Sekarang aku berada berdua bersama Rina di dalam kamar mandinya. Aku masih mengenakan pakaianku yang setengah basah, sementara Rina tak mengenakan sehelai pakaian pun di tubuhnya, kecuali selembar handuk yang tergantung pasrah di tangan mungilnya.
"Eh?" ucapnya.
"Hah?" balasku.
Suasana menjadi super canggung. Kami saling tatap. Aku berusaha tak menggeser pandanganku dari wajahnya karena aku tak siap menghadapi apa yang akan aku saksikan.
Memang, ini bukan pertama kali kami berada dalam suasana erotis, tapi biasanya Rina selalu berada dalam kondisi berpakaian lengkap. Biasanya akulah yang ia telanjangi, bukan sebaliknya.
Aku tak sanggup menahan pandanganku lagi. Dengan lirikan mataku, aku dapat melihat tubuhnya, nyaris tanpa penutup sama sekali. Sepasang payudara mungil dan padat itu menggantung polos. Aku dapat melihat puting susu Rina yang berwarna coklat muda dan ujung-ujugnya terlihat menegang, mungkin kedinginan.
Tanpa bisa kukendalikan, pandangan mataku terus menjalar ke bawah. Ke arah selangkangannya, tempat paling rahasia yang sekali pun tak pernah terbayang dalam benakku.
"Ih, apa sih? Mas kok ngeliatinnya gitu?" ucap Rina, kemudian segera menutupi bagian bawah tubuhnya menggunakan handuk. Namun handuk itu terlelau kecil sehingga buah dadanya masih tetap terekspos dengan bebas.
"Eh, sori! Sori!" ujarku sambil berusaha mengalihkan pandangan.
"Kenapa, sih?" tanyanya. "Penasaran?"
Aku menelan ludah dan mengangguk. "Maklum lah, baru sekali ini ngeliat."
"Sini, Mas," kata Rina lagi. "Kalau mau pegang boleh, kok. Tapi yang atas aja, ya?"
"Hah? Maksud lo Rin?"
Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, tiba-tiba Rina menggenggam tanganku, kemudian menariknya dan meletakkan telapak tanganku di atas buah dada kanannya. Aku dapat merasakan permukaan bukit payudaranya yang halus dan tekstur tonjolan putingnya di bagian tengah telapak tanganku. Ketika aku menggerakkan tanganku dan meremasnya perlahan, aku dapat merasakan benda yang kenyal dan lembut itu terasa hangat.
Tanpa diminta, aku langsung mengarahkan tangan kananku ke dada kirinya, sehingga sekarang aku dapat merasakan sepasang benda bulat itu dengan kedua tanganku. Aku meremas keduanya dengan perlahan, mencoba merasakan setiap mili sensasi kelembutan dan kekeyalannya.
"Punyaku kecil, ya Mas?" tanya Rina dengan suara yang agak serak. Sepertinya napasnya mulai terdengar tak beraturan.
"Nggak, kok. Aku suka," kataku, sambil tanganku terus memainkan buah dadanya, memijat, mengelus, dan meremas, seolah sedang mencoba mengukurnya.
"Tapi ... gedean punya Eva, kan?"
Ucapan Rina itu tiba-tiba saja membuat tanganku berhenti bergerak. Dalam benakku, yang muncul bukan lagi sosok Eva dalam video skandalnya, tapi sosok wanita anggun berjilbab putih yang kulihat di bus. Bayangan itu membuatku merasa malu dan sesak.
"Kenapa lo sebut nama itu lagi?" tanyaku sambil menatap mata Rina.
"Maaf, Mas. Aku nggak sengaja, aku lupa!" ucap Rina agak panik.
"Rin... kan gue udah bilang ...."
"Udah, udah. Sebagai permintaan maafku, Mas Panji, Mas boleh kok ...," kata Rina.
Tiba-tiba tangan Rina mengusap pipiku. Ia menatap mataku dengan sepasang mata yang redup, seperti penuh penyesalan, dan membuatku merasa tidak tega. Usapan tangannya kemudian berpindah ke rambutku, kemudian bergerak ke leherku dan menarik kepalaku ke arahnya.
"Mas kalau mau coba, sini, boleh kok," bisik Rina.
Aku tak sanggup menolak tawarannya. Rangkulan tangannya yang lembut itu berhasil membimbing kepalaku untuk menunduk, kemudian turun ke bawah, ke arah dada kirinya. Di depan mataku, hanya berjarak satu senti, terpampang puting payudara Rina yang basah dan menegang keras.
Ia terus menarik kepalaku, hingga akhirnya ujung bibirku mau tak mau menempel pada ujung putingnya. Kugerakkan wajahku perlahan, menggesek-gesekkan bibirku di puncak putingnya. Ketika tanpa sengaja putingnya itu terkena kumisku yang sudah kucukur pendek, Rina mendesah lembut. Kemudian, aku membuka sedikit bibirku, menjepit puting Rina di antara bibirku, kemudian mengemutnya perlahan.
Rina kembali mendesah.
Kalau kuingat-ingat, ini adalah pertama kalinya aku mendengar ia mendesah seperti ini. Dalam beberapa kali insiden terlarang kami, biasanya akulah yang selalu dibuat mendesah. Kali ini, desahan penuh hasrat dari mulut Rina itu membuatku merasa bangga dan juga penasaran. Aku ingin mendengar desahan merdu itu lagi. Lagi dan lagi.
Aku pun menjulurkan lidahku, kemudian menempelkan ujung lidahku ke sisi bawah puting Rina, lalu menyapunya hingga ke atas. Rina mendesah lagi. Setiap kali aku membelai puting Rina dengan lidahku, aku dapat merasakan getaran-getaran halus di tubuhnya. Puting itu terasa semakin keras, tapi juga membuatku semakin penasaran untuk terus menjilatinya.
Aku mengecup puting Rina, menjilati dan mengulumnya. Air sisa mandi di putingnya itu kini bercampur dengan air liurku. Aku mulai mencoba untuk menghisap dan menyedotnya dengan selembut mungkin. Aku hanya ingin mendengar ia mendesah. Desahannya adalah candu bagiku.
Sambil terus mengemut dan menjilati puting susunya, aku melirik ke arah wajah Rina. Aku dapat melihat ekspresi wajahnya yang belum pernah kusaksikan sebelumnya. Matanya setengah terpejam, kulit pipinya merona merah, sementara bibirnya terbuka sedikit dan mengeluarkan erangan-erangan pelan. Sementara itu, tangannya terus saja mengelus rambutku, sambil menahan kepalaku agar aku tak melepaskan hisapanku.
Setelah puas menyusu di dada kirinya, aku pun berpindah ke dada kanannya. Awalnya, Rina sempat protes ketika aku tiba-tiba saja melepaskan hisapanku.
"Mas? Mau ke mana?" tanyanya pelan.
"Kasihan kembarannya, nanti dia cemburu," gumamku, kemudian mulai melahap payudara kanannya.
"Aaah..." Rina mengeluarkan desahan tertahan.
Aku menjilat, menghisap, dan mengulum puting sebelah kanan itu. Awalnya, tangan kiriku kugunakan untuk meremas dan memijat payudara kirinya, tapi setelah beberapa saat, Rina menggenggam tangan kiriku dan mulai mengarahkannya ke tempat lain.
"Aaaahh... Mas... Mas Panji..." desahnya.
"Mmmm... Iya, Rin?" jawabku sambil terus mengulum putingnya.
"Maaf Mas, aku ... aku boleh pinjam tangannya yang ini sebentar?"
"Buat apa?" tanyaku lagi.
"Buat ... buat bantuin yang di bawah sini," ucapnya.
Rina kemudian mengarahkan tangan kiriku ke bagian bawah tubuhnya yang entah sejak kapan sudah tak tertutup handuk lagi. Aku dapat merasakan bagian dalam pahanya yang sangat halus dan basah. Kemudian ujung-ujung jariku di arahkannya untuk menelusuri setiap jengkal permukaan pahanya hingga tiba di antara selangkangannya. Bagian itu terasa hangat, meskipun kami berada di kamar mandi yang cukup dingin.
Jari-jemariku terus menjalar naik, hingga akhirnya aku tiba di sebuah bagian yang terasa jauh lebih lembut dari bagian lainnya. Bagian itu terasa memiliki beberapa lipatan dan kerutan, serta sedikit rambut-rambut halus yang tercukur rapi. Aku mulai menggerakkan jariku, dan aku menemukan sebuah celah yang terasa lembab. Semakin dalam jariku menelusuri celah itu, aku dapat merasakan sesuatu yang basah dan licin. Jelas ini bukan air dari shower kamar mandi, sebab teksturnya terasa licin. Aku pun mulai menggerakkan jari tengahku di bagian celah yang basah itu. Lama-lama jari tengahku itu tergelincir dan masuk lebih dalam lagi, ke bagian yang kini terasa hangat dan sempit.
Tiba-tiba saja, Rina mendesah dengan suara yang nyaring. Desahan itu sekilas seperti terdengar seperti jeritan.
"Kenapa?" tanyaku.
"Gapapa, Mas. Terus, Mas. Lebih dalam lagi. Aah...," gumamnya.
Aku kembali mendorong jariku, menembus celah sempit yang lembut itu. Aku dapat merasakan tekstur yang sedikit bergerinjal tetapi hangat dan basah. Dinding-dindingnya seperti menahan jariku, tapi juga mengundangnya untuk terus masuk ke dalam.
"Tolong, Mas. Please," gumam Rina.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jumpa Lagi, Rina!
RomansaRina sudah kuanggap seperti adik angkatku sendiri, apalagi ia juga pacar sahabatku. Namun ketika ia mulai bekerja satu kantor denganku, semuanya mulai berubah. Timbul insiden-insiden yang membuat hubungan kami semakin "menegangkan". WARNING: Mengand...