Bagian 21

448 59 19
                                    

Mungkin dia memang bukan laki-laki yang aku mau

Namun, dalam dirinya, surgaku bersemayam

***

Sejak kemarin sore, aku keluar kamar hanya untuk makan dan ke kamar mandi. Semalam, ada teman Kang Rozan datang. Pagi tadi, sepertinya salah satu keluarga Kang Rozan berkunjung, dari suaranya yang kudengar dari kamar sepertinya beliau seorang perempuan paruh baya.

Aku ingin keluar dan memberi salam, tapi "pertapaanku" belum selesai.Siang ini, bakda salat dzuhur, aku telah menyelesaikan "pertapaanku" yang kututup dengan doa panjang. Mengirim doa untuk abah, untuk ibu, untuk Mas Nizam, juga memanjatkan doa untuk kebaikan rumah tanggaku bersama Kang Rozan. Tidak ada senjata lain yang kupunya selain doa.

Aku membuka kulkas dan lemari makanan. Ada satu toples kecil berisi kacang almond di dalam lemari makanan. Baklava Roll. Makanan khas Turki itulah yang pertama kali muncul di pikiranku. Aku membuka youtube dan mencari tutorial membuat makanan khas negara itu. Jika dilihat, sepertinya tidak terlalu sulit untuk membuatnya. Aku mencari-cari bahan pendukung untuk membuat Baklava Roll, tapi tidak kutemukan.Hanya ada sebungkus gandum, dan beberapa sayuran di dalam kulkas. Ah, sepertinya lebih tepat membuat bakwan daripada Baklava.

Sebenarnya, jika ditanya aku bisa memasak atau tidak, aku akan langsung menggelengkan kepala. Tapi, akan kucoba untuk kali ini.Tidak bisa memasak bukan berarti aku tidak pernah belajar sama sekali. Aku pernah beberapa kali belajar bersama mbak-mbak di dapur ndalem. Membuat mendoan, bakwan, juga menggoreng telur. Pernah juga belajar membuat pisang gulung yang ditaburi tepung roti, tapi hasilnya gosong.

Aku mengingat-ingat bumbu resep untuk membuat adonan bakwan. Seingatku, hanya perlu bawang putih dan garam, lalu ditumbuk. Ah, ya, ketumbar. Mbak Siti –mbak ndalem yang mengajariku memeasak- pernah memberitahuku untuk menambahkan ketumbar saat membuat adonan. Kupandangi botol kecil-kecil yang berisi bumbu dapur. Tidak ada tulisan di sana. Aku tidak bisa membedakan mana ketumbar, merica, atau kemiri.

Kucoba menelpon Mbak Siti, tapi tidak diangkat. Lama kupandangi ketiga botol itu, lalu tanganku mantap mengambil botol kecil yang berisi butiran bumbu dengan ukuran sedang. Tidak terlalu kecil, juga tidak begitu besar.Mataku menyapu sekeliling. Tidak ada blander, atau mungkin aku tidak tahu dimana Kang Rozan menyimpannya. Aku menumbuk bumbu-bumbu itu di atas cobek batu.

Entah memang sulit, atau aku yang tidak tahu tekniknya. Namun, setiap kali aku mencoba menumbuk bawang putih, malah justru bawang-bawang itu meloncat keluar, outside. Belum lagi saat aku menuangkan adonan ke dalam wajan, tumpah kemana-mana.Ya Allah, sesulit inikah belajar memasak? Aku hanya ingin memulai kehidupan baruku dengan baik.

Aku sudah menata niat dan mencoba ikhlas dengan apa yang telah Allah takdirkan. Rasanya lelah berharap kepada sesuatu yang nantinya hal itu akan melenceng jauh dengan kehendak-Nya.

Aku belum terbiasa melakukan segala sesuatu sendiri. Di rumah Kang Rozan, tidak ada mbak-mbak atau kang-kang ndalem seperti di Darun Naja. Sepertinya, dia juga tidak mempekerjakan asisten rumah tangga. Kang Rozan merawat rumah sebesar ini sendiri.

Kupandangi kondisi dapur yang berantakan. Gamis twill yang kupakai sudah belepotan dengan adonan. Sisa potongan wortel dan kubis belum sempat kubereskan. Aku mengambil piring, lalu menata bakwan yang sudah kutiriskan sebelum mencelupkan adonan ke dalam wajan lagi.

"Ning." Seseorang memanggilku.

Aku menoleh. Kang Rozan sudah berdiri di samping meja makan. Wajahnya kusut, rambutnya berantakan. Kemeja batik yang ia kenakan pun sudah tidak rapih.

Merhaba Alia (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang