~Merhaba, Alia~
Karya Nurul Mawadati
"Imam Syafi'i pernah berkata: Ilmu itu bagaikan hewan buruan, dan menulis adalah pengikatnya"
***
Bagian 1
Hari itu, untuk kesekian kalinya aku melihat senyum sempurna merekah dari bibirnya. Janur kuning telah berkibar. Tratag, meja-meja, juga panggung dekor yang dihiasai bunga-bunga telah dipasang. Beberapa jam menjelang akad. Semua orang sibuk, semua orang berbahagia menyambut pernikahan putri bungsu dari keluarga Kiyai Hamid.
Mulai dari jalan menuju ndalem, dipasang karpet merah yang di sisi kanan kirinya dihiasi dengan bunga-bunga. Panggung menghadap ke gerbang utama, membelakangi ndalem. Di bagian paling depan dibuat miniatur gerbang yang juga dihiasi dengan ornamen bunga. Pernikahan Ning Alia akan menjadi pernikahan terahir dalam keluarga ini. Jadi, semua orang mempersiapkannya dengan baik, dengan sempurna.
"Kang Rozan!" seseorang menepuk pundakku.
Aku menoleh.
"Gus Zaka!" segera kuraih tangan beliau lalu menciumnya. Putra sulung Kiyai Hamid itu merangkulku lalu mengajak duduk di barisan kursi tamu.
"Kapan tekan kene? Wis mau ta, Kang?" tanya beliau.
"Sampun sak untawis, Gus."
Gus Zaka melongok ke kanan kiri. "La mrene karo sopo?"
"Kiambakan mawon, Gus."
Laki-laki dengan kaca mata minus itu terkikik mendengar jawabanku.
"Opo yo ora mboseni, Kang. Perjalanan dari Pati sampai sini ming dewean. Nek ada teman mengobrol kan enak."
Kami berdua terkekeh. Aku tahu yang dimaksud dengan teman mengobrol oleh beliau adalah pendamping. Usia kami beselisih lebih dari sepuluh tahun. Dulu, selama mondok di sini, aku sering didhawuhi mbadali kelas beliau ketika sedang berhalangan. Tidak jarang juga kami menghabiskan waktu bersama untuk motholaah kitab, atu sekadar ngopi di pendopo sambil ngobrol ngalor-ngidul.
"Hehe, pangestune mawon, Gus."
"Sudah tak pangestoni dari dulu, Kang. Tak doakan selalu, wong sampean iki santri kesayangane Abah. Semoga lek ditemoke ya, Kang."
"Aaamiin, Gus. Matursuwun kagem doa-doanya. Semoga segera Allah ijabahkan."
"Iyo, aamiin. Sudah ketemu sama Abah apa belum sampean?"
"Sampun, Gus. Tadi begitu sampai sini saya langsung kepanggih beliau."
"Yo wes, penake, Kang. Saya tak kesana dulu, banyak tamu sing nembe rawuh."
Gus Zaka beranjak dari tempat duduknya, memberikan arahan kepada kang-kang yang laden sebelum berjalan ke arah ndalem. Aku menghela napas pelan. Tidak banyak yang berubah dari pesantren ini, setelah dua tahun lalu aku pamit boyong dan baru sempat sowan lagi ketika bulan syawal, sekitar delapan bulan yang lalu.
Halaman yang luas di depan ndalem kini disulap menjadi gedung pernikahan yang mewah. Aku berniat untuk masuk ke asrama, menemui teman-temanku yang masih berada di sini sekaligus melaksanakan shalat dzuhur. Kulirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Jarum jamnya menunjukkan pukul tiga belas lebih dua puluh menit, hampir setengah dua siang. Perjalanan dari Pati-Kediri memang memakan waktu yang cukup lama.
"Bug!" Seorang gadis kecil menabrakku di dekat gerbang asrama putra.
"Ngapunten.." Katanya, sambil menelangkupkan kedua tangan, mulutnya meringis, memperlihatkan gigi depannya yang ompong.
Aku tersenyum kemudian berjongkok agar sejajar dengannya. "Ning Fida nggih niki?"
Gadis kecil yang rambutnya dikucir separuh itu mengangguk. Bibirnya belepotan karena cokelat, gaun merah muda yang ia pakai pun juga kotor terkena cokelat.
"Dek Fida!" panggil seseorang. Aku segera mendongakkan kepala lalu tersenyum melihat siapa yang datang.
"Ealah, tak cari kemana-mana ternyata malah ndelik di sini. Ayo, ganti baju dulu. Nanti Bulek didukani Umimu nek bajune kotor ngene." Kata perempuan itu sambil menarik tangan Ning Fida, gadis berusia empat tahun yang tidak lain adalah putri kedua Gus Zaka.
"Ngapunten nggih, Kang. Gara-gara Fida, sarung njenengan jadi kotor ketempelan cokelat."
Aku berdiri dan melirik sarungku. Benar, ada noda cokelat yang menempel di sana.
"Mboten king nopo, Ning. Wajar, anak-anak."
"Nggih mpun kulo permisi dulu, ya." Pamitnya sembari tersenyum.
Baru beberapa langkah, seorang mbak ndalem tergopoh-gopoh mendekatinya. "Ning Alia, pangapunten sanget, tadi saya baru ke belakang buat mengambilkan minum Ning Fida, la pas tak toleh kok sudah menghilang Ning Fidanya."
"Wes ora popo, arek iki pancen senenge mlayu-mlayu, seneng dolan, gak gelem anteng. Sampean ambilkan baju ganti buat Dek Fida saja, tak tunggu di pendopo."
"Njenengan ini calon nganten, Ning. Biar saya saja yang mengganti bajunya Ning Fida. Njenengan duduk manis saja di depan."
"Nanti wae, yang di depan itu tamu-tamunya Mas Zaka sama sama Mas Adnan, aku gak kenal. Tur neh ya tadi wis tak salami, wis tak temoni. Aku mau slonjoran sek, pegel."
Aku terkekeh melihat perdebatan kecil itu. Rupanya, bukan hanya pesantren ini yang tidak banyak berubah. Ning Alia pun masih sama. Masih suka ngeyel dan menyayangi anak kecil.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Merhaba Alia (Proses Terbit)
SpiritualDunia Alia berbalik hampir 360 derajat, setelah kematian calon suaminya, tepat satu hari sebelum akad nikah berlangsung. Tidak cukup sampai di situ, abahnya juga menyusul wafat di hari yang sama. Sebelum wafat, Abah sempat berwasiat kepada salah sat...