Wajah Eva maju-mundur di layar komputerku. Matanya setengah terbuka, mulutnya menganga, suara desahan terus meluncur keluar dengan merdunya. Sepasasng payudaranya yang bulat padat menggantung dan bergoyang-goyang. Seorang pria yang tak kukenal sedang memegangi pinggangnya dari belakang dan menggenjotnya, menghentak-hentakkan tubuhnya, memasuki lubang intimnya berkali-kali.
Tubuh itu, tubuh yang sedang disetubuhi itu, adalah tubuh dari wanita yang dahulu selalu kukagumi dan kujaga kesuciannya. Itu adalah tubuh yang sedikit pun tak berani kujamah. Melihat tubuh itu dijamah dan dipermainkan oleh orang lain telah memunculkan berbagai perasaan yang saling bertolak belakang dan menghancurkan satu sama lain. Marah, cemburu, kecewa, benci, sedih, putus asa .... tapi juga nafsu birahi yang meletup-letup.
"Mas?" panggil Rina.
"Ha?" gumamku.
Aku mendengar suara Rina, tapi pikiranku terpaku pada video itu, pada tubuh ramping Eva yang menunduk dan berguncang maju mundur.
"Mas?"
"Ya?"
Rina menepuk pundakku, membuatku tersadar dari fantasi ini. Ketika aku menoleh ke arah Rina, aku dapat melihat wajahnya yang tampak khawatir. Mungkin ia takut bahwa aku sedang menyakiti mentalku sendiri. Ia cukup beralasan, itu memang benar.
"Mas Panji nggak apa-apa?" tanya Rina.
"Hah? Nggak kok, nggak apa-apa," ucapku, tiba-tiba saja tersadar.
"Tapi kok ... itunya Mas ...," ucap Rina sambil menunjuk ke arah selangkanganku.
Benar saja, rupanya celana pendek yang kukenakan di bawah sana sudah menonjol tinggi. tak bisa dipungkiri, video yang kulihat itu memang membangkitkan nafsu birahiku, apalagi ditambah celana olahraga berbahan tipis yang kukenakan, semakin jelas saja terlihat.
Kulihat Rina menggigit bibir, bergantian memandangi ekspresi wajahku dan melihat ke arah selangkanganku. Rasanya aneh sekali. Ini adalah ereksi yang tidak kuinginkan. Jauh lebih tidak kuinginkan daripada ereksi yang kualami ketika di bus bersama Rina.
"Gue nggak ngerti, ini mungkin reaksi biologis. Harusnya ... harusnya gue marah dan sedih, bukannya malah horny," ucapku sambil menahan gejolak kekesalan yang membesar di dalam dadaku.
Mungkin melihat konflik batin yang kualami, Rina mengelus-elus pundakku, berusaha membuatku lebih tenang. Namun melihat tidak banyak perubahan yang terjadi, Rina mencoba cara lain.
"Mas, sakit ya?" tanyanya.
Aku hanya mengangguk. Lebih tepatnya, sakit dalam hatiku.
"Aku coba meringankan, ya?" kata Rina lagi.
"Hah? Maksudnya?"
Tiba-tiba saja tangan kanan Rina menyentuk tonjolan di celanaku dan mulai mengusapnya dengan lembut, sementara tangan kirinya masih mengelus punggungku. Aku dapat merasakan ketenangan sekaligus ketegangan pada saat yang sama.
"Rin? Ahh..." desahku.
"Mas Panji lihat monitor aja. Aku akan bantu Mas di bawah sini, tapi Mas nggak usah mikirin aku. Mas bebas untuk ngebayangin Eva, nonton videonya, nikmatin apa aja yang terlintas dalam imajinasi Mas. Aku tau, Mas Panji butuh pelepasan. Udah bertahun-tahun kan, Mas memendam perasaan ini? Mungkin ini satu-satunya cara untuk meringankan beban di hati Mas Panji."
Tangan Rina tiba-tiba saja menurunkan celana olahragaku hingga sebatas lutut, kemudian tangan lembutnya segera menggenggam batang penisku. Sementara aku mulai kembali menyaksikan video skandal Eva, tangan Rina mulai mengocokku dengan perlahan. Ketika aku menolah untuk melihat wajah Rina dan apa yang sedang ia lakukan pada penisku, tangan kiri Rina mendorong pipiku, memintaku agar tak usah mempedulikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jumpa Lagi, Rina!
RomansaRina sudah kuanggap seperti adik angkatku sendiri, apalagi ia juga pacar sahabatku. Namun ketika ia mulai bekerja satu kantor denganku, semuanya mulai berubah. Timbul insiden-insiden yang membuat hubungan kami semakin "menegangkan". WARNING: Mengand...