"Di mana Kang Rozan?" Gus Ulin datang dengan wajah memerah. Ia mengernyitkan dahi, menatap sekeliling. Aku yang sedang mencuci gelas segera berdiri, mengelap tanganku dengan kain.
"Dospundi, Gus?"
"Meluo aku saiki, Kang." Katanya cukup lantang, membuat seisi dapur tertunduk.
"Wonten nopo?" Aku tergopoh-gopoh membenarkan kacing lengan.
Gus Ulin tidak menjawab, beliau segera berbalik dan berjalan dengan tergesa. Aku mengekorinya dengan perasaan tidak enak. Langkah kakinya memasuki ndalem, menuju kamar Abah. Di dalam ruangan itu, Abah terbaring. Seluruh putra dan menantu beliau berkumpul. Kulihat Ning Alia sesenggukan di samping tempat tidur. Tanganya terus memegangi Abah. Mbak Ratih, istri Gus Zaka memeluknya dari samping. Beliau juga sama terisaknya.
"Niki Kang Rozane, Bah." Gus Ulin menyuruhku untuk mendekat ke tempat tidur. Aku menurut, lalu bersimpuh di samping tempat tidur Abah. Di sebelahku, Gus Zaka sedang melepas kaca mata, berusaha menghapus air mata.
Situasi di ruangan ini cukup mencekam. Semua terlihat sedih, namun juga tegang. Abah meliriku pelan. "Abah membesarkan Alia dengan penuh cinta, berperan sebagai ayah sekaligus menjadi seorang ibu. Meski tanpa Umi, namun dia tetap mendapat kasih sayang yang melimpah. Mungkin karena itu, menjadikan dia sedikit manja dan kekanakan."
Abah mengambil napas panjang.
"Kang Rozan.. Jika menurut sampean iki becik, tolong nikahi Alia."
Deg. Mataku terbelalak mendengar kalimat itu. Aku menatap Gus Zaka, meminta penjelasan dari kalimat Abah. Beliau membisikan beberapa kalimat yang membuatku semakin tercengang. Mas Nizam, calon suami Ning Alia, mengalami kecelakaan saat pulang dari ziarah makam simbahnya, nyawanya tidak tertolong.
Kabar itu membuat Ning Alia terpuruk, juga membuat Abah terkejut sehingga menyerang jantung beliau. Aku baru tahu kalau ternyata Abah punya riwayat sakit jantung.
"Bah, Alia sedang berduka dengan kepergian Mas Nizam. Tidak etis jika Alia menikah secepat ini. Bagaimana respon keluarga Mas Nizam nantinya, Bah?" Dalam isaknya, Ning Alia menyangkal keinginan Abah.
Abah, Kiyai sepuh itu menatap langit-langit kamar.
"Jodoh, rejeki, dan mati itu hanya Allah yang tahu. Abah paham, sekarang ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan hal ini. Tapi, waktu Abah untuk mendampingi kamu sudah tidak lama lagi. Abah akan pulang dengan tenang, jika melihat kamu sudah berada di tangan laki-laki yang tepat."
Semua orang terdiam. Tidak ada yang bersuara, kecuali isak tangis Ning Alia yang semakin menjadi. Mbak Ratih berusaha menenangkan, meski air matanya sendiri terus mengalir.
"Tapi, Bah.. Ini bahkan belum berganti hari." Wajah Ning Alia semakin pias, perempuan itu masih mencoba menolak.
Abah mengusap kepala Ning Alia.
"Selama ini, Abah ora tau mekso awakmu, Nduk. Bahkan, saat ini pun Abah juga tidak ingin memaksa. Tapi, di dunia ini, rencana manusia terkadang berbanding terbalik dengan rencana Allah. Abah hanya ingin kamu memahami satu hal, bahwa Allah selalu mengirim takdir terbaik gawe awakmu. Selebihnya, sampean putuskan sendiri." Kalimat Abah terdengar berat, napasnya pendek-pendek.
"Alia, birrul waliddain iku kunci gawe uripmu berkah." Gus Zaka bersuara, beliau kembali melepas kaca matanya.
Kulirik sekilas, gadis bermata cokelat itu tidak lagi terisak, namun tubuhnya mulai lemas. Ia menangis tanpa suara dalam pelukan Mbak Ratih.
"Menurut sampean kepie, Kang?" Abah menanyaiku.
Aku semakin menunduk, kurasakan seluruh tubuhku yang mulai dingin. Aku teringat saat terahir sebelum Bapak kapundhut, dua tahun lalu. Pesan terahir Bapak adalah untuk selalu mengutamakan ridho guru, ridho kiyai, sami'na waatho'na.
Perasaanku berkecamuk, aku tidak bisa berpikir logis.
"Kulo nderek kersane Abah." Ahirnya, kalimat itulah yang berhasil keluar dari mulutku. Entah apa yang akan terjadi nanti, aku sedang berusaha mengikuti pesan Bapak.
"Alia iku areke pancen rodo manja, Kang. Tapi sebenarnya hatinya lembut, persis koyo umine. Abah mung pesen siji karo awakmu, dadio bojo sing sabar kanggo Alia." Abah kembali menarik napas panjang, kemudian menatap Ning Alia. "Saiki gari awakmu, Nduk. Kepie?
Perempuan bermata cokelat itu mengangguk tanpa bersuara. Mbak Ratih semakin dalam memeluknya.
"Mas Zaka, Abah titip pesantren ini kanggo awakmu, ya. Ojo dadi wong gumede, sing sayang karo wong cilik, sing grapyak karo tonggo teparo. Mas Adnan, ojo bosen-bosen ngancani Zulfa nggedeke pondok. Kanggo Ulin, ojo pisan-pisan nolak santri, opo meneh wong cilik. Alia, manuto karo bojomu, ojo pisan-pisan wani, duso gede. Awak dewe ora ngerti dungone sopo sing dimirengke Gusti Allah. Awakmu kabeh kudu dungo-dinungo, ojo gampang srei, ojo gampang meri. Sing podo rukun."
Abah menarik napas panjang sekali lagi.
"Abah wis ditimbali, wis wayahe kondur.. asyhadu anla ilahaillallah wa asyhadu anna muhammadan rasulullah.."
Setelah itu, tidak ada suara yang keluar dari mulut beliau. Abah kapundut.
***
Assalamualaikum semuanya..
sampai part 25 nanti insyaallah bakalan update setiap hari, doakan semoga tidak ada kendala, ya :)
salam sayang dari jauh buat seluruh pembaca ;)
KAMU SEDANG MEMBACA
Merhaba Alia (Proses Terbit)
DuchoweDunia Alia berbalik hampir 360 derajat, setelah kematian calon suaminya, tepat satu hari sebelum akad nikah berlangsung. Tidak cukup sampai di situ, abahnya juga menyusul wafat di hari yang sama. Sebelum wafat, Abah sempat berwasiat kepada salah sat...