Persetubuhan antara Dimas dan Rina hanya berlangsung singkat. Rina terduduk dan wajahnya tampak malu sekaligus kesal. Di sisi lain, Dimas yang lemas dan mungkin juga merasa malu, memilih untuk segera mengenakan pakaiannya dan pergi dari tempat itu sambil cengengesan, meninggalkan Rina yang meringkuk lesu tanpa busana.
"Pantesan namanya Dimas ... Dikit-Dikit Lemas," gerutu Rina dengan wajah kesal.
Aku berlutut dan memeluk Rina. Dalam kondisi ini, segalanya sudah kepalang tanggung. Norma-norma yang biasa mengekang kami sudah lama hilang sejak awal kami memulai semua ini. Yang tersisa dari perasaan di dalam dadaku adalah rasa iba melihat Rina yang sudah terlucuti dari rasa malu dan moralitasnya, dan pada akhirnya malah tidak mendapatkan imbalan kenikmatan apa-apa. Sepertinya aku tahu apa yang harus aku lakukan.
Perlahan, aku mulai meraba dan mengelus tubuh telanjang Rina, seolah ingin membilas bekas sidik jari Dimas yang telah mengotorinya. Kuremas payudaranya, kupijat kedua putingnya, kemudian kuraba klitorisnya. Tak ada penolakan, tak ada perlawanan. Aku pun berbisik di telinganya.
"Gue lanjutin aja, ya. Biar tuntas."
Rina mengangguk.
Tanpa pikir panjang, aku melanjutkan apa yang telah kumulai dan sempat terinterupsi sebelumnya. Setelah memasang kontrasepsi, aku kembali menyetubuhi Rina dengan posisi yang sama, tetapi dengan motif dan isi hati yang berbeda. Jika sebelumnya setiap gempuran penisku dipenuhi amarah dan keputusasaan, kini setiap gesekan batangku pada lubang vaginanya menyiratkan keinginan untuk memberikan Rina sebuah kepuasan. Aku ingin ia merasakan setiap milimeter urat-uratnya yang menonjol, ototnya yang tegang dan keras tapi tetap fleksibel, dan kelembutan gesekannya pada celah yang basah miliknya itu.
Kubiarkan Rina mendesah dengan bebas. Aku tak peduli lagi. Lagipula, ini tak akan lama. Aku dapat merasakannya dari getaran dan hisapan tubuh Rina. Tak sampai lima menit, aku dapat merasakan tubuh Rina mengejang hebat dan nyaris ambruk seolah lututnya berubah menjadi jelly. Pada saat yang bersamaan, cairan hangat membanjiri batang penisku disertai hisapan yang kuat. Sebuah lenguhan keluar dengan merdu dari mulut Rina.
Melihat gejala ekstasi yang membuncah dari tubuh dan ekspresinya, akumelepaskan tembakan-tembakan sperma yang berkedut di dalam jepitan vagina Rina dan tertampung oleh ujung karet kondom. Kenikmatan menjalar ke seluruh tubuh dan kepalaku, menegang sesaat, kemudian menjadi sangat lemas.
"Udah puas, kan?" tanyaku sambil memeluk Rina lagi dan mencoba mengatur napas.
Rina tidak menjawab. Ada raut kesal dalam wajahnya. Aku mengerti, dalam situasi ini, segala jenis perasaan bercampur aduk. Termasuk perasaan-perasaan yang normalnya saling bertolak belakang: senang dan sedih, sakit dan nikmat, malu dan bangga.
Tidak masalah. Aku punya maksud lain mengapa aku sampai hari menyetubuhi Rina lagi setelah interupsi Dimas tadi. Bukan semata-mata untuk menyelesaikan hasratnya yang tertahan, tetapi aku juga ingin semua ini segera selesai. Habis. Tuntas.
Ya, aku sudah menggunakan sisa tiga jatahku barusan. Satu, saat aku mengajak Rina bercinta di ruangan ME ini. Dua, saat Dimas mengambil alih permainan. Tiga, saat aku menuntaskan hasrat Rina barusan. Sekarang, baik aku dan Rina sudah tak punya utang apa-apa lagi. Biarlah semuanya selesai sekaligus di ruangan yang kotor dan pengap ini, seperti sebuah klimaks cerita thriller yang menegangkan.
Kubiarkan Rina terdiam selama beberapa saat untuk mengembalikan ritme napasnya. Setelah ia tampak tenang, aku membantunya untuk kembali mengenakan pakaian. Aku ikut merapikan celana dan membungkus kondom bekas dalam sebuah tisu yang sejak awal kusimpan dalam saku celanaku.
"Sekarang semua udah selesai. Jatah gue udah habis." Aku menegaskan kembali.
Rina masih tak menjawab.
Setelah kami sama-sama berpakaian rapi, aku dan Rina sempat saling pandang. Aku menunggu kata-kata apa yang akan ia ucapkan. Apakah ia akan mencoba memanipulasiku lagi? Apakah ia akan mengungkapkan kemarahannya? Mungkin setelah semua ini, sekarang ia baru sadar bahwa ia telah bermain terlalu jauh. Mudah-mudahan saja hal serupa tak akan terulang.
"Jatah Mas Panji tinggal satu lagi," gumam Rina sambil membalikkan badan, bersiap pergi.
"Hah? Bukannya udah habis?" tanyaku.
"Nggak dong, Mas. Masih satu lagi. Apa aku pernah bilang kalau jatah Mas bisa dikuasakan ke orang lain? Nggak, kan? Jadi Si Dimas tadi itu nggak dihitung. Masih ada satu kali kesempatan lagi," ujar Rina.
Aku merasa tertipu. Dengan menarik napas dalam, aku mencoba berpikir jernih.
"Rin," gumamku. "Kenapa nggak kita akhiri aja permainan ini? Kita udah terlalu jauh."
Mendengar itu, Rina malah tersenyum. "Mas Panji gimana sih? Kalau nggak mau juga nggak apa-apa, nggak ada yang maksa kok. Aku kan cuma kasih info, bahwa, FYI, sampai saat detik-detik ijab kabul pernikahan aku dan Aris nanti, Mas Panji boleh pake aku satu kali lagi. Itu aja, kok!"Rina menjulurkan lidahnya ke arahku, kemudian pergi meninggalkan ruangan. Jantungku berdetak kencang lagi. "Justru itu masalahnya, Rin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jumpa Lagi, Rina!
RomanceRina sudah kuanggap seperti adik angkatku sendiri, apalagi ia juga pacar sahabatku. Namun ketika ia mulai bekerja satu kantor denganku, semuanya mulai berubah. Timbul insiden-insiden yang membuat hubungan kami semakin "menegangkan". WARNING: Mengand...