18: Dua Menit Aman

8.5K 73 7
                                    

"Dimas! Kok... ada di sini?" aku menjerit dengan suara tertahan. 

Rina menoleh, masih dalam posisi menungging. Mulutnya menganga dan matanya tampak terkejut. Ia tidak menyangka akan ada orang lain selain aku dan Aris yang akan mengetahui skandal ini.

"Kampret lu, Ji! Gila! Siang-siang di jam kerja begini kalian malah ... di kantor pula!" ucapannya nyaris berbisik. "Wah, bisa panjang urusannya. Bisa rame nih! Apalagi ... apalagi kalau ada yang ngerekam."

Tiba-tiba saja Dimas mengambil ponsel dari saku celananya. Aku dan Rina sama-sama menahan napas. Aku memang cukup mengenal Dimas, tapi aku tak menyangka bahwa ia sebrengsek ini. Ingin sekali aku meninju wajahnya, tapi aku sadar bahwa aku sedang berada dalam posisi bersalah--bahkan batang penisku saat ini masih bersarang di dalam liang Rina.

Ketika ponsel berkamera itu keluar dari saku Dimas, sebuah trauma terasa menghantam kepalaku. Aku teringat bagaimana hidup Eva hancur karena sex tape perselingkuhannya tersebar, dan bagaimana kejadian itu juga mengacaukan kehidupanku. Aku tak ingin hal itu terjadi lagi padaku, dan juga pada Rina.

"Stop, Dim! Stop! Please!" ucapku sambil mengangkat tangan menutup wajahku sendiri, sekaligus melepaskan penetrasi penisku. Aku dapat mendengar Rina mendesah pelan, kemudian ia bersandar di dinding sambil menutupi kemaluannya.

"Sori, Ji. Ini terlalu spektakuler buat gue. Gue udah lama naksir sama Rina sejak dia masuk kerja di kantor ini, tapi gue tahan diri karena gue tau dia udah punya cowok. Nggak nyangka, ternyata malah sama lo, Ji. Kalau tau gini, gue sikat juga dari awal," ujar Dimas yang sedang membuka aplikasi kamera di ponselnya.

"Lo boleh minta apa aja! Please!" ucapku dengan napas terbata-bata.

"Nggak bisa, sori, Ji. Gue nggak mau ...." Dimas mulai mengarahkan kameranya ke arah kami.

"Lo boleh pake Rina, gantiin gue!" ucapku agak keras. "Tapi jangan rekam! Jangan bilang siapa-siapa!"

Suasana tiba-tiba saja menjadi hening. Dimas menurunkan ponselnya, kemudian memasukkannya kembali ke dalam saku celana. Sementara itu, Rina terdiam dengan mulut menganga.  Aku dapat melihat matanya berbinar-binar dan mulai berair, sementara bibirnya bergetar.

Tiba-tiba saja Rina memukul lenganku dengan keras. 

"Mas Panji! Kok gitu!" protes Rina. Suaranya agak bergetar, seperti menahan tangis.

Aku menarik napas dalam. "Maaf, Rin. Nggak ada jalan lain. Emangnya lo ada ide yang lebih bagus?"

Rina terdiam sejenak, kemudian menggelengkan kepala. Ia menyeka air mata yang mengambang di kelopak matanya, kemudian menarik napas dalam-dalam.

Tak bisa dipungkiri, aku merasa sakit membayangkan perasaan Rina. Namun aku berusaha mengeraskan hatiku. Kalau kami tak berani mengambil risiko, masalah ini benar-benar akan jadi panjang dan menyebar ke mana-mana. Apa boleh buat, sejak awal apa yang kami lakukan memang sudah amoral. 

Lagipula, selama ini aku merasa dimanfaatkan oleh Aris dan Rina untuk memenuhi permainan mereka sendiri. Apa salahnya kalau sekarang aku sedikit mengambil alih permainan?

Dimas tersenyum mendengar kata-kataku barusan. Ia menoleh ke arah Rina yang tampak masih berusaha menutupi bagian bawah tubuhnya dengan tangan.

"Beneran, Rin? Emangnya lo mau?" tanya Dimas. Kali ini suaranya menjadi lebih lembut.

Rina menunduk, kemudian dengan perlahan ia menganggukkan kepalanya. Sebuah anggukan yang didasarkan perasaan tak berdaya. 

Aris berjalan mendekat, matanya tak sedetik pun lepas dari tubuh Rina yang nyaris telanjang. Semakin dekat ia berjalan, aku terpaksa bergerak menjauh demi memberinya ruang. Namun Rina segera memegangi lenganku, ia menatapku dengan mata yang berkaca-kaca.

"Mas di sini aja," ucapnya. "Jagain aku."

Aku menarik napas, kemudian mengangguk memberinya persetujuan. Bagaimanapun, aku tidak bisa meninggalkan Rina berduaan dengan Dimas. Aku tidak tahu sebenarnya Dimas orang seperti apa. 

"Ingat ya, Dim. Nggak boleh pake kekerasan!" ucapku sambil mengangkat jari telunjuk ke arah Dimas.

"Iya, Ji. Emangnya gue keliatan kayak orang semacam itu apa?" timpalnya.

"Nih, pake pengaman!" ujarku sambil memberikan sebuah kondom.

Dimas mengangguk dan mengacungkan jempol.

Aku berdiri di sudut ruangan, sementara Dimas kini mulai menyentuh tubuh Rina. Ia mulai dengan menciumi lehernya, kemudian tangannya meraba dan meremas-remas buah dada Rina. Aku dapat melihat ekspresi Rina yang tampak berbeda. Ia tampak terangsang, tapi juga ada keraguan dan ketakutan dalam ekspresi wajahnya. Mungkin di sinilah aku salah menilai. Rina bukan pelacur. Dia mengizinkanku menyetubuhinya karena ia dan Aris sama-sama mempercayaiku. Bukan berarti ia senang melakukannya dengan siapa saja.

Untunglah Dimas memperlakukan Rina dengan lembut. Ia tidak langsung melakukan penetrasi seperti yang sempat kusangka. Ia dengan telaten mengeskplorasi setiap jengkal tubuh Rina. Ia tahu bahwa ini mungkin adalah kesempatan yang tak akan dua kali, sehingga ia tak ingin menyia-nyiakannya. 

Dimas melepaskan kemeja Rina dan menjatuhkannya ke lantai, hingga Rina telanjang bulat. Ia menciumi dan menjilati ketiak Rina yang mulus dan bersih--sesuatu yang tak pernah kubayangkan karena aku tak memiliki fetish seperti itu. Namun di luar dugaan, jilatan dan ciuman di ketiak kirinya itu membuat Rina mendesah. Raut wajah takut dan khawatir yang semula ia tunjukkan kini mulai lenyap, berganti dengan desahan dan erangan yang penuh gairah. Mungkin Rina suka diperlakukan seperti itu? Mungkin aku maupun Aris memang tak pernah mencoba melakukan itu kepadanya?

Sambil menjilati ketiak Rina, Dimas mulai meremas-remas payudara Rina, kemudian memilin-milin putingnya, membuat Rina mendesah semakin intens. Sesekali, Rina akan melirik ke arahku, memastikan bahwa aku masih ada di sini untuk mengawasi dan menjaganya. Namun yang aku lakukan lebih dari sekedar mengawasi, aku juga menonton. Melihat Rina dirangsang oleh laki-laki lain yang datang secara tiba-tiba itu membuatku ikut merasa terangsang.

Dimas kemudian membuka celana dan celana dalamnya. Ia mengeluarkan penisnya yang di luar dugaan berukuran besars dan panjang. Entah bagaimana bila dibandingkan dengan Aris, tapi milik Dimas jelas lebih besar daripada milikku. Rina sempat ternganga ketika melihatnya. Ia berulang kali melirik ke arah batang panjang itu sambil menggigit bibirnya. Apakah itu artinya Aris juga sudah terkalahkan?

Dengan sentuhan pada pundaknya, Dimas meminta Rina untuk membalikkan badan dan menungging. Kini ia menggantikan peranku tadi. Perlahan-lahan, ia memasang kondom, kemudian memasukkan penis besarnya itu ke vagina Rina dari belakang. 

Aku dapat melihat punggung Rina yang melengkung menahan sensasi, dan juga mulutnya yang setengah terbuka dan mendesah. Ketika penis Dimas masuk seluruhnya, Rina mengeluarkan desahan panjang yang sangat merdu. Desahan itu terdengar nyaring sampai aku dan Dimas bersama-sama memintanya berhenti.

"Sssst!" ucapku dan Dimas bersamaan.

"Eh!" Rina terhenyak dan menutup mulutnya sendiri.

"Jangan terlalu berisik, takut ada yang dengar. Bisa mampus kita bertiga," ucap Dimas.

Rina mengangguk dengan tatapan mata yang sayu.

Tak lama setelah itu, Dimas mulai mendorong batangnya lebih dalam. Rina berusaha menahan desahannya dan mengubahnya menjadi erangan-erangan indah. Suara dan ekspresi itu jauh berbeda dari yang ia tunjukkan saat melakukannya denganku. Jelas sekali bahwa Rina sangat menikmati permainan Dimas. Ini membuat rasa bersalahku berkurang.

Namun baru sekitar dua menit permainan itu berlangsung, tiba-tiba saja, sesuatu yang mengagetkan terjadi.

Tidak, tidak ada yang memergoki kami lagi. 

Tidak, tidak ada yang menelepon atau mengintip.

Hanya saja suara Dimas yang meraung tinggi dan tubuhnya yang bergetar hebat. Napasnya terdengar terengah-engah dan ia memegangi pinggang Rina dengan erat. Tak lama kemudian, ia melepaskan penisnya dari vagina Rina. Kondom itu sudah penuh oleh cairan sperma Dimas dan penisnya berangsur-angsur kembali ke ukuran normal.

"Yahh...." gerutu Dimas.

"Yaaaah?" sambung Rina.

"Lah?" gumamku.

"U... udahan?" ucap Rina.

Dimas mengangguk sambil memejamkan mata.

Jumpa Lagi, Rina!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang