Sabtu, 14 Desember 2024
Kondominium Ohkura Tadayoshi, Tokyo
Darah yang mengalir, wajah yang memucat, tubuh yang berhenti bergerak ...
Semua itu masih Ren ingat dengan sangat jelas. Lebih dari apa yang kini tengah dilihatnya, lebih dari potongan film apapun yang pernah ditontonnya.
Mungkin lebih baik jika aku saja yang saat itu nyaris mati.
"Ren, aku pergi dulu, ya? Anggap saja rumah sendiri. Kalau ada apa-apa telepon saja aku."
"Un."
Begitu pintu ditutup, Ren menghela nafasnya. Sejak mengalami serangan panik semalam, rasa sakit di kepalanya tak kunjung hilang. Ohkura sudah menawarinya untuk pergi ke dokter, tapi ia menolak. Ia pikir rasa sakitnya akan hilang jika ia bisa tertidur lelap, tapi sayangnya ia bahkan tidak bisa sedetik pun mengenyahkan bayangan sepuluh tahun yang lalu dari benaknya. Semalaman ia terus terjaga, dan tentu saja pagi ini rasa sakit di kepalanya semakin menjadi-jadi.
"Daigo, aku ingin pulang ...." Ia tidak tahan lagi. Ia ingin melarikan diri.
"Sekarang kau ada dimana?"
"Kondominium Ohkura-kun."
"Kirim lokasinya, aku ke sana sekarang."
Hanya dalam waktu lima belas menit, Daigo datang dengan membawa sekantong makanan ringan dan beberapa kaleng bir. Setelah grupnya debut, ia resmi tinggal di Tokyo. Ren tidak tahu dan tidak pernah menanyakan dimana alamat tempat tinggalnya. Lagi pula sama seperti Nozomu, Daigo tinggal bersama dengan kekasihnya, sehingga Ren tidak ingin menjadi pengganggu dengan secara sengaja berkunjung ke sana.
"Kau belum sarapan?" Daigo melirik sepiring omurice yang ada di meja makan.
Ren menggeleng. Jangankan sarapan, tadi malam pun ia sama sekali tidak menyentuh nasi maupun daging bakar yang sudah disodorkan oleh Nozomu di restoran yakiniku.
"Pantas saja kepalamu sakit. Ayo makan. Mau kusuapi?"
"Aku bukan anak kecil," cetus Ren.
Daigo terkekeh. "Kalau kau bukan anak kecil, kau pasti sudah tahu apa yang seharusnya kau lakukan untuk membuat tubuhmu baik-baik saja. Menuruti keinginanmu untuk tidak makan, sama sekali bukan hal bijak yang biasanya dipilih oleh orang yang mengaku bukan anak kecil."
Mendengar itu, mau tidak mau Ren turun dari sofa, lalu duduk di kursi meja makan. Daigo duduk di hadapannya, menuangkan sekaleng bir pada gelas yang sudah ditaruh es batu terlebih dahulu. Meski dia sepertinya baru pertama kali berkunjung ke kondominium Ohkura, ia tampak tidak ragu untuk mengambil apapun yang dibutuhkannya.
"Tadi aku sudah menelepon Ohkura-kun dan bilang bahwa aku akan menemanimu di sini," ia seolah tahu arti tatapan Ren padanya.
Ren kemudian menyuapkan sesendok omurice ke mulutnya.
Satu kunyahan,
Dua kunyahan,
Tiga kunyahan ...
Enak.
"Enak?" tebak Daigo. Sebagai orang yang sudah mengenalnya selama bertahun-tahun dan selalu menemaninya di masa-masa sulit, tentu saja Daigo bisa memahami apapun ekspresi yang ditunjukkan oleh Ren.
"Un," pada akhirnya Ren memakan omurice buatan Ohkura dengan sangat lahap.
"Ren, kau ingat ini?" Daigo mengeluarkan sebungkus cemilan dari kantung plastik belanjaannya.
Makanan kering berwarna kecoklatan .... Nureokaki.
"Makanan kesukaanya," kata Ren pelan.
"Un. Sampai sekarang pun dia masih menyukainya," kata Daigo. Ia membuka bungkusannya, lalu menaruh satu nureokaki di piring Ren.
Ragu-ragu Ren mengambil nureokaki itu lalu menggigitnya perlahan. Cemilan berupa kerupuk beras yang dicelupkan ke dalam kecap selama proses produksinya itu bertekstur lembut dan lembab. Setiap gigitan yang masuk ke dalam mulutnya seolah menghantarkan kenangan yang sudah lama ingin dilupakannya.
"Tidak akan ada yang berubah jika kau memutuskan untuk pulang sekarang," setelah Ren memakan habis satu buah nureokaki, ia bisa melihat Daigo menatapnya lamat-lamat. "Selamanya, kau akan melarikan diri dari rasa takutmu. Selamanya pula, dia akan menderita."
"Dia ... menderita?" dahi Ren mengernyit.
Daigo mengangguk. "Dia ingin ingatannya kembali. Kaito yang mengatakannya padaku."
"Kaito ..." Ren masih ingat sosok pemilik nama itu. Sebelum kecelakaan itu terjadi, ia dan Kaito pernah bertemu dan melakukan pekerjaan bersama. Dia adalah pemuda yang bisa dengan mudah mendapatkan perhatian dan cinta dari semua orang.
"Kaito juga yang membujukku untuk menyuruhmu menemui Sho," kata Daigo. "Dia berpendapat, jika kalian bertemu, Sho akan lebih cepat mendapatkan ingatannya kembali."
"Tapi-"
"Ren, Sho melindungimu karena kau berarti untuknya. Sekarang dia ingin mengingat semuanya karena aku yakin dia juga merasa ingatan itu penting untuknya. Kau tidak bersalah atas kecelakaan itu."
"Tapi dia hampir mati!" kedua tangan Ren gemetar. Gejolak rasa mual kemudian menyerangnya. "Kalau saja malam itu aku tidak memaksanya untuk pergi ... kalau saja malam itu kami tidak pergi kemana-mana-"
"Ren!" hentakan keras suara Daigo berhasil membuat Ren tersadar dari rasa paniknya. Entah sejak kapan Daigo sudah berada di sampingnya dan memegangi kedua bahunya. "Dengar. Aku tidak mau melihatmu seumur hidup merasa bersalah pada Sho. Aku juga tidak mau melihat Sho seumur hidup menderita karena tidak bisa mengingatmu. Karena itu kumohon jangan bersembunyi lagi. Kau harus temui dia dan berterima kasih padanya karena sudah melindungimu saat itu."
"Tapi-" suara Ren tercekat.
"Sho melindungimu karena dia ingin kau selamat. Tunjukkan padanya bahwa pengorbanannya saat itu tidak sia-sia."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Namae Oshiete
FanfictionBaik Sho maupun Ren tidak bisa berkelit dari benang takdir yang mengikat mereka. Selama apapun waktu membuat Sho nyaris melupakan segalanya, dan sekeras apapun Ren berusaha untuk tidak mengingat semuanya, mereka tetap tidak bisa selamanya terus mene...