6: Mas Kejam!

14.4K 167 0
                                    

TOK TOK TOK! Pintu kamar toilet di belakangku bergetar karena ada yang mengetuknya dari luar.

"Tungguuuu!" teriak Rina dengan suara yang agak serak.

Kami dapat melihat bayangan orang dari sela bagian bawah pintu dan ada suara sepatu hak tinggi mondar-mandir. Kemudian ada suara perempuan menggerutu. "Lama banget sih! Mules nih! Mana penuh semua lagi."

Ada sedikit perasaan lega dalam diriku. Setidaknya orang di luar sana adalah perempuan yang tidak kami kenal, bukan Aris. Namun bukan berarti hal itu menyelesaikan masalah.

Aku dan Rina saling pandang lagi. Bagaimana kalau perempuan itu terus-terusan berdiri di depan pintu? Pasti aku ketahuan masuk ke toilet perempuan. Mending kalau dia cuma ngomel-ngomel. Bagaimana kalau dia marah, lalu melapor ke satpam atau petugas restoran, kemudian Aris mendengar keributan itu, kemudian ... matilah aku!

Aku sudah membayangkan bogem Aris menghantam wajahku. Kalau itu terjadi, aku tidak akan bisa menangkis atau membalasnya, karena aku tahu bahwa aku berada di posisi yang salah. Belum lagi jika kasus ini menjadi viral. Seseorang akan membuat thread di Twitter atau membuat story di Instagram tentang laki-laki brengsek yang mengkhianati sahabatnya sendiri dan perempuan murahan yang berselingkuh di toilet restoran. Netizen akan ramai-ramai mengutuk kami, sampai cerita itu sampai di telinga keluarga, teman-teman, bahkan atasan kami di kantor. Kami akan dipecat, jadi gelandangan, dan ....

"Sssst!" bisik Rina. "Tenang."

Beberapa detik kemudian, kami mendengar suara pintu dari sebelah. Sepertinya ada orang yang baru keluar dari kamar toilet sebelah. Perempuan tadi pun segera masuk ke dalam toilet yang kosong itu dengan langkah yang terburu-buru. Sekarang bayangan dan suaranya sudah hilang. Relatif aman.

Aku dan Rina sama-sama menghembuskan nafas lega.

"Kayaknya kita kelamaan, Mas," bisik Rina. Dia mengecek HP-nya yang disimpan di kantong celana. Ternyata ada chat dari Aris. Rina memperlihatkan chat itu kepadaku.

-Kamu di mana beb? Lama bener ke toiletnya?-

"Bales aja dulu," bisikku.

Rina mengangguk, kemudian dia membalas chat tersebut dengan jari yang agak gemetar.

-Sori, aku mules banget nih beb. Sebentar lagi aku ke sana kok.-

Mudah-mudahan dia tidak terlalu curiga. Aku tahu, Aris bukanlah orang bodoh. Ia punya intuisi yang cukup tajam. Wajar saja jika ia curiga karena aku dan Rina menghilang di saat bersamaan. Namun di lain sisi, ia juga orang yang selalu berprasangka baik.

"Mas," bisik Rina dengan wajah agak murung. "Kita lanjut nanti aja kali, ya?"

Aku menelan ludah. Perkataan Rina itu terus terang membuatku kecewa. Batangku masih tegang di bawah sini, meski sudah tidak sekeras tadi. Aku pikir gedoran pintu dan chat dari Aris akan membuatku kehilangan gairah seketika. Namun aku salah, ereksiku terus bertahan. Mungkin karena sejak tadi batangku terus berada di dalam genggaman tangan Rina.

"Tapi Rin..."

"Kayaknya kita udah kelamaan. Aris pasti curiga. Aku takut, Mas. Kita tuntasin nanti aja ya, kalau kosan aku udah sepi, supaya lebih leluasa?"

Aku tidak bisa menjawab apa-apa. Seharusnya aku menjawab iya. Toh, semua ini kan kemauannya sendiri, aku tidak bisa memaksa. Lagipula, kalau ditimbang secara rasional, usulan Rina untuk menghentikan semua ini adalah pilihan yang paling aman dan masuk akal.

Namun di lain pihak, penisku yang berdenyut-denyut ini tidak bisa menahan siksaan lebih lama lagi. Jika kesempatan ini ditunda, mungkin tidak akan ada lain kali. Mungkin Rina akan berubah pikiran, mungkin malah aku yang akan berubah pikiran.

"Mas? Kok bengong?" tanyanya, melepaskan tangannya dari batang penisku.

Aku menarik nafas. "Rin.... aku tau kondisinya gawat, tapi apa nggak bisa ... please ...."

Rina menatapku, mungkin merasa iba juga melihat wajah melasku.

"Hmmm ya deh, kasian juga sama masnya." Rina kembali menggenggam batang penisku dengan lembut. "Tapi harus cepat ya Mas. Kita udah ga bisa lebih lama lagi," ucapnya.

"Iya, Rin. Gue usahain." Aku mengangguk.

"Biar cepet, aku pakai mulut boleh, ya?"

Tanpa menunggu jawaban, Rina langsung memasukkan ujung penisku ke mulutnya. Bibirnya yang mungil dan basah menjepit pelan. Ketika tekstur bibir Rina melekat dengan permukaan batangku, seketika saja aliran darah di bawah sana bergejolak kuat, urat-urat menegang, dan batangku kembali tegak sempurna.

Rina mulai menggerakkan kepalanya maju mundur. Bibirnya bergesekan dengan urat penisku, dilumasi oleh air liurnya, dielus-elus oleh ujung lidahnya. Ia melakukannya dengan tempo yang lambat, tapi semakin lama semakin cepat. Awalnya ia hanya menghisap ujung kepala penisku, tapi lama-lama mulutnya menghisap semakin dalam, hingga ke batang.

Ketika nafsuku semakin memuncak, aku hampir saja mendesah lagi. Bibir Rina yang halus dan mungil itu sekarang sedang mengulum-ngulum batang kemaluanku. Dia mendorong kepalanya lebih dalam lagi, terus semakin dalam, sampai seluruh batangku terasa mentok di tenggorokannya. Sedotannya, hisapannya, semakin lama semakin nikmat. Ditambah lagi dengan tatapan matanya yang tidak pernah lepas dari mataku.

"Ayyooo mmasz," gumamnya tidak jelas.

Aku tidak sanggup lagi. Kupegang kepalanya, lalu kugerakkan pinggulku maju mundur. Aku sudah tidak ingat lagi apakah Rina mual atau tidak, apakah kaca matanya hampir lepas atau tidak, yang penting kusodok-sodok mulut imutnya itu dengan penisku yang tegang sempurna. Lalu pada sodokan ke sekian, kutekan batangku hingga mentok di mulutnya.

Sebuah ledakan besar terjadi di bagian bawah tubuhku. Dorongan hebat itu membuatku semakin memajukan pinggulku tanpa tertahankan. Dengan sebuah erangan yang tak tertahankan, aku ejakulasi, memuncratkan spermaku di dalam rongga mulut dan tenggorokan Rina hingga habis.

Lega rasanya. Seketika itu juga lututku terasa lemas.

Aku masih terus memegangi kepala Rina hingga tidak sadar bahwa ia memberontak. Dia mendorong pinggangku, menarik mulutnya, lalu terbatuk-batuk keras. Tiba-tiba saja aku merasa kasihan kepadanya. Wajahnya tampak penuh derita. Kemudian ia berusaha memuntahkan spermaku ke dalam kloset.

"Uhuk, uhuk! Mas kejam! Kejam!"

"Sssst! Nanti ada yang dengar!"

"Siapa yang bilang boleh keluarin di dalam mulut? Siapa yang bilang boleh pegangin kepalaku kaya tadi?" protesnya dengan volume suara ditahan. Mukanya manyun, pipinya menggembung. "Emangnya Mas pikir aku apaan?"

Aku mengambil tisu gulung, kemudian membantunya mengelap sisa-sisa sperma yang masih menempel di pipi dan bibirnya. Rina membetulkan posisi kacamatanya yang bergeser. Untunglah kacamatanya tidak terkena sperma.

"Maaf, maaf. Gue nggak tahan banget tadi," ucapku.

Dalam kondisi napsu yang sudah kembali stabil, akal sehatku mulai kembali. Betapa buruknya yang aku lakukan tadi. Aku membuat Rina kesakitan, bahkan memaksanya menelan cairanku tanpa persetujuannya lebih dahulu.

"Jangan diulangi, ya," gumamnya.

Aku mengangguk.

"Ya udahlah, yang penting utangku udah lunas." Rina kembali tersenyum manis.

Senyum manis itu berhasil membuat rasa bersalahku menjadi lumer. Dadaku terasa ringan kembali.

Rina membantuku memasukkan penisku kembali ke dalam celana, kemudian menutup ritsleting celanaku. Ia menepuk selangkanganku tiga kali, seolah ingin mengucapkan selamat tidur kepadanya.

"Rin?" ucapku.

"Ya, Mas?" tanya Rina sambil bangkit berdiri.

"Ngg... Makasih ya," ucapku dengan suara yang terdengar lemas.

"Santai," jawabnya, "tapi jangan tenang dulu. Aris masih nungguin kita."

Jumpa Lagi, Rina!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang