17. Peluk

55 0 0
                                    

Senin, 16 Desember 2024

Kondominium Hirano Sho, Tokyo


Tentu saja segalanya tidak akan sama. Sepuluh tahun sudah berlalu, dan Sho baru saja mengingat kembali sebagian kenangannya yang hilang. Dulu, jika ia dan Ren berada di kamar yang sama saat sedang menjalani butai atau konser, Ren akan merayap naik ke tempat tidurnya karena takut pada kamar yang ia matikan lampunya. Saat itu, Sho selalu berpura jengah, tapi pada akhirnya ia akan membiarkan Ren yang dulu begitu kecil, memeluknya dan terlelap di sampingnya sampai mereka sama-sama membuka mata di pagi hari. Kali ini, hal semacam itu tentu saja tidak akan terjadi. Ia bukan Hirano Sho yang masih berusia 16 belas tahun, dan Ren pun bukan bocah berusia 14 tahun lagi. Mereka sudah menjelma menjadi pemuda dewasa, dan tentu saja bukan hal yang wajar jika apa yang menjadi rutinitas mereka saat itu, dilakukan mereka saat ini.

Saat Ren sudah kelihatan mengantuk, Sho mencoba menawarinya untuk tidur bersama dengannya. "Aku bukan anak kecil lagi!" tolak Ren seraya terkekeh dengan wajah bersemu. Sho tersenyum kecil. Meski ada beberapa hal yang berubah, ada juga beberapa hal yang tampaknya tetap sama seperti dulu: Ren begitu mudah dibuat tersipu malu.

Sho kemudian membiarkan Ren untuk tidur di kamar tamu, tapi ia tidak lantas masuk ke kamarnya sendiri. Ia memilih membaringkan tubuhnya di sofa, ia terus memandangi pintu kamar tamu yang digunakan Ren, sampai akhirnya ia terlelap. Dan pagi ini Sho terbangun dengan kesegaran yang seolah tidak pernah dirasakannya selama bertahun-tahun. Ia pun tidak lagi memimpikan pertemuan pertamanya dengan Ren.

Sekarang dia sudah ada di depan mataku ....

Pelan-pelan Sho melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam kamar tamu. Ia berhasil untuk duduk di tepi tempat tidur tanpa mengeluarkan sedikit pun suara. Untung saja Ren masih mempertahankan kebiasaan tidur dengan lampu menyala. Sho bisa dengan jelas mengamati garis wajah Ren yang begitu tegas dan indah. Dulu ia pernah mengejek Ren seperti kecebong karena tubuhnya yang kurus dan hitam, tapi siapa sangka kini dia terpesona dengan kerupawanan Ren yang menurutnya bahkan lebih dari perempuan-perempuan yang pernah ditemuinya.

Aneh, padahal kau laki-laki. Tapi kenapa kau bisa terlihat secantik ini?

"Ngh? Sho?" entah sudah berapa menit berlalu hingga akhirnya Ren terbangun dan langsung menyadari keberadaannya. "Kenapa? Ada apa?"

Sho menggeleng. "Maaf aku masuk tanpa izin. Aku hanya ingin memastikan kau memang benar-benar berada di rumahku sekarang," jawabnya.

Ren kemudian duduk dan mengusap-usap matanya yang sembab akibat terlalu banyak menangis semalam. "Un, syukurlah aku juga tidak sedang bermimpi. Kupikir saat terbangun, aku akan sadar ternyata selama beberapa hari ini aku tetap berada di apartemenku."

"Terima kasih sudah memberanikan diri untuk datang ke Tokyo," Sho menaruh satu tangannya di puncak kepala Ren. Semalam, Ren sudah menceritakan semuanya. Segala yang terjadi sepuluh tahun silam, serta seperti apa hidup yang dijalaninya setelah keluar dari kantor agensi. Karena mengalami trauma yang berat, orang tua Ren memutuskan untuk menyekolahkannya di rumah. Selain belajar, yang dilakukan Ren hanyalah bermain game. Meski akhirnya semenjak kuliah, Ren bergabung dengan sebuah tim E-Sport dan sering mengikuti pertandingan lokal maupun nasional bahkan regional, Ren mengaku bahwa dia selalu merasa gugup ketika berada dalam keramaian. Menghadiri pesta pernikahan sekaligus bertemu dengan Sho yang merupakan trauma-nya, tentu saja merupakan sebuah pencapaian yang hebat.

"Terima kasih juga sudah tetap melanjutkan hidupmu sebagai idol. Aku benar-benar bangga padamu, Sho," sama seperti Ren, Sho pun menceritakan segala sesuatu yang tidak diketahui Ren selama sepuluh tahun ini. Ia menceritakan segala pencapaiannya sebagai seorang idol. Ia mengutarakan segala beban yang dipikulnya sebagai seorang ace di grupnya, ia juga mengutarakan betapa ia menyukai sahabat sekaligus rekan-rekan di grupnya. Ia pun menceritakan begitu banyak surat dari fans yang mengatakan bahwa hidup mereka tertolong berkat dirinya yang menjadi seorang idol. "Keinginanmu untuk membuat orang lain bahagia karena kehadiranmu, akhirnya tercapai."

"Apa kau juga bahagia dengan kehadiranku?" Sho tahu ia tidak seharusnya membuat suasana diantara mereka kembali sendu, tapi ia tidak bisa menahan dirinya untuk bertanya. Ia takut Ren justru lebih bahagia jika ia tidak pernah lagi menampakkan diri di hadapannya.

"Un. Aku selalu bahagia dengan kehadiranmu," Ren yang tiba-tiba memeluknya, membuat Sho merasa nafasnya sejenak terhenti. "Sepuluh tahun ... aku benar-benar tersiksa. "

Setelah Sho hanya bisa diam mematung, akhirnya ia bisa menggerakkan kedua tangannya untuk membalas pelukan Ren. "Maaf. Andai saja aku bisa lebih cepat mengingatmu, kau pasti tidak akan terlalu lama menderita ...."

Ren menggeleng sambil menenggelamkan wajahnya di bahu Sho. "Psikeaterku pernah mengatakan bahwa aku harus berdamai dengan masa laluku agar aku bisa melangkah ke depan tanpa beban, tapi aku benar-benar pengecut. Aku selalu takut untuk bertemu denganmu. Jika saja aku berani untuk lebih cepat menemuimu, mungkin kau bisa lebih cepat juga untuk mengingatku. Pasti menakutkan kan, kehilangan kenangan masa lalumu?"

"Un," Sho tidak pernah mengakuinya pada siapapun. Ia tidak mau menunjukkan sisi lemahnya pada orang lain, tapi entah kenapa, pada Ren, ia tidak bisa menyembunyikan apapun. "Rasanya seperti aku hidup hanya dengan separuh jiwaku saja. Aku sama sekali tidak merasa utuh."

"Sekarang semuanya sudah baik-baik saja," suara Ren begitu menenangkan.

Kini Sho merasa tidak membutuhkan apapun lagi. Jiwanya sudah kembali utuh. Kepingan kenangan satu persatu mulai ia ingat, keseharian yang dulu dijalaninya bersama Ren pun membuat hatinya terasa hangat.

"Ren, kumohon jangan pergi lagi ..." tanpa sadar Sho mengeratkan pelukannya. Tak hanya kenangan masa lalu, ia pun ingin membuat kenangan baru dengan Ren, meski jalan yang mereka tapaki kini begitu berbeda. "Tinggallah di sini. Aku membutuhkanmu."

"Un," Sho tidak menyangka Ren mengangguk cukup cepat. "Aku juga membutuhkanmu untuk merasakan hidup."

"Terima kasih, Ren."

"Aku yang harus berterima kasih, Sho. Terima kasih."

Sho memejamkan matanya. Saat ini ia hanya ingin merasakan peluk yang selama sepuluh tahun ini tak pernah ia dapatkan. Setelah ini, ia tidak tahu akan seperti apa hubungannya dengan Ren, namun satu hal yang pasti: Sho tidak akan pernah membiarkan Ren dan dirinya berpisah lagi.

***

Namae OshieteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang