Bagian 11

488 53 3
                                    

Pagi-pagi sekali, aku telah memanasi mesin mobil. Hari ini aku akan pergi ke dinas pendidikan mengurus akreditasi sekolah. Semalam aku meminta salah satu karyawan di sekolah untuk menemani. Tidak mungkin aku pergi hanya berdua saja dengan Fina, itu akan menambah gosip miring, juga akan menimbulkan fitnah.

"Tumben manasin mobil, Mas. Mau tindakan kemana?" tanya Alia sepulang dari warung Yu Ibah, tangannya menjinjing tas kresek kecil.

Kumatikan mesin mobil. "Oh ini, mau persiapan untuk akreditasi sekolah, ada beberapa berkas yang harus diurus langsung ke dinas pendidikan di kota."

"Oh.." Dia hanya ber-oh pelan lalu melenggang masuk. Perempuan itu bahkan tidak bertanya aku akan pergi dengan siapa dan berapa lama. Aku mengikutinya masuk ke dalam rumah untuk sarapan.

Alia menuang oseng kangkung ke dalam mangkuk, lalu menata lauk di atas piring ceper. "Kalau di kota, ada swalayan gak, Mas?" tanyanya sambil menyodorkan piring kepadaku.

"Mall?"

"Enggih.."

"Ada, tapi tidak begitu besar. Kamu mau titip sesuatu? Atau kangen jajanan mall? Nanti tak beliin."

Alia menggeleng. "Mboten, besok saja kapan-kapan tak kesana sendiri. Njenengan mesti gak paham keperluan perempuan, hehe.."

"Owalah, di warung tetangga gak enten, ta?"

"Mboten, karena ada beberapa produk yang gak dijual di pasar, hanya ada di swalayan saja."

"Ya sudah, besok tak anter kalau mau belanja."

Perempuan itu tersenyum, wajahnya sumringah. "Ahir pekan ini, ya?"

Aku mengangguk sambil menuang nasi. "Sekalian temenin saya kondangan, ya."

"Boleh, kondangan ke nikahan siapa?"

"Ke pernikahan Gus Ali sama Ning Nana, sampean tepang?"

(Kamu kenal?)

Alia menggeleng.

"Itu loh, putrane rencange Abah, Pak Yai Musthofa."

Alia tampak berfikir sejenak. "Masyaallah, Mbak Nana putrine Pak Yai Musthofa? Walah, nek Mbak Nana yang ini ya saya kenal. Dulu sering ketemu waktu kecil, Abahnya sering ngajak Mbak Nana kalau sedang berkunjung ke Darun Naja. Tapi setelah besar, kami hanya beberapa kali ketemu. Njenengan kok bisa tepang?"

"Dulu saya sering ndereke Abah kalau tindakan kemana-mana, termasuk ke pesantrennya Yai Musthofa. Jadi beliau juga sudah hafal kalau sama saya. Kemarin dapet undangan langsung dari supir beliau, Kang Maskur, yang juga sudah akrab dengan saya."

"Oh, nanti saya tak ngabari Mbak Ratih ah, siapa tau juga dapet undangan, kan bisa ketemu di sana." Alia menuangkan telur dadar di atas piringku

"Maturnuwun," ujarku, lalu melahpnya bersama nasi putih dan oseng kangkung.

***

Memasuki waktu dzuhur, aku menepikan mobil di depan sebuah masjid. Beberapa berkas yang diperlukan untuk akreditasi sudah mendapat persetujuan dari dinas, itu membuatku sedikit lega. Meskipun ini baru tahap awal, tentunya setelah ini masih banyak lagi dokumen-dokumen yang perlu digarap. Menjadi tenaga pendidik itu memang bukan sebuah perkara yang mudah, namun juga tidak begitu sulit. Hanya butuh keikhlasan dan dedikasi yang besar dalam menjalaninya.

Kini aku paham mengapa doa guru itu selalu ijabah, ridhonya selalu membawa barokah. Karena dalam setiap tetes keringatnya yang mengalir terhitung fisabilillah. Perjuangan dan jasanya tidak akan pernah bisa dibalas meski dengan permata, berlian, bahkan dunia dan segala isinya.

Merhaba Alia (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang