Pukul setengah sebelas siang.
Lenganku terasa pegal setelah lebih dari tiga jam dijadikan bantal oleh Alia, dan dia belum juga bangun. Mungkin efek obat tidur yang diberikan dokter begitu ampuh sehingga membuatnya terlelap dengan pulas.
Selama Alia tidur, aku tidak bosan memandangi wajahnya. Bahkan gadis itu terlihat jauh lebih cantik saat sedang terlelap. Berkali-kali kuusap kepalanya sambil berdzikir, membaca doa apa saja yang kubisa. Aku tahu, Allah memahami segala bahasa ciptaan-Nya. Untuk saat ini, aku tidak memiliki permintaan yang muluk-muluk. Hanya ingin Allah menjaga Alia agar tetap sehat.
Aku tidak tega melihat Alia merintih kesakitan seperti semalam. Jika bisa bertukar tubuh, maka aku akan memilih menggantikan Alia, daripada harus melihatnya kesakitan. Tapi saat ini, sepertinya kondisi Alia semakin membaik.
Hp ku berdering di atas meja nakas, sebuah panggilan masuk. Pelan-pelan aku menggeser kepala Alia, mengganti lenganku dengan bantal rumah sakit.
"Assalamualaikum," sapaku membuka percakapan di telepon sambil berjalan keluar kamar, takut suaraku akan membangunkan Alia.
"Waalaikumsalam warahmatullah," jawab Pak Rahmat di ujung telepon.
"Ada apa, Pak?" Aku menutup pintu kamar dengan hati-hati lalu berjalan menuju jendela di ujung lorong. Dari sini, pemandangan kecamatan Margoyoso terlihat jelas.
"Njenengan lagi di mana, Mas? Begini, saya mau minta tolong, ada dokumen sekolah yang harus diurus di pusat kota. Kebetulan hari ini saya masih di Rembang, kemungkinan pulangnya nanti sore. Njenengan bisa ke pusat kota hari ini?"
Pak Rahmat adalah wakil kepala kurikulum di Madrasah Aliyah. Sebagai waka kurikulum tentu saja beliau sibuk dan sering dinas luar kota. Biasanya jika beliau sedang berhalangan, maka aku yang sering menggantikan tugas beliau. Tapi kali ini tentu saja aku tidak bisa. Sepenting apa pun pekerjaan, aku tidak bisa meninggalkan Alia sendirian di rumah sakit.
"Mohon maaf Pak Rahmat, hari ini sampai beberapa hari ke depan saya izin tidak masuk kerja karena harus menemani istri di rumah sakit. Jadi untuk beberapa hari ini saya belum bisa menggantikan tugas njenengan, Pak."
"Owalah, ya sudah nanti saya tak minta tolong ke guru yang lain saja kalau begitu."
"Nggih, Pak. Sekali lagi saya mohon maaf."
"Ya, nggak popo. Istrinya sakit apa, Mas?"
"Tadi kata dokter asam lambungnya naik, Pak."
"Ya sudah, semoga istrinya cepat sembuh ya, Mas. Assalamualaikum.."
"Nggih, Pak. Terima kasih. Waalaikumsalam.."
Klik.
Telepon kumatikan, lalu aku kembali ke kamar Alia. Saat aku memasuki ruangannya, kulihat Alia sudah membuka mata. Dia tersenyum melihat kedatanganku.
"Sudah bangun?" tanyaku sambil menutup pintu.
Dia hanya mengangguk kecil sambil berusaha duduk.
Aku bergegas membantunya, menyiapkan bantal untuk sandaran. "Kalau masih lemes mending buat tiduran aja nggak papa."
"Tiduran terus pusing, Mas. Lagian saya juga udah sehat, kok."
"Ya kan memang harus bedrest, sayang."
Muka Alia selalu memerah setiap kali aku memanggilnya demikian. Aku sendiri pun heran mengapa aku begitu memiliki keberanian seperti ini, meski awalnya terasa canggung dan aneh. Namun rasanya senang saja melihat wajah Alia yang bersemu merah, seperti waktu Rasulullah melihat Sayyidati Aisyah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merhaba Alia (Proses Terbit)
EspiritualDunia Alia berbalik hampir 360 derajat, setelah kematian calon suaminya, tepat satu hari sebelum akad nikah berlangsung. Tidak cukup sampai di situ, abahnya juga menyusul wafat di hari yang sama. Sebelum wafat, Abah sempat berwasiat kepada salah sat...