9. Maju Mundur

13.9K 126 0
                                    

Hari itu adalah hari Minggu. Aku tidak pergi ke mana-mana dan hanya menghabiskan waktu menonton Youtube di kosanku. Pikiranku masih kesal karena terbayang-bayang dengan perkataan Rina yang membangkitkan hantu dari masa laluku. Sialnya, menonton video-video di Youtube tidak berhasil menghilangkan ingatan buruk itu. Beberapa tokoh yang muncul dalam video malah semakin mengingatkanku pada sosok Eva.

Akhirnya kuputuskan untuk berolahraga. Berhubung malas keluar rumah, aku mengambil sepasang barbel yang kusimpan di kolong lemari, kemudian melakukan latihan ringan: push up, sit up, plank, dan latihan biseps. Sewaktu kuliah dulu, aku pernah cukup rajin nge-gym (Aris yang awalnya mengajakku). Namun hectic-nya kehidupan pekerja ibukota membuatku lebih sering menjadi kaum rebahan.

Keringat mulai bercucuran. Otot-otot yang lama tak dilatih mulai kembali bangkit memperkuat dirinya. Detak jantung meningkat, napas memburu. Ternyata benar, olahraga bisa memperbaiki mood yang sedang buruk. Semakin banyak energi yang kukeluarkan, aku merasa semakin bisa meluapkan kegelisahanku.

Namun ketika aku sedang menikmati kegiatan itu, tiba-tiba saja seseorang mengetuk pintu kamarku. Siapa? Tetangga sebelah? Ibu kost? Aku mengambil handuk dari gantungan dan mengelap tubuhku sekenanya. Kaosku masuk penuh keringat, tapi tidak ada waktu untuk ganti baju dulu. 

Aku membuka pintu kost sedikit, melongok dari celah-celahnya. Di antara celah pintu itu aku dapat melihat seorang gadis mungil dengan sepasang kacamata bulat, berusaha tersenyum semanis mungkin. Anehnya senyum itu malah membuat perasaanku semakin suram.

"Mas Panji," ujar Rina. "Sori aku ke sini nggak bilang-bilang dulu."

"Dari mana lo tau kosan gue?" tanyaku tanpa mempersilakannya masuk.

"Dari temen Mas yang namanya Dimas," jawabnya.

"Ooh. Terus?" tanyaku.

"Terus ... aku boleh masuk atau kita ngobrol di pintu sambil ngintip-ngintip kaya gini aja, nih?"

Aku menghela napas, kemudian membukakan pintu lebih lebar lagi dan mempersilakannya masuk ke dalam kamar. Untunglah kosanku ini termasuk "kosan campur". Mayoritas penghuni bangunan ini adalah karyawan kantor dan keluarga kecil, jadi tidak ada yang suka ikut campur dengan urusan orang lain.

Rina masuk ke dalam kamarku dan melihat barbelku yang masih tergeletak di atas lantai. 

"Lagi olahraga ya? Sori ya, aku ganggu," ujarnya.

"Nggak apa-apa, udah selesai kok," jawabku.

Aku mempersilakannya duduk sambil kembali mengambil handuk dan mengelap sisa-sisa keringat di leherku. Ia duduk di atas tempat tidurku sementara aku duduk di kursi depan meja komputer. Maklum saja, kamar kostku memang kecil dan tidak dirancang untuk menerima tamu.

Rina hanya terdiam sambil memperhatikanku. Aku tahu apa yang ingin ia bicarakan, tapi sepertinya ia sedang menyusun kata-katanya.

"Mas, kayak yang aku bilang sebelumnya, aku mau minta maaf atas ucapanku kemarin," ucap Rina dengan suara yang agak gemetar.

"It's okay," ucapku sambil menggosok-gosok rambut dengan handuk. "Itu bukan salah lo, Rin. Gue aja yang oversensitif."

"Mulai sekarang aku janji nggak akan ungkit-ungkit nama itu lagi, Mas," kata Rina.

Aku menghela napas. Sejak melihat ekspresi rasa bersalahnya dan ucapannya itu, muncul dorongan di dalam diriku untuk menceritakan kisah tentang Eva kepada Rina. Selama ini aku selalu menutup cerita itu rapat-rapat karena menganggapnya sebagai aib. Namun aku dan Rina sudah menyimpan satu rahasia, apa salahnya jika menyimpan satu rahasia lagi?

Jumpa Lagi, Rina!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang