Ketika kakinya terasa lemas, Rina minta izin untuk berhenti sejenak. Ia berjalan mundur, kemudian duduk di atas kloset duduknya yang tertutup. Aku mengikutinya, kemudian berlutut di depan Rina agar posisi tubuhku sejajar dengan posisi tubuhnya sekarang.
"Pegel, ya?" tanyaku.
Rina hanya mengangguk sambil tersenyum simpul. Ia menaikkan kedua kakinya ke atas, kemudian membuka kedua pahanya lebar-lebar, memperlihatkan bibir vaginanya yang merekah indah, bersiap menikmati permainan jariku lagi. Perlahan, aku kembali memasukkan jari tengahku. Kali ini tidak ada kesulitan berarti karena dinding-dinding intimnya sudah terasa licin dan basah. Aku dapat memasukkan jariku hingga seluruh buku-buku jariku tertelan oleh vagina Rina.
Jari tengahku bergerak maju mundur di dalam vagina Rina, awalnya perlahan, tapi semakin lama semakin cepat. Sementara itu, mulutku kembali menghisap dan mengemut puting susunya secara bergantian. Rina memegangi kepalaku dan mulutnya mulai mengeluarkan racauan tak jelas.
Semakin cepat jariku bergerak, semakin sering juga Rina mendesah dan mengerang. Aku dapat merasakan ada getaran-getaran halus di tubuhnya yang merambat dari pinggul hingga ke sekujur tubuhnya. Sambil terus menghisap putingnya, aku melirik ke atas, ke arah wajahnya.
"Aaaah... Mas! Jangan liatin gitu dong! Mmmh...," desahnya.
"Ngggnappmangny?" ucapan yang keluar dari mulutku terdengar tidak jelas karena tersumpal oleh payudaranya.
"Ma ... Malu tauuu .... Ooohhh..." ucapnya terbata-bata.
Aku tidak peduli. Semakin ia merasa malu, semakin ia bergetar hebat. Aku terus menatapnya meski ia mencoba memalingkan wajah. Aku menikmati setiap ekspresi raut wajahnya yang tak kuasa ia bendung. Ia tak mampu menahan gelombang kenikmatan yang terus menghantam titik sensitifnya. Matanya setengah terpejam, mulutnya terbuka, dan sesekali ia akan menggigit bibirnya sendiri sebelum mengeluarkan desahan merdu.
Ketika jari tengahku menghentak ke bagian terdalam vaginanya, tubuhnya yang semula lemas tiba-tiba saja menegang hebat. Tumitnya terangkat, punggungnya melengkung ke atas, sementara tangannya menjambak dan menekan kepalaku ke antara belahan dadanya.
"Mas! Aku... Aku.... Aaaaah! Aaaah!" jerit Rina.
Aku dapat merasakan jari tengahku dihisap dan dijepit dengan hebat, kemudian arus cairan hangat mengalir deras membasahi jariku, diiringi dengan deru napasnya yang terus meninggi, terus memuncak, hingga pada satu titik, waktu di tubuhnya seperti berhenti berdetak--segalanya hening.
Ia melepaskan sebuah lenguhan panjang, kemudian tubuhnya langsung roboh seperti kehilangan tenaga. Ia menyandarkan kepalanya di pundakku dengan napas yang masih terengah-engah.
"Nikmat banget, Mas, Makasihhh," ucapnya dengan suara yang lemah.
Aku membelai rambutnya, menunggunya yang masih berusaha mengatur napas. Kemudian, aku menyandarkan tubuhnya ke bagian belakang kloset dan menurunkan kedua kakinya hingga posisinya menjadi lebih rileks.
Rasa bangga sekaligus senang memenuhi dadaku melihat Rina yang tampak sangat terpuaskan oleh apa yang aku lakukan. Tidak bisa kupungkiri, sensasi itu membuat penisku terasa sangat tegang di dalam celana, tapi aku tak ingin mengatakan apa-apa. Aku yakin, Rina pun menyadari hal ini.
Sambil duduk dan mengumpulkan tenaga, Rina mengangkat tangan kanannya, kemudian meraih tonjolan penisku yang masih memberontak di dalam celana kerjaku. Ia mengelusnya dari luar restleting. Sungguh, pada awalnya aku memang menolak mengulangi peristiwa semacam ini dengan dirinya, tapi dalam kondisi ini, aku tak kuasa menolak. Setidaknya, aku ingin merasakan kepuasan juga seperti dia.
Dengan jemari lentiknya yang masih sedikit gemetar, Rina membuka retsleting celanaku, kemudian dengan lihainya ia merogoh ke dalam celana dalamku dan segera mengeluarkan penisku yang keras seperti batang pohon. Batang penisku bebas sekarang, seperti tongkat komando yang menunjuk ke arahnya dan membuat ia tersenyum manja. Ia menarik batangku ke arahnya dan memaksaku untuk maju mendekat.
Awalnya, aku mengira ia akan memberiku handjob atau blowjob seperti yang pernah ia lakukan sebelumnya, tapi rupanya aku salah. Aku meremehkannya. Ia belum puas. Mungkin baginya apa yang barusan aku lakukan dengan jariku hanyalah sebuah pemanasan.
Rina membalikkan badannya, kemudian menungging, memperlihatkan bokongnya yang bulat dan mulus bersih. Punggungnya agak ditekan ke bawah, sehingga pantatnya kini tampak lebih menonjol ke arahku. Aku teringat pada insiden pertamaku dengan Rina di dalam bus. Saat itu, aku hanya bisa menggesek-gesekkan penisku ke pantatnya dari luar celana. Namun dari kejadian itulah semua kegilaan ini bermula. Apakah hari ini aku akan memasuki sebuah babak baru?
Rina menoleh ke arahku sambil menarik penisku ke arah pantatnya. Ia menggesek-gesekkan ujung kepala penisku ke bantalan pantatnya yang empuk. Benda itu tidak terlalu besar ataupun lebar, tapi bentuknya bulat dan padat. Merasakan kulit bokongnya yang berkeringat, rangsangan dahsyat menjalar dari ujung penisku ke seluruh tubuh. Ia terus menggesekkannya, turun ke bawah, hingga ke lipatan pantatnya, terus lagi hingga ke bibir vaginanya yang masih basah.
"Mas, aku masukin ya?" ucapnya sambil berusaha mencari posisi yang pas agar kepala penisku bisa menelusup masuk ke lipatan bibir vaginanya.
Nyaris kehilangan keseimbangan, secara refleks aku pun berpegangan kepada pinggang Rina. Posisi kami sekarang benar-benar posisi doggy yang nyaris sempurna. Yang harus aku lakukan hanyalah sedikit menekan penisku ke depan hingga benar-benar masuk ke dalam lubang vagina Rina.
"Ayo, Mas. Masukin," ucap Rina, kali ini bukan berupa permintaan, tapi sebuah perintah.
Entah kenapa dalam keadaan nafsu yang sedang memuncak di ubun-ubun itu, tiba-tiba saja ingatan tentang Eva berkelebat di dalam pikiranku. Ingatan tentang perselingkuhan yang ia lakukan di dalam rekaman video, tentang perempuan berjilbab mirip Eva yang sedang membaca kitab suci di bus kota, dan juga tentang Aris, tunangan Rina yang kini sedang berada di Australia. Tiba-tiba saja, aku merasa jijik kepada diriku sendiri. Betapa bejat dan munafiknya aku?
"Mas... cepetan, aku udah ga tahann... Mmmhhhh!" ujar rina sambil menggoyang-goyangkan pantatnya ke arah penisku.
Hanya selangkah lagi, hanya sejengkal lagi, dan aku akan dapat melampiaskan seluruh hasratku pada perempuan manis yang kuanggap seperti adik angkatku sendiri ini. Haruskah aku menyerah kepada dorongan birahi ini?
"Nggak, Rin. Gue nggak bisa," ucapku.
Rina seperti tidak mendengar ucapanku barusan. Ia terus saja menggoyangkan dan menggesekkan bokongnya ke kepala penisku. Dalam momen yang penuh kebimbangan itu, tiba-tiba saja aku mendengar suara pintu yang terbuka dari belakang punggungku.
Refleks, aku menoleh ke belakang. Di sana, di celah pintu yang setengah terbuka, aku melihat sesosok pria yang sedang mengintip, melongokkan kepalanya dan memperhatikan kami.
"Aris!" jeritku dengan suara yang tercekat di tenggorokan.
Aris tersenyum. "Santai, gue cuma ngontrol aja, kok. Lanjut, lanjut," ujarnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jumpa Lagi, Rina!
रोमांसRina sudah kuanggap seperti adik angkatku sendiri, apalagi ia juga pacar sahabatku. Namun ketika ia mulai bekerja satu kantor denganku, semuanya mulai berubah. Timbul insiden-insiden yang membuat hubungan kami semakin "menegangkan". WARNING: Mengand...