12: Terlanjur Basah

18K 137 0
                                    

Jam pulang kantor, Rina langsung membuntutiku seperti anak itik yang mengejar induknya. Seutas senyum jahil terbentang di bibirnya. Aku pura-pura tidak melihatnya, tapi ia terus mengikutiku sampai ke parkiran motor.

"Lho, kok ada di sini, Rin?" tanyaku memasang wajah polos.

"Ya, ada dong. Kan aku mau diboncengin motor barunya Mas Panji," jawabnya.

"Berarti gue harus nganterin ke kosan lo dulu dong?"

"Nggak harus. Aku dituruin di perempatan jalan aja, gapapa kok," ucapnya sambil memasang wajah manyun. "Yaa... Itu ... kalau Mas Panji tega, yaaaaa."

Melihat wajah manyunnya itu aku merasa gemas sekali. Ini adalah Rina yang kukenal. Rina yang kekanakan dan menggemaskan saat pacarnya sedang tidak ada. Aku menarik napas dalam, kemudian segera menyalakan sepeda motorku.

"Jadi, aku ditinggal, nih? Tega bener, sih. Setelah apa yang udah aku kasih buat Mas ...."

"Iyaa, iyaaa, ayo naik!" potongku.

"Yes!"

Dengan wajah sumringah, Rina langsung naik ke kursi pembonceng. Kebetulan pada hari ini ia tidak mengenakan rok, tapi mengenakan celana panjang katun sehingga ia bisa duduk dengan mudah. Kedua tangannya ia letakkan di kedua pangkuan pahanya. Aku dapat merasakan kedua pahanya menjepit pahaku dari belakang. Rasanya hangat.

"Udah siap?" tanyaku.

"Lessgo!"

Kami pun melaju di atas sepeda motor matic cicilan itu. Entah kenapa Rina tampak bersemangat sekali, seperti anak kecil yang baru pertama kali naik motor. Padahal, ia sudah sering diboncengi oleh motor sport milik Aris yang jelas berkali-kali lipat lebih keren dari motorku. Biarlah, mungkin ia cuma sedang mengalihkan perasaan rindunya setelah pacarnya itu berangkat kembali ke luar negeri.

Aku mengemudi dengan kecepatan normal. Selain karena aku tidak suka kebut-kebutan, juga karena jalan raya di sore ini memang lumayan padat. Namun semua itu berubah ketika sekumpulan awan gelap muncul di atas kepala kami dan memperdengarkan suara gemuruh.

Beberapa orang pengemudi motor memutuskan untuk berhenti ke tepi jalan dan mengenakan jas hujan mereka. Kalau tidak salah, aku juga membawa jas hujan di bawah jok motorku.

"Mau pakai jas hujan dulu?" tanyaku dengan suara agak keras.

"Nanti aja, lah. Mendung doang, kok," kata Rina.

Aku pun menuruti sarannya. Aku terus melaju, memanfaatkan jalanan yang sedikit lengang. Namun tak lama kemudian, beberapa tetes gerimis membasahi wajah dan pakaian kami. Aku mempercepat laju sepeda motorku karena di tempat itu tidak tampak ada jembatan atau bangunan yang bisa digunakan untuk berteduh.

Merasakan laju sepeda motor yang agak ugal-ugalan, Rina memeluk pinggangku. Tangannya melingkar erat dan tubuhnya menempel di punggungku. Samar-samar, aku dapat merasakan sepasang bantalan empuk yang terasa padat. Jantungku berdetak kencang.

Selama ini aku selalu menebak bahwa Rina memiliki buah dada yang kecil. Oleh karena itu, aku sedikit terkejut bahwa aku bisa merasakan kepadatannya dalam posisi seperti ini. Mungkin ini hanya busa dari bra yang ia kenakan? Atau mungkin memang buah dada Rina sebenarnya lebih besar dan lebih padat daripada yang kuperkirakan?

Tiba-tiba saja, sebelum kami sempat menepi, gerimis berubah menjadi hujan deras. Aku melambatkan laju sepeda motorku demi menjaga keseimbangan. Pakaian kami langsung basah kuyup. Sisi positifnya, hampir semua sepeda motor lain langsung menepi sehingga jalanan di hadapan kami cenderung lengang.

"Minggir dulu ya, Rin?" tanyaku.

"Yah, udah terlanjur, Mas! Udah terlanjur basah!" jawab Rina.

"Tapi lo kan nggak pakai jaket!" balasku.

Jumpa Lagi, Rina!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang