1: Apa Kabar, Rina?

25.3K 272 5
                                    

Suatu hari, di kantorku ada lowongan pekerjaan di bagian akuntansi. Semua karyawan boleh merekomendasikan teman atau saudaranya. Kalau teman/saudaranya itu diterima, karyawan itu akan mendapatkan imbalan (lumayan lah, satu kali gaji, hehe). Di samping itu, ini adalah kesempatan untuk menolong teman atau kerabat yang memang sedang membutuhkan pekerjaan.

Aku langsung teringat pada Rina, adik tingkatku sewaktu kuliah dulu yang baru saja diwisuda. Kebetulan, aku melihat foto-foto wisuda yang ia share di media sosialnya. Di foto-foto itu ia berpose mengenakan toga bersama teman-teman seangkatannya. Katanya, ia lulus dengan predikat cum laude. Terus terang, sebagai senior, aku turut bangga dengan prestasinya.

Rina sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Kami saling kenal ketika sama-sama menjadi panitia acara kampus dulu. Dia pacaran dengan Aris, salah seorang teman seangkatanku, dan hubungan kami bertiga tak pernah mengalami masalah. Hal yang paling kuingat dari Rina adalah sikapnya yang ramah dan mudah akrab dengan siapa saja. Tidak terhitung berapa banyak pria yang baper dibuatnya di kampus dulu. Bisa dibilang, aku adalah salah satu orang yang nyaris dibuat baper olehnya dulu. Namun setelah ia jadian dengan Aris, aku sadar bahwa hubungan kami lebih mirip sebagai "kakak-adik" saja.

Di sela-sela jam istirahat kantor, aku menelepon Rina. Awalnya aku merasa sedikit canggung. Maklum, sejak lulus kuliah dan diterima di kantor ini, aku sudah jarang menghubunginya lagi.

"Halo Rina, gimana kabarnya?" tanyaku di telepon.

"Baik, Mas Panji. Tumben nelpon? Kirain udah lupa, " jawabnya. Suaranya yang kekanakan masih belum berubah.

"Iya nih. Lo udah dapat kerja belum? Kebetulan di kantor gue lagi ada lowongan nih. Mau nginfoin aja sih."

"Wah boleh tuh Mas. Bagian apa? Gede ga gajinya? Hehe," tanya Rina, suaranya terdengar senang sekali.

Aku pun menjelaskan tentang lowongan pekerjaan itu sambil sedikit berbasa-basi menanyakan kabar Aris yang kini sedang mengambil pascasarjana di Aussie. Sejujurnya, aku kagum pada mereka karena berani menjalani hubungan jarak jauh. Tidak semua orang bisa menjalani hubungan jarak jauh. Hubungan semacam itu biasanya akan kandas di tengah jalan karena rasa curiga atau kesepian. Namun Rina dan Aris adalah pengecualian. Sejak dulu mereka memang pasangan yang santai dan tidak banyak drama.

Singkat cerita, Rina pun mengirimkan lamaran ke kantorku. Berkat IPKnya yang tinggi dan wawasannya yang luas, Rina pun diterima bekerja sebagai karyawan percobaan. Memang, kalau melihat prestasinya di kampus, aku yakin ia layak bekerja di perusahaan lain yang lebih bonafide, tapi sebagai seorang fresh graduate ia membutuhkan batu loncatan--dan kantor ini adalah batu loncatan yang baik.

Berhubung sudah diterima bekerja di sini, mau tidak mau dia pun harus pindah ke Jakarta. Namun karena kost di Jakarta mahal-mahal, terpaksa ia tinggal di daerah pinggiran kota yang dapat ditempuh dengan dua kali naik bus TransJakarta.

"Besok mau berangkat bareng?" tanyaku di telepon.

"Nggak usah, makasih Mas, besok ketemuan di kantor aja," jawabnya sopan.

Aku tidak sabar ingin bertemu Rina. Ada rasa kangen kepada gadis yang sudah kuanggap sebagai adikku itu. Seperti apa ya dia sekarang?

<>><<>

Pagi itu, saat aku baru tiba di lobi kantor, seorang perempuan muda berlari-lari kecil ke arahku. Suara hak sepatunya mengetuk-ngetuk lantai. Aku sempat mengira bahwa ia salah orang ketika ia tiba-tiba saja berhenti di hadapanku dan melambaikan tangan.

"Sumpah, Jakarta panas banget!" keluhnya sambil mengipas-ngipas wajahnya menggunakan tangan.

"Hah? Ini Rina?" ujarku, menyadari siapa perempuan di hadapanku itu.

"Ya ampun, udah lupa sama aku, ya? Iya, ini Rina, Mas!" jawabnya sambil cemberut.

Aku sedikit kaget. Dandanannya berbeda dengan sewaktu kuliah. Dulu, ia selalu tampil casual dan agak tomboy. Kemeja flanel dan jeans belel adalah kostum kesehariannya, kadang-kadang masih ditambah sweater besar yang membuat tubuh mungilnya nyaris tenggelam. Namun perempuan yang ada di hadanku sekarang terlihat beberapa kali lebih feminin. Ia seperti ... wanita dewasa.

Rina memakai kemeja putih lengan pendek yang cukup ketat, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang ramping serta sepasang buah dadanya yang menonjol mungil. Roknya model span ketat, sejengkal di atas lutut. Sebagian pahanya yang putih mulus terlihat jelas, begitu juga cetakan pantatnya yang bulat kecil.

Mungkin memang benar cuaca di luar sana sangat panas. Aku dapat melihat beberapa tetes keringat yang mengucur di kening dan leher Rina, mengalir di sela-sela kerah kemejanya. Sesekali ia akan mengipas-ngipaskan kerah bajunya itu sambil mendesis kegerahan.

Postur tubuh Rina memang tidak terlalu tinggi, tapi berkat hak sepatunya, ia jadi hampir sejajar denganku. Oh ya, ada lagi yang berbeda. Sekarang rambutnya panjang dan agak berombak di bagian bawah. Satu satunya yang masih sama hanyalah kacamata yang ia pakai.

"Hahaha, penampilan lo udah cocok jadi cewek kantoran ibukota!" ucapku menggodanya.

Ia tersipu malu sambil menarik-narik ujung roknya.

"Kependekan ga sih?" tanyanya.

"Kurang pendek sih kalo menurut gue," candaku.

"Huuu! Ini aja aku udah risih banget. Mau sependek apa lagi? Segini? Segini?" ucap Rina sambil menarik roknya ke atas beberapa senti, memperlihatkan pahanya yang ramping dan mulus, membuat jantungku berdetak kencang. Aku tahu anak ini memang agak liar kalau sudah bercanda.

"Stop! Stop!" ucapku.

"Hehehe, kalau nggak cocok aku mau ganti pake jeans aja, deh, " ia terkekeh.

"Santai. Lo cantik kok pake dandanan begitu," ucapku.

Rina tersipu lagi. Aku menekan tombol lift dan mengajaknya naik ke lantai sepuluh. Kebetulan ia belum memiliki kartu akses, jadi aku harus mengantarnya dulu ke ruangan HRD.

Saat masuk ke dalam lift yang cukup penuh, aku bisa mencium aroma parfumnya. Manis dan memesona. Sesekali, aku juga curi-curi pandang lewat pantulan di dinding cermin. Rina jadi cantik.

"Apa sih, Mas Panji?" ucapnya tiba-tiba.

"Hah? Apa?"

"Ngeliatin dari pantulan lift, kan?"

Aku salah tingkah karena tertangkap basah sedang memperhatikannya. Sementara itu Rina hanya cengar-cengir sambil menunggu penjelasanku. Ia memang paling pandai menggoda orang yang salah tingkah.

"Nggak kok. Gue coba mau bilang, selamat datang di kantor ini. Semoga betah, ya!"

Rina menatap mataku sambil tersenyum. "Aku juga mau bilang terima kasih karena Mas udah bantu aku. Dari zaman kuliah, ga kehitung berapa kali Mas Panji udah bantuin aku."

Kami saling tatap selama beberapa detik. Aku melihat kedua bola matanya yang bulat di balik kacamatanya, dan aku nyaris tenggelam di dalam sana. Sepasang matanya seperti samudera penuh ombak yang siap mengombang-ambingkan setiap kapal yang kehilangan arah. Suara musik dari speaker lift berusaha membuatku lebih tenang, tapi tampaknya tak banyak berpengaruh.

Tiba-tiba saja suara pintu lift terbuka memecahkan lamunan kami. Aku menghela napas lega. Kami sudah tiba di lantai sepuluh.

Jumpa Lagi, Rina!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang