Bagian 7

580 55 7
                                    

Perempuan diciptakan dengan perasaan yang jauh lebih lembut daripada laki-laki. Karena itulah, mereka pantas untuk dimuliakan.

~M Rozan Khasbullah~

***

Aku pulang sedikit terlambat hari ini. Biasanya sebelum asar aku sudah sampai rumah. namun kali ini, hampir setengah lima sore aku baru saja keluar dari sekolah. Banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan di sekolah. Mengoreksi, memasukkan nilai, belum lagi persiapan untuk Penilaian Tengah Semester.

Aku mengajar di sebuah Madrasah Aliyah swasta, pelajaran fiqh dan ahlak. Sebagai seseorang yang hanya tamatan SMA, sebenarnya aku tidak memiliki kualifikasi yang baik sebagai guru. Namun, Pak Praptio -kepala sekolah- datang langsung ke rumah saat memintaku mengajar di tempat ini.

"Sampean ini lulusan pesantren, Kang. Kalau hanya mengajar fiqh dan ahlak pasti sudah paham, wes nglothok. Sekolah formal memang membutuhkan guru dengan pendidikan tinggi. Namun di samping itu, kami juga membutuhkan guru yang hebat, yang bisa mendidik siswa menjadi generasi yang tidak hanya cerdas, namun juga paham agama. Guru yang pintar itu buanyak, Kang. Tapi , guru yang hebat itu, langka."

Menjadi guru itu tidak hanya sebatas digugu lan ditiru. Melainkan bagaimana mendidik generasi yang berintelektual, namun tetap berada pada jalur agama. Jaman sekarang, banyak orang-orang pinter, berpendidikan tinggi, namun belum tentu bener. Koruptor, juga lahir dari orang yang pinter, tapi ora bener dalam memanfaatkan ilmunya.

"Assalamualaikum..." Aku membuka pintu rumah. Pandanganku langsung tertuju pada pintu kamar Ning Alia yang sudah terbuka.

Kuletakkan tas di atas sofa, lalu perlahan melangkah menuju kamarnya. Belum sampai di depan kamarnya, aku dibuat tertegun dengan seorang perempuan bergamis twil warna biru muda yang sedang berdiri menghadap kompor. Tangannya maju mundur ketika mencelupkan adonan ke dalam wajan.

"Ning," sapaku.

Ia membalikkan badan, lalu meringis melihatku. "Njenengan sudah pulang, Kang?"

"Sudah, baru saja. Njenengan sedang apa di dapur?"

"Oh, ini. Tadinya saya pengen buat Baklava Roll, salah satu makanan khas Turki. Tapi ternyata bahannya kurang. Jadi, ahirnya saya bikin bakwan, makanan asli Indonesia, hehe.."

Aku meringis mengamati kondisi dapur yang berantakan. Potongan kubis, daun bawang, dan wortel yang berceceran. Belum lagi kompor yang terkena tumpahan adonan.

"Ah, iya, maaf, dapurnya jadi berantakan. Setelah ini saya beresin," katanya sembari mengambil gelas, menuangkan teh hangat, lalu menaruhnya di atas meja. "Ini tehnya, Kang. Silakan diminum."

Aku duduk di meja makan, menyeruput teh buatannya sambil terus merasa heran. Apa yang membuatnya bisa bersikap hangat seperti ini?

"Ini bakwannya, boleh dicicipi." Perempuan dengan mata cokelat itu menyodorkan sepiring bakwan hangat, lalu duduk berhadapan denganku.

Kulihat bentuk bakwannya yang cukup "estetik" dengan warna kuning kecoklatan, mungkin jika telat sebentar saja di atas penggorengan, akan berubah warna menjadi cokelat kehitaman, gosong.

Aku mencoba bakwan buatannya, lalu berhenti di gigitan pertama. Ada yang janggal, atau memang tekstur bakwan kini sudah berubah. Kurasai kunyahan demi kunyahan, seperti ada kerikil di dalamnya, tapi rasanya pedas ketika aku menggigitnya.

'Merica,' pekikku dalam hati.

"Bagaimana rasanya, Kang? Enak? Tadi adonane tak kasih tumbar. Kata Mbak ndalem di Darun Naja, kalau bikin goreng-gorengan lebih enak dikasih tumbar, supaya lebih gurih."

Merhaba Alia (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang