7: Nggak Tahu Malu, ya?

12.1K 149 1
                                    

Kami mengatur strategi. Pertama-tama, aku keluar toilet lebih dulu setelah memastikan bahwa suasana sudah benar-benar aman. Setelah aku pergi selama beberapa menit, Rina baru keluar menyusulku agar kedatangan kami tidak mencurigakan.

Sebenarya sempat terjadi perdebatan tentang siapa yang harus kembali lebih dulu, aku atau Rina. Rina beralasan sakit perut dan buang air besar, sementara aku beralasan menerima telepon dari bosku. Dari kedua kejadian itu, mana yang wajarnya memakan waktu lebih lama? Akhirnya diputuskan agar aku kembali lebih dulu, karena menerima telepon sewajarnya tidak memakan waktu lebih lama.

Strategi itu berhasil. Rina baru datang sekitar tiga menit setelah aku duduk kembali di meja makan bersama Aris. Bahkan Aris sudah mulai menyantap makanan sejak tadi.

"Hufff maaf lama," ujar Rina sambil duduk di sebelah Aris.

"Ngapain aja sih kamu? Sakit perut ya?" tanya Aris sambil mengelap pelipis Rina yang tampak berkeringat.

"Iya, kayanya aku salah makan tadi siang. Sampe sakit begitu perutku, sekarang jadi lemes banget."

"Makan apa sih kamu tadi siang? Makan yang pedes lagi ya?"

"Nggak kok. Cuma makan bakso, tapi sambelnya banyak. Hehehe."

Aris menghela napas.

"Ya udah, makan dulu nih. Udah keburu dingin lho."

"Suaaaapiiiin," ucap Rina manja.

Aris senyum-senyum. "Kaya bocil aja sih minta disuapin?"

"Kan aku lagi atiiit. atit peyuut," goda Rina.

"Dasar manja."

"Gapapa dong sekali sekali. Kan kamu jarang-jarang bisa nyuapin aku."

Akhirnya Aris menyerah. Dia mengambil sendok dan menyuapi Rina sambil bercanda. Dan kemesraan itu pun berlanjut lagi. Dan aku pun kembali menjadi kambing congek. Macam-macam perasaan bercampur di dalam dadaku. Rasanya aneh. Aku merasa jahat.

"Aaaaaam."

Satu suapan dari Aris masuk ke mulut mungil Rina. Ia tidak tahu bahwa beberapa menit lalu, aku juga telah menyuapi mulut kekasihnya itu. Bukan dengan makanan, tapi dengan benda lain. Mudah-mudahan tidak ada yang tersisa di langit-langit mulutnya.

Mereka terus bercanda-canda. Rina tidak menunjukkan rasa bersalah atau gelagat takut, ia bersikap seolah tak pernah terjadi apa-apa. Sewaktu di kampus dulu, seingatku Rina memang pernah bergabung dengan grup teater. Tidak heran jika kemampuan aktingnya luar biasa.

Sambil menyantap makan, Aris sempat bercerita tentang pengalamannya selama berkuliah di Australia. Ia berkenalan dengan banyak mahasiswa dari berbagai belahan dunia. Pergaulannya menjadi lebih bebas dan pikirannya lebih terbuka, katanya. Rina mendengarkan cerita itu dengan wajah cerah. Terpancar rasa bangga atas prestasi kekasihnya itu. Apalagi ketika Aris sempat memberi isyarat bahwa tahun depan ia akan lulus, bekerja, kemudian segera melamarnya.

Dibandingkan aku, Aris memang berasal dari keluarga yang lebih berada. Orangtuanya memasukkannya kuliah dengan biaya sendiri, bahkan menjadi donatur, sementara aku berhasil masuk lewat jalur beasiswa. Ketika lulus, ia melanjutkan pendidikan ke luar negeri dan mungkin juga sudah disiapkan untuk memimpin salah satu perusahaan milik keluarganya setelah lulus nanti. Sementara itu, aku masih berjuang menjadi karyawan kantoran yang setiap hari berdesak-desakan di dalam bus kota.

"Gimana kerja di tempat baru? Asik, nggak?" Kini giliran Aris yang bertanya kepada Rina.

"Asik, kok. Apalagi sekantor sama Mas Panji," jawab Rina sambil mengerlingkan mata ke arahku.

"Iya, tapi beda divisi, sih," tambahku.

"It's okay. Malah bagus, kok. Gue mau ucapin terima kasih karena lo udah bantuin Rina, Ji. Gue emang belum pernah masuk ke dunia kerja, tapi yang gue denger dunia kerja buat fresh graduate itu lumayan keras ya? Apalagi jaman sekrang sarjana udah bejibun," ujar Aris.

"Bener banget. Kantornya emang cuma perusahaan kecil, tapi untungnya ramah sama fresh graduate. Turn over-nya lumayan cepet. Makanya di sana banyakan anak-anak muda daripada orang tua. Anak-anak muda itu cuma cari pengalaman. Beberapa tahun kemudian mereka biasanya pindah ke perusahaan lain yang lebih oke," ucapku menjelaskan.

"Hmm, I see. Beb, kamu tahan-tahanlah di sana setahun atau dua tahun. Abis gitu kamu bisa pindah ke perusahaan punya Pakde. Nanti aku omongin ke Pakde," kata Aris sambil menatap Rina.

"Okee.... kita liat aja nanti ya, Beb. Aku masih mau usaha dari kemampuanku sendiri," jawab Rina.

"Kereeeen. Ini nih yang bikin aku jatuh cinta sama kamu," kata Aris sambil mengusap-usap kepala Rina. "Kalau lo sendiri gimana, Ji? Masih betah di sana atau mau pindah?"

Tawaran itu sempat membuat perasaanku goyah. Bekerja di salah satu perusahaan milik keluarga Aris mungkin menyenangkan. Aku bisa lebih mudah mencapai posisi yang aku inginkan dan upah yang kudapatkan sudah pasti lebih besar. Namun sejak dulu berkenalan dengan Aris, aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak pernah memanfaatkan kekayaannya demi kepentinganku. Kami mungkin berteman, tapi aku ingin tetap menjadi orang bebas tanpa utang budi kepada siapa pun.

"Alhamdulillah, masih betah gue," jawabku.

"Kenapa? Emang gajinya gede ya di sana?" tanya Aris.

"Boro-boro," jawabku. "Gue betah karena di sana banyak cewek-cewek muda yang cantik-cantik dan fresh. Hehehe," candaku.

"Termasuk aku, kan?" sambar Rina.

Aris tertawa mendengar kami. Memang sudah lama juga kami tak bercanda lepas bertiga seperti ini. Setelah puas tertawa terbahak-bahak, ia menarik napas dalam dan kemudian menatapku lekat-lekat. Sepertinya ada sesuatu yang ingin ia sampaikan.

"Ji," katanya pelan dengan suara yang berat.

"Ya?"

"Gue tau ini bukan kewajiban lo, tapi gue minta tolong," katanya.

"Minta tolong untuk?" tanyaku.

"Tolong jagain Rina selama gue nggak di sini," ucapnya.

Aku mengangguk. Anggukan itu membuat dadaku terasa lebih berat dari sebelumnya.

Setelah acara makan selesai, kami pun bersiap pulang. Panji mentraktir semua pesanan kami. Katanya, mumpung dia ada di Indonesia, kapan lagi bisa mentraktir pacar dan sahabatnya sendiri.

Di perjalanan pulang menuju kost Rina, tiba-tiba Aris kembali tertawa terbahak-bahak. Aku bingung. Rina juga bingung. Ada apa ini? Aris melihat ke arahku, lalu tertawa lagi. Apa yang lucu? Kenapa ia menertawai aku?

"Ji? Lo tuh ga tau malu, ya?" gumamnya.

"Hah? Maksud lo?" aku deg-degan, takut sekaligus bingung.

Tiba-tiba saja lututku terasa lemas. Apakah aku sudah ketahuan? Jangan-jangan sejak tadi Aris sudah mengetahui apa yang terjadi dan dia hanya sedang mempermainkanku saja? Mampuslah aku.

"Itu, masa itu lo...." Aris menunjuk ke arah selangkanganku. Ada apa?

Aku menunduk, lalu menyadari bahwa ternyata resleting celanaku terbuka. Celana dalamku sedikit terlihat dari sela-selanya. Aku terkejut, jantungku sempat terasa berhenti berdetak selama beberapa saat. Bukankah tadi Rina sudah menutupnya kembali? Bagaimana aku menjelaskan ini?

"Panji, Panji ... dari kapan tuh kebuka gitu? Gimana sih lo? Untung ga kabur tuh burung," ledek Aris.

Aku melirik Rina, tapi dia malah membuang pandangan, seolah tak merasa bertanggung jawab. Kucoba menutup ritsletingku, tapi tidak bisa menutup. Rupanya ritsleting itu rusak dan terbuka sendiri. Pantas saja.

Sementara aku mencoba memperbaiki resletingku dengan susah payah, Rina ikut tertawa terbahak-bahak. Sialan. Ini kan gara-gara dia juga.

Jumpa Lagi, Rina!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang