15. Tanya

34 0 0
                                    


Minggu, 15 Desember 2024

Pernikahan Kiriyama Akito, Tokyo


Sho adalah pelari yang hebat. Dia memiliki kemampuan fisik yang bisa dibilang di atas rata-rata. Ia bisa menaklukan olah raga apapun, tapi kini ia sama sekali tidak sanggup untuk mengejar pemuda yang menjadi pusat perhatian di ruang pesta tadi. Di tengah pengejarannya, sebuah kemungkinan tiba-tiba terbersit di benaknya; bagaimana jika dia lebih bahagia tanpaku?

Ia bersandar pada dinding koridor, lalu beringsut duduk. Ia tidak tahu apakah ia harus kembali mengejar atau membiarkan pemuda itu pergi.

Yang penting aku tahu dia baik-baik saja ...

"Sho ..." suara itu, suara yang mirip dengan yang selalu di dengarnya dalam mimpi. Saat ia menoleh, ia bisa melihat pemuda yang dikejarnya tadi, berdiri tidak jauh darinya, memandangnya dengan sorot mata yang tidak bisa Sho deskripsikan apa artinya.

"Beritahu aku namamu," tanpa bangkit, Sho bertanya.

Pemuda itu terdiam, tampak ragu untuk menjawab.

"Kau selalu muncul dalam mimpiku," Sho mengalihkan pandangannya dengan frustasi. "Dan aku selalu terbangun saat kau akan menyebutkan namamu. Kenapa? Apa kau tidak ingin kuingat lagi? Apa kau benar-benar tidak mau lagi bertemu denganku?"

"Sho ..." Sho bisa merasakan pemuda itu mendekat. Ia lantas kembali menoleh padanya. "Maaf-" suaranya tercekat.

"Ren ... Apa kau benar-benar Ren?"

Pemuda itu mengangguk. "Maaf aku tidak berani menemuimu. Bayangan saat kau bersimbah darah, sama sekali tidak bisa kulupakan. Aku benar-benar takut kau akan mati. Aku takut aku menjadi penyebab kematianmu," melihat tubuhnya gemetar, tanpa sadar Sho bangkit untuk menghampirinya. "Aku takut aku tidak bisa melihatmu lagi."

Sho menelisik manik kecoklatan itu. Ketakutan yang menyelimuti Ren selama bertahun-tahun pastilah yang menjadi penyebab kenapa mata itu tidak lagi memancarkan binar yang sama seperti dulu-seperti yang Sho lihat dalam mimpinya setiap malam.

"Aku ada di depanmu sekarang, dan aku hidup," Sho membiarkan satu tangannya berada di pipi Ren, membiarkan pemuda itu merasakan kehangatan tubuhnya.

Ren mengangguk. Air mata yang sedari tadi menggumpal di pelupuk matanya akhirnya jatuh mengalir hingga ikut membasahi tangan Sho. "Sho, terima kasih sudah menyelamatkanku. Terima kasih."

"Aku bersyukur kau baik-baik saja," Sho menurunkan tangannya. "Tapi maaf aku justru membuatmu trauma. Jika saja saat itu aku tidak hanya berniat untuk menyelamatkanmu, tapi juga berusaha agar aku tidak terluka parah, kau pasti tidak akan tersiksa."

"Sho-" suara Ren kembali tercekat.

"Apa yang harus kulakukan untuk menebus rasa bersalah yang menghantuimu? Apa kau ingin aku benar-benar menghilang dari hidupmu?"

Ren menggeleng kuat-kuat. "Jangan. Aku tidak mau!"

"Lalu apa yang kau inginkan?" suara Sho melunak.

***

Namae OshieteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang