadaku di toilet. Saat berjumpa dan berbicara dengannya di kantor, aku selalu melirik ke arah bibirnya. Aku selalu membayangkan bagaimana bibir merah muda yang kecil dan lembut itu pernah menjepit dan menghisap batang penisku. Hisapannya, jilatannya, kocokannya ....

"Mas! Mas Panji! Woooy! Ada orang di sanaaa?" ujar Rina sambil menggerak-gerakkan tanganya di depan wajahku.

Aku tersadar dari lamunanku. Wajah imut Rina terpampang di depan mataku dengan raut bingung. Hari itu ia mengenakan lipstik merah muda tipis, kacamata berbingkai merah maroon, sweater hitam, dan celana katun warna krem. Ia tampak manis seperti biasa.

"Iya, Rin? Ada apa?" tanyaku.

"Mikirin apa sih? Dari tadi aku minta kirimin file materi presentasi kok nggak didengerin?" tanyanya sambil menopang dagu. Matanya menatap wajahku, penuh selidik, seolah berusaha menembus isi kepalaku.

"Oh, sori, sori. Gue udah kirim tadi ke email lo, tapi size-nya lumayan gede jadi upload-nya lama. Ini baru kelar," jawabku dengan alibi. Tak mungkin aku jujur mengatakan bahwa aku sedang membayangkan bibirnya dan membuatku penisku mengeras di dalam celana.

"Jangan ngebayangin yang waktu itu terus," ujarnya sambil tersenyum simpul. "Itu cuma sekali itu aja ya, Mas."

"Apaan sih? Orang nggak mikirin apa-apa, kok," sanggahku. Sepertinya wajahku sedikit memerah.

"Hehehe. Oke deh, aku tunggu ya emailnya, Mas!"

"Oke, Bos!"

Rina melambaikan tangan dan hendak kembali ke tempat duduknya. Aku dapat melihat pantatnya bergoyang di balik celana katunnya yang ketat saat ia melangkah pergi. Tidak besar, sesuai dengan postur tubuhnya yang mungil. Tapi bentuknya tampak bulat dan padat

Tiba-tiba saja, ia berhenti melangkah dan membalikkan badan ke arahku. Ia berjalan mendekat ke tempat dudukku.

"Mas, Mas Panji," ucap Rina pelan sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku.

"Apa lagi?" tanyaku.

"Mas lagi mikirin seorang cewek, ya? Bener nggak?" tanyanya dengan suara nyaris berbisik.

"Cewek? Hmm.... Bisa iya, bisa nggak," jawabku. Aku tidak berbohong. Tergantung cewek mana yang ia maksud.

"Namanya Eva, ya?" tanyanya.

Mendengar nama itu, jantungku seperti berhenti berdetak. Tiba-tiba saja darahku serasa naik ke ubun-ubun dengan aliran yang sangat deras. Nama itu pernah disebut satu kali oleh Aris saat di restoran, dan aku masih bisa menahan diri. Kali ini, nama itu disebut untuk kedua kalinya. Kalau sampai disebut tiga kali, rasanya ada sesuatu yang akan meledak.

"Dari mana lo tau nama itu?" tanyaku balik, sambil berusaha menahan ekspresi.

Kupikir Rina tidak menyadari nama yang disebut Aris saat di restoran. Kalau sekarang ia menanyakannya lagi, pasti ada sesuatu yang memicunya.

"Hihihi .... Tadi malam Mas Aris sempet cerita ke aku, katanya Mas Panji belum bisa move on dari cewek yang namanya Eva," ucap Rina dengan wajah polosnya.

Dadaku terasa bergejolak. Eva adalah sosok yang sudah lama kututup rapat. Bisa-bisanya ia menyebut nama itu dengan wajah polos dan santai.

"Oh? Semalam? Sambil ngewe?" lontarku.

"Hah?" Rina mengernyitkan dahi.

"Iya. Jadi semalam kalian sambil ngewe sambil ngobrolin urusan pribadi masa lalu gue? Ngewe ya ngewe aja kali, Rin. Ga usah sambil ngegosipin orang. Emangnya enak apa?" ucapku ketus.

Sejujurnya, aku pun terkejut dengan apa yang keluar dari mulutku. Mudah-mudahan tidak ada rekan kerja lain yang mendengar kata-kataku tadi.

Mendengar tanggapan itu, ekspresi Rina berubah seratus delapan puluh derajat. Wajahnya mengkerut dan menjadi pucat. Seperti ada awan gelap yang tiba-tiba saja muncul di matanya.

"Mas... Mas Panji kok ngomongnya gitu?" ucapnya pelan. Suaranya agak bergetar, matanya berkaca-kaca.

"Tau, ah! Gue pusing!"

Aku bangkut dari kursi dan meninggalkan Rina yang masih mematung di depan meja. Masuk ke toilet, aku mencuci wajahku berkali-kali. Setelah basuhan ke lima, aku menarik napas dalam. Bisa-bisanya aku berkata sekasar itu kepada Rina. Sialan benar. Aku jadi kehilangan kendali diri.

Aku membenci diriku yang kekanak-kanakan ini. Kata Aris, aku terlalu sensitif. Seharusnya aku sudah bisa melupakan perempuan itu. Sayangnya, aku tidak seperti dia yang punya banyak priviledge untuk memperlancar urusan percintaannya. Bagiku, ini bukan masalah sepele.

Sampai jam pulang kerja, aku selalu menghindari Rina. Aku menyumpal telingaku dengan earphone dan berpura-pura sibuk. Rina berkali-kali lewat di depan kubikelku, tapi terlalu takut untuk menghampiri.

Jam lima sore, Rina meninggalkan kantor. Pasti Aris sudah menunggu di bawah. Entah apa yang akan mereka bicarakan. Mungkin Rina akan mengadu kepada Aris tentang kata-kataku siang tadi. Peduli setan.

Sebelum pulang, aku memeriksa ponselku, ada setumpuk pesan masuk dari Rina, isinya kira-kira sama.

Mas, aku salah ngomong ya? :"<
Mas, maafin aku. :(
Aku nggak nyangka bakal begitu. Aku minta maaf.
Aku janji ga akan ungkit-ungkit nama itu lagi, tapi maafin aku dulu. :'(

Setelah membaca semua pesan itu, aku segera mematikan ponselku. Sekelebat wajah muncul dalam benakku. Wajah dari masa lalu yang membuatku menggebrak mejaku sendiri.

Jumpa Lagi, Rina!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang