Bagian 13

449 59 8
                                    

Setelah salat dzuhur, aku menepikan mobil di salah satu pusat perbelanjaan Kota Pati. Tidak begitu besar memang, karena di kota ini juga tidak terlalu banyak swalayan. Kebiasaan masyarakatnya lebih sering berbelanja di warung tetangga. Meski demikian, pusat perbelanjaan di Pati tetap ramai pengunjung. Apalagi saat ahir pekan seperti sekarang.

Saat aku memarkirkan mobil tadi, tempat parkirnya sudah hampir penuh. Belum lagi tempat parkir untuk kendaraan roda dua. Sebagian besar pengunjung yang kutemui adalah para remaja dan pasangan muda. Meski ada juga ibu-ibu bersama keluarganya. Ahir pekan memang waktu yang pas untuk menikmati waktu bersama keluarga dan orang-orang tersayang.

"Sampean mau es krim yang rasa apa, Al?" tanyaku sambil melihat daftar menu di sebuah kedai es krim.

"Cokelat vanila."

"Mbak, minta es krim cokelat vanilanya satu, terus sama cokelat originalnya satu ya," kataku kepada mbak-mbak berseragam yang melayani kami.

Pelayan itu mengangguk, lalu menyuruh kami untuk menunggu dengan memberikan nomor meja. Aku mengajak Alia untuk duduk di dekat jendela. Dari sini nampak pemandangan jalan yang ramai kendaraan.

Tidak berapa lama, pelayan itu datang dengan membawa dua mangkuk es krim pesanan kami.

"Mas, tau gak?" tanya Alia sambil menyendok es krimnya.

"Nggak, wong kamu nggak cerita."

"Hiih, lha ini lagi mau cerita."

"Haha.. iya iya, gimana? Ada apa?"

"Waktu saya kuliah di Turki dulu, kalau beli es krim harus sabar banget."

"Antre banyak ya pasti?"

"Kalau antre sih sudah pasti iya, tapi bukan itu masalah utamanya."

"Terus apa?"

"Di sana ada es krim yang khas Turki banget. Namanya Dondurma. Jadi tekstur es krimnya tuh agak pliket, lengket, meh mirip sama permen karet gitu. Tapi mungkin karena itu, jadi es krimnya gak gampang mencair. Uniknya, hampir semua penjual es krim ini tuh jahil. Mereka kalau jualan es krim, mesti banget bawa tongkat panjang."

Alia mengambil jeda, menyuapkan satu sendok es krim ke dalam mulutnya.

"Jadi, setiap ada pembeli, kaya harus dijailin dulu gitu. Gak afdhol nek belum dijailin. Nah, tongkat panjangnya itu jadi alat buat atraksinya. Misal saya lagi tumbas, terus njenengan penjualnya.."

"Nggak, saya gak jualan es krim," kataku, sengaja memotong ceritanya.

"Hiih, ini kan misalnya, Mas."

Alia tampak kesal, namun malah justru ekspresi seperti itu terlihat menggemaskan bagiku. Aku terkekeh. "Iya, terus gimana?"

"Njenengan kan penjualnya nih, terus njenengan ngasih saya cone es krim kosongan buat saya pegang. Kalau sewajarnya di Indonesia, kan tinggal diisiin aja terus udah, kan? Tapi di sana enggak, Mas. Jadi kalau saya udah pegang cone es krimnya, nanti yang jual itu bakal beratraksi dengan cara ngisiin es krimnya, tapi diambil lagi, diputer-puterke dulu. Gitu terus sampai berkali-kali. Kadang saya sampe gergeten sama yang jual. Tapi saya juga salut loh sama mereka. Kok bisa ya punya skill cepet kaya gitu. Beli es krim serasa nonton sirkus."

Aku menyimak cerita Alia sambil sesekali menyendokkan es krim ke dalam mulut, merasai manis dan dinginnya yang menyatu. Aku senang mendengarnya bercerita sederhana seperti ini. Aku juga senang melihat bagaimana dia bercerita. Antusias dan ekspresinya saat bercerita membuatku tidak bisa memalingkan pandanganku darinya.

Merhaba Alia (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang