5: Zreeeeet!

14K 160 0
                                    

Aku kebingungan, tidak tahu harus membalas apa. Aku tidak yakin apakah ia sedang bercanda atau serius. Sambil agak panik, aku pun pura-pura menelepon.

"Halo? Halo, Pak? Maaf, putus putus."

"Kenapa?" tanya Aris pelan.

"Sori, gue keluar dulu, ya. Sinyalnya jelek di sini. Ada telepon dari bos gue." ucapku berbisik bisik.

Aris mengangguk.

Aku segera beranjak ke luar ruangan sambil terus pura-pura menelepon. Kebetulan jalan ke toilet dan ke pintu keluar masih satu arah. Aku berbelok ke sebelah kiri, ke arah papan bergambar simbol laki-laki dan perempuan. Rupanya ruang toilet laki-laki dan perempuan bersebelahan dan tempat itu sedang sepi.

Pintu toilet bergambar simbol wanita tiba-tiba terbuka. Rina melongok dari dalam toilet, lalu menarik lenganku. Di dalam ruang toilet wanita, aku ditarik masuk hingga ke dalam salah satu bilik. Seumur hidup, ini adalah pertama kalinya aku masuk ke dalam toilet wanita. Untunglah sepertinya tidak ada orang lain yang melihatku.

Aku tidak sempat bertanya apa-apa. Tahu-tahu aku sudah berada di dalam kamar toilet berdua dengan Rina. Kamar yang sempit itu memaksa kami untuk berdiri berhimpitan. Tiba-tiba ia meraih ke arah belakang tubuhkua dan mengunci pintu.

"Ada apa sih?" tanyaku berbisik.

Rina tidak langsung menjawab. Dia malah menunduk, kemudian menarik napasnya dalam-dalam.

"Nggg... Soal yang tadi itu... Maaf ya Mas. Aku ga tau kalau Aris pulang. " katanya.

"I... Iya, ga apa-apa kok." Tiba-tiba saja aku teringat peristiwa sore tadi. Apakah itu yang dia maksud?

Meskipun sempat kecewa karena nafsuku tadi sudah di ubun-ubun, tapi aku berhasil mengendalikan diriku, bahkan sempat menyesal pernah punya pikiran untuk menuruti tawaran Rina.

Rina menatapku dengan matanya yang bulat dari balik kaca matanya. Dia cute sekali. Apalagi pipinya bersemu merah. Selama beberapa detik, jantungku memukul bertubi-tubi. Suara tetesan air dari keran wastafel di luar sana membuat keheningan ini semakin menegangkan.

"Masih nggak?" tanyanya pelan.

"Hah?"

"Masih butuh bantuan nggak?" tanyanya lagi.

Deg deg deg. Jantungku berdetak kencang. Rina menoleh ke arah selangkanganku. Batang yang tadinya sudah dalam kondisi normal kini kembali tegang. Sial! Padahal aku sudah hampir lupa.

"Ngg... Sedikit... " jawabku ragu ragu.

Nafasku sesak. Ya Tuhan, apa yang baru saja aku katakan?Mungkin ini adalah kesempatan terakhirku untuk menolaknya. Ini tidak benar. Andai saja aku mengatakan tidak. Kata hatiku mengatakan bahwa ini perbuatan yang salah, tapi....

"Aku bantuin sesuai janjiku deh... Tapi nggak bisa lama-lama ya Mas, takut Aris curiga."

Rina duduk di atas kloset duduk yang tertutup. Dia menarik napasnya dalam-dalam. Seperti sedang mempersiapkan diri dan mengumpulkan tekad. Detik demi detik terasa berjalan lambat.

"Huff..."

Zreeett!

Perlahan-lahan Rina membuka resleting celanaku. Di antara celah celanaku, tampaklah sebuah tonjolan yang seketika membuat Rina menahan napasnya. Tonjolan keras itu memang membuat celana dalamku terlihat sangat ketat, seperti ada sesuatu yang ingin memberontak keluar dari dalamnya.

Jari-jari Rina yang mungil dan lentik menyentuh tonjolan penisku itu Ujung kukunya yang terpotong rapi menggaruk pelan batang ini. Ia menggaruknya pelan, kemudan mengelusnya dengan ujung-ujung jarinya, dari atas ke bawah, kemudian ke atas lagi. Rasa geli dan nikmat langsung menjalar dari ujung penis, tulang belakang, hingga ubun-ubun kepalaku.

Perlahan-lahan, Rina menurunkan bagian atas celana dalamku, terus hingga kepala penisku mengintip keluar. Ia menurunkannya lagi, hingga batang itu melompat keluar, tegak menantang ke arah wajahnya. Sekarang ia sudah terbebas dari kekangannya, dan tak ada jalan kembali untuk membatalkan semua ini. Untunglah aku sudah mencukur rambut kemaluanku dan selalu membersihkan area pribadiku ini secara rutin sehingga tak ada yang membuatku khawatir.

Rina meletakkan telapak tangannya ke batangku. Aku dapat merasaskan tangannya yang hangat dan lembut, dan aku yakin ia pun bisa merasakan urat-urat penisku yang berdenyut pelan, menegang semakin keras. Rina menggenggam batangku pada bagian pangkalnya, meremasnya pelan. Merasakan senasi yang luar biasa, aku tak sengaja mendesah lumayan keras.

"Sssssttt! Jangan berisik!" bisik Rina.

Aku menghentikan suara desahanku. Rina mulai menggerakkan tangannya, ke atas dan ke bawah. Meski tidak menggunakan lotion atau sabun, aku sama sekali tak merasa sakit. Mungkin karena tangan Rina sangat halus dan ia bisa mengatur kekuatan genggamannya.

Sambil merasakan sensasi kelembutan tangan Rina yang mengocok-ngocok penisku, aku berusaha menahan diri untuk tidak bersuara. Setiap kali aku menahan desahan atau erangan, Rina malah melirikku dan menahan tawa. Sepertinya ia senang melihat ekspresi wajahku yang tidak karuan, ngeri-ngeri sedap.

"Hihihi mukanya gitu amat, Mas." bisik Rina.

Aku cuma bisa menggigit bibir dan mengatur napasku. Aku tidak tahu seperti apa ekspresi wajahku saat sedang mendaki kenikmatan, tapi sepertinya bagi Rina itu bukanlah ekspresi yang buruk.

Dengan jari jemarinya yang lentik, Rina memainkan ujung penisku, mengusap-usapnya, mengelus-elusnya. Kemudian kalau aku sudah terlihat kegelian, ia akan kembali menggenggam batangku, lalu menggesekkan telapak tangannya naik turun. Sesekali, ia juga akan menggunakan tangan kanannya untuk memainkan buah zakarku, meremasnya pelan dan mengusapnya.

"Gimana? Enak nggak kocokanku?"

"Enak, Rin. Terus."

Itu terjadi selama beberapa menit. Aku tidak ingat sudah berapa lama waktu yang berlalu, yang jelas aku benar-benar menikmati setiap detiknya. Ini adalah sesuatu yang tidak pernah kubayangkan akan terjadi di dunia nyata.

Rasanya aneh. Rina, perempuan imut yang sudah kuanggap sebagai adikku sendiri itu sekarang memberiku handjob di toilet restoran, beberapa meter dari tempat pacarnya berada. Sensasi perasaan itu bercampur dengan kelihaian Rina memperlakukan batang penisku, membuat aku ingin meledak rasanya.

"Rin...," desahku pelan.

"Udah mau keluar?" bisik Rina.

Aku mengangguk. Rina kemudian mempercepat kocokannya. Dia menatap wajahku dalam-dalam dari balik kaca matanya dari bawah sana, dan ujung penisku di arahkan ke wajahnya. Ia tersenyum manis, seolah-olah ingin menyambutku dengan ekspresi terbaiknya. Oooh, apa dia mau membuatku muncrat di wajahnya?

"Ayo, Mas cepetan," bisiknya. Kocokannya semakin cepat. Dia menggigit bibir, sepertinya gemas sekali.

"Rin... ah... Rin..." Cuma itu yang bisa kuucapkan.

Penisku berdenyut-denyut, dari pangkal sampai ke ujung. Rasanya aku siap menumpahkan spermaku di wajah, rambut, dan kacamata Rina. Aku tidak tahan lagi.

TOK TOK TOK!

Suara ketukan pintu membuat kami membatu, seperti patung. Mampus aku! Kami saling pandang. Mulut kami menganga. Apakah kami terlalu berisik sampai ada yang mendengar kami? Ataukah Aris mencurigai aktivitas kami dan memutuskan untuk memeriksanya sendiri?

TOK TOK TOK!

Rina masih menggenggam batang penisku, tapi ia tak bergerak sesenti pun. Haruskah aku menjawab suara ketukan pintu itu? Tidak! Ini toilet perempuan. Harusnya Rina yang menjawabnya. Aku memberikan kode dengan gerakan kepalaku agar Rina menjawab ketukan itu.

Jumpa Lagi, Rina!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang