Bagian 8

558 56 6
                                    

Pukul empat sore. Aku baru saja selesai mandi dan salat asar. Terdengar suara mobil dan sepeda motor yang berdatangan. Kubuka jendela kamar dari lantai dua. Keluarga besar berbondong-bondong memarkirkan kendaraannya. Aku bergegas turun untuk menyambut mereka.

Berbeda dengan ibu, bapak merupakan anak keempat dari enam bersaudara. Jadi, beliau memiliki tiga orang kakak, dan dua orang adik.

"Assalamualaikum,"

"Weleh, uwayune bojone Rozan."

(Cantiknya istrinya Rozan)

"Assalamualaikum, Om Ojan..."

"Owalah, jebule iki ta bojone Rozan."

(Oh, jadi ini istrinya Rozan)

Kalimat itulah yang pertama kali diucapkan keluargaku ketika memasuki rumah. Aku termangu melihat seseorang yang menyambut mereka. Perempuan dengan abaya hitam dan jilbab voal bermotif itu tampak luwes berdiri di ambang pintu, menyalami keluarga besar satu per satu.

"Waalaikumsalam, monggo pinarak, silakan masuk."

Perempuan itu menampilkan senyum terbaiknya.

"Mas, mriki, ta! Ini loh, keluarga njenengan sudah rawuh. Kudune lak malah kulo ta sing dikenalke."

(Harusnya kan malah saya yang dikenalkan)

Dia melambaikan tangan, memberi kode supaya aku mendekat. Aku tersenyum. Darahku berdesir, hatiku berdebar, ah jantungku, rasanya seperti ingin melompat. Dia baru saja memanggilku dengan sebutan "Mas".

"Sugeng rawuh, sedoyo mawon."

(Selamat datang, semuanya)

Aku mempersilakan mereka duduk lesehan di atas karpet permadani. Sejak siang tadi, sofa dan meja di ruang tamu sudah kupinggirkan. Saat ada acara dengan keluarga besar seperti ini memang lebih nyaman duduk lesehan, lebih leluasa untuk bergerak dan santai.

Alia bergegas menuju dapur, membantu Bude Tri menyiapkan jamuan. Bude Tri sudah datang sejak pagi, mempersiapkan semua keperluan, membantu beres-beres. Alia antusias membantu, meski beberapa hal urusan dapur dia masih kesulitan. Maklum, di ndalem Darun Naja dia jarang ewang dapur karena sudah ada mbak-mbak yang mengurus semuanya. Namun di sini, dia tau cara memposisikan diri.

Di depan keluargaku, di bersikap sangat ramah. Perempuan itu benar-benar mengambil perannya sebagai istriku.

"Monggo dikedapi, seadanya nggih," katanya sambil tersenyum, manis sekali.

Dia benar-benar memperlihatkan dirinya sebagai puteri Kiai Hamid yang ramah dan mudah mengakrabi siapa pun. Abah adalah sosok kiai yang disegani, dihargai, juga dihormati. Mungkin darah itu juga mengalir kepada Alia. Itu tampak dari caranya membaur dengan keluarga, meski baru pertama kali bertemu.

"Om Ojan, ini namanya bulik siapa?"

Nabila, anaknya Mas Ma'ruf bertanya kepadaku sambil mengunyah risol. Gadis kecil itu baru berumur lima tahun, baru masuk TK tahun ini. Dia tampak manja di pangkuan Alia. Sudah kubilang, Alia memang perempuan yang menyayangi anak kecil. Jadi tidak heran jika keponakanku yang satu ini langsung lengket dengannya.

"Itu namanya Bulik Alia, sayang," jawabku.

"Oh, Bulik Yaya," katanya santai tanpa menatapku, tangan dan mulutnya masih fokus pada risol.

Alia dengan gemas mencium pipi Nabila. "Kamu kok bikin Bulik gemes, to, Nduk, pengen tak jiwit pipimu, boleh?"

"Emoh, jangan, nanti ndak kempes."

Merhaba Alia (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang