3: Tanggung Jawab, dong!

16.4K 186 0
                                    

Sudah hampir satu minggu lamanya aku selalu pulang bersama Rina. Sekarang aku punya tugas baru sebagai pengawalnya. Setiap kali bus Transjakarta berdesakan, aku selalu berdiri di belakang Rina, berusaha melindunginya agar tidak digesek-gesek oleh penumpang lain. Tapi justru dalam keadaan itu, malah aku yang bergesekan dengan Rina. Selangakanku hampir selalu menekan dan menggesek pantatnya yang dibalut rok span ketat pendek, bau parfumnya selalu menggoda hidungku, dan burungku selalu tegang tak tertahankan.

Setiap hari adalah pergulatan batin yang luar biasa buatku, karena di satu sisi aku masih tetap menghormati Rina dan tidak ingin melecehkannya, tapi di sisi lain aku juga tidak bisa menahan diri. Apalagi dengan sikap permisif Rina yang tidak pernah tampak keberatan dengan apa yang aku lakukan.

Dengan sekuat tenaga, aku selalu berusaha menahan agar jangan sampai berejakulasi di dalam bis. Sudah lama sekali sejak aku terakhir kali berhubungan dengan wanita. Sejak putus dengan mantan pacarku, satu-satunya yang memuaskan hasrat biologisku hanyalah tanganku sendiri. Kini ada satu hal lagi, yaitu tubuh Rina yang entah disengaja atau tidak seperti terus menggodaku.

Setiap turun dari bis, penisku berdenyut-denyut, nafasku ngos-ngosan, tapi aku berusaha tetap tegar. Aku tidak ingin ia menganggapku seperti sosok laki-laki cabul yang hanya memandang perempuan sebagai objek seksual semata. Aku masih percaya pada diriku sebagai laki-laki terhormat dan aku tidak ingin merusak hubunganku, baik dengan Rina maupun Aris.

Biasanya, setelah mengantar Rina pulang, aku akan sekuat tenaga menahan diri hingga aku tiba di kamarku sendiri. Kemudian, tidak jarang aku menuntaskan hasratku sambil membayangkan Rina, membayangkan menggenjotnya dari belakang di dalam bus saat para penumpang lain tak melihat, seperti adegan di salahs atu film JAV yang pernah kutonton. Bila semua rutinitas itu selesai, aku biasanya akan diliputi perasaan bersalah karena telah berfantasi tentang pacar sahabatku sendiri. Ini sangat menyiksa.

Namun hari ini, saat kami turun dari bus, reaksi Rina agak berbeda. Biasanya dia cuma senyum-senyum meledekku yang kesusahan menahan nafsu, kemudian mengucapkan terima kasih karena aku sudah melindunginya. Hari ini, dia sepertinya menyadari betapa beratnya penderitaan batin yang aku alami selama satu minggu ini.

"Mas?" panggil Rina.

Lamunanku pecah. Aku gelapan menanggapinya.

"I...iya? Kenapa?" ucapku.

"Mas tuh yang kenapa. Semenjak turun dari busway mukanya kosong kaya orang kesambet setan."

Aku menghela napas berat, menenangkan diri supaya tidak terlalu kelihatan tegang. "Oooh, nggak kok, ga apa-apa."

"Hmm...." Rina memegang dagunya, seperti filsuf yang sedang berpikir.

"Hmm apa?"

"Aku tau. Pasti gara-gara itu ya?"

"Itu apa?" Aku pura-pura bodoh.

"Itu...." dia menggerakkan dagunya, seperti menunjuk selangkanganku.

Aku merasa malu juga ditunjuk seperti itu. Satu-satunya reaksi yang bisa kutunjukkan cuma tertawa sambil bersikap sok cool.

"Apa sih? Nggak kok, jangan nuduh yang aneh-aneh, deh," aku mencoba menyanggah.

"Udah lah, aku ngerti kok. Tadi itu kerasa banget soalnya. Lebih kerasa dibandingin kemarin-kemarin."

"Iya, Rin. Tapi gue nggak papa kok. Kan udah biasa. Selama seminggu ini gue udah terlatih," kataku.

"Hehe..., sabun di kosan masih banyak, Mas?" tanya Rina sambil cekikikan.

"Kalo abis ntar gue pake sabun colek, deh!" kataku sambil menyenggol pundaknya.

Ia tertawa lepas, puas meledekku. Rina memang nyaris tidak punya rem kalau bercanda denganku. Mungkin ia berani seperti itu karena percaya bahwa aku tidak mungkin merendahkannya. Entah kenapa hal itu malah menambah beban yang kurasakan.

"Puas ya lo, ngeledekin gue? Padahal tiap hari udah gue jagaain," ucapku, masih dengan nada bercanda.

"Duuuh, jadi ngerasa bersalah," ucap Rina sambil menatapku dengan mata bulatnya, seolah merasa iba.

"Hahaha, kalau ngerasa bersalah tanggung jawab, dong!" kataku spontan.

Kemudian aku merasa salah bicara.

"Idih! Maunya!" Rina manyun, mulutnya monyong, pipinya gembung, tapi dia malah jadi kelihatan imut.

"Canda, Rin! Becandaa! Lo mah, gitu aja manyun!" tawaku.

Rina tidak menjawab. Selama beberapa saat, kami tidak bicara. Dalam hati, aku bertanya-tanya, apa dia ngambek? Sensitif sekali, bukannya dia yang mulai? Aku merasa bersalah dibuatnya. Kalau dipikir-pikir, apa yang aku lakukan memang tidak wajar. Daripada menjaga Rina di bus, mungkin lebih baik kalau aku mewujudkan niatku untuk membeli cicilan motor. Dengan begitu, aku bisa mengantar Rina dengan sepeda motor. Tapi tunggu dulu, sejak kapan aku merasa punya kewajiban untuk antar jemput Rina? Memangnya aku siapa?

Saat kami hampir tiba di gang menuju kostannya, Rina tiba-tiba memecah keheningan.

"Mas mampir dulu, yuk?" ajaknya.

"Ah, nggak ah. Ga enak, Rin. Itu kan kosan cewek. Entar kalau dimarahin Ibu kost gimana?" ucapku memberikan alasan.

"Tenang aja, selama nggak nginep sih aman. Lagian yang punya kost juga tinggal di luar kota, Mas."

"Iya, sih. Tapi kan ... emangnya mau ngapain?"

Tiba-tiba saja Rina menarik ujung lengan bajuku. "Katanya minta tanggung jawab?"

"Hah?" aku bengong.

"Tapi nggak bisa banyak-banyak ya Mas. Soalnya aku udah nganggap Mas Panji kayak kakak aku sendiri, jadi aku cuma bisa bantu ala kadarnya aja," ucap Rina sambil mengepalkan tangan kirinya, kemudian menggerakkannya naik turun, seperti sedang mengocok sesuatu.

"Maksud lo apa, sih? Lo mau ngeledek gue lagi, ya?" ucapku, mencoba bersikap polos.

"Nggak, kok. Ini serius. Yaah, itung-itung sebagai bentuk terima kasih aku," ucap Rina malu-malu sambil menunduk, kemudian mengangkat wajahnya lagi. "Ya? Ya? Ya?" tanyanya lagi.

Aku mengangguk dan menelan ludah. Saking excited-nya, aku tidak bisa berkata apa-apa. Kemudian aku mengikuti Rina dari belakang tanpa bicara. Mataku tertuju ke tubuhnya. Ia memakai kemeja garis-garis biru yang ketat, rambutnya dikuncir, dan rok hitam ketatnya sejengkal di atas lutut. Saat berjalan, pantatnya yang bulat mungil itu bergoyang-goyang mantap.

Dia mau tanggung jawab? Kira-kira apa maksudnya? Dia mau melakukan apa kepadaku? Mengingat kode gerakan tangannya tadi, imajinasiku menjadi semakin liar. Haruskah aku mengikutinya? Tapi bagaimana kalau kami kebablasan melakukan hal-hal yang "diinginkan"? Jujur, aku kini mulai bernafsu terhadap Rina, tapi aku tidak mau merusak hubungan baik ini. Lagipula Rina sudah punya pacar, aku tidak mau merusaknya. Tapi ketegangan ini terlalu keras untuk dilawan. Akhirnya aku cuma diam mengikuti langkah Rina sampai ke depan pagar kostannya.

Rina membuka pintu pagar. Rumah kost itu terlihat sepi.

"Yuk, Mas...." Rina menoleh kepadaku sambil tersenyum manis.

Kali ini, ia mengambil tanganku dan menuntunku masuk ke area rumah kostnya. Ketika kurasakan tangan lembut Rina yang menggenggam tanganku, aku membayangkan hal apa saja yang bisa dilakukan oleh tangan halus itu kepadaku. Jantungku berdegup semakin kencang dan kepalaku terasa ringan. Aku sudah tak sanggup berpikir rasional lagi.

"Yuk," balasku sambil mengikuti langkahnya.

Jumpa Lagi, Rina!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang