Bagian 28

832 72 42
                                    

Hai.. hai..
Gimana? Udah siap buat hari ini?
Oke, happy reading..
Keep smile everyone 🥰
***

Sudah tiga minggu sejak Alia keluar dari ruang operasi, namun perempuan itu belum juga sadarkan diri. Tubuhnya dipenuhi dengan alat-alat medis meski operasinya terhitung berhasil.

Alia koma.

Dokter Rian yang menangani Alia sempat menjelaskan panjang lebar mengenai keadaan Alia dengan beberapa istilah medis yang tidak kumengerti. Namun yang bisa kutangkap dari inti penjelasan itu adalah kecilnya harapan untuk Alia sadarkan diri.

Kupegangi tangan lembut Alia yang lemah.

Bangun, Alia.. Bangun ya, Sayang

Saya ingin mendengar tawamu yang renyah lagi

Hampir setiap saat aku mengatakan itu kepada Alia. Namun hingga pagi kembali lagi, harapan itu seolah sia-sia. Aku pasrah.

"Assalamualaikum,"

Aku menoleh saat seseorang mengetuk pintu. Mbak Ratih masuk bersama Mas Zaka.

"Waalaikumsalam, sudah mau pulang, Mas?"

Sejak mendengar kabar bahwa adiknya mengalami kecelakaan, keesokan harinya beliau langsung datang kemari. Mas Adnan dan Mbak Zulfa menyusul malam harinya, sedangkan Mbak Asna dan Mas Ulin baru bisa datang sehari setelahnya. Lima hari sekali mereka bergantian untuk pulang. Aku bersyukur Alia dikelilingi oleh keluarga yang begitu menyayanginya.

"Iya, Fida sakit, Zan. Dia tidak terbiasa ditinggal uminya selama berhari-hari. Biasalah, anak bungsu selalu sedikit manja," terang Mas Zaka.

Aku mengangguk.

"Tapi ini Adnan sama Zulfa sedang dalam perjalanan kemari, kok. Paling satu jam an lagi sampai sini."

"Iya, Mbak. Terima kasih sekali njenengan semua sudah mau repot bolak-balik kemari."

Mbak Ratih tersenyum, matanya menatapku prihatin. "Oh iya, jangan lupa sarapan, ya. Tadi Mbak belikan ramesan di bawah."

Perempuan berjilbab merah muda itu meletakkan sebungkus makanan di atas meja nakas.

"Iya, Zan. Kamu juga harus memerhatikan pola makanmu sendiri. Jangan sampai jatuh sakit."

Melihat Alia dengan kondisi sepert ini membuatku kehilangan nafsu makan. Paling hanya sehari sekali saat makan siang. Itu pun tidak lebih dari lima sendok. Namun apa yang dikatakan Mbak Ratih dan Mas Zaka itu benar. Aku harus tetap sehat.

"Iya, Mbak, Mas. Terima kasih. Nanti pasti saya makan."

"Dihabiskan loh, ya." Jiwa keibuan Mbak Ratih muncul.

"Iya, Mbak." Aku tersenyum mesem.

"Yo wes, kami pamit ya, Zan."

"Iya, Mas. Hati-hati di jalan. Maaf saya tidak bisa mengantar sampai lobi."

Bukan karena alay, lebay, atau bagaimana. Namun aku benar-benar tidak bisa meninggalkan kamar Alia barang sebentar pun. Beberapa hari yang lalu bude juga sempat menyuruhku untuk pulang sekadar istirahat atau mengambil barang, biar beliau yang bergantian jaga, namun aku enggan. Semua keperluanku sudah diurusi Bayu. Bahkan kunci rumah pun kupercayakan padanya.

Mas Zaka dan Mbak Ratih berlalu, menyisakan aku dan Alia di dalam ruangan ini. Aku mendekat ke arah jendela. Di luar hujan rupanya. Rintiknya meninggalkan bercak-bercak bening di kaca jendela. Langit kelabu tanpa cahaya. Aku menghela napas dalam, menatap Alia sebentar, lalu kembali melihat langit.

Merhaba Alia (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang