Bagian 12

456 54 11
                                    

Hari Ahad pagi.

Ketika aku menuruni tangga, Alia telah siap memakai abaya hitam dengan hiasan payet dibagian tengah. Gamis itu terlihat simple, tapi elegan. Warna hitamnya sama dengan kemeja yang hendak kukenakan.

Aku termangu di ujung tangga. Alia tampak cantik meski tanpa make up tebal. Alisnya rapi natural, pipinya merona alami tanpa blush on. Bulu matanya lentik, ditambah lagi ia membubuhkan celak hitam di bagian bawah matanya. Bibirnya dipoles lipstik berwarna orange kecokelatan Ya, wajah perempuan ini memiliki kemiripan dengan Alia Bhatt, salah satu artis India yang sering ditonton Bayu.

"Mas," panggilnya.

Aku tersadar dari lamunanku. "Eh, iya, dalem."

"Sudah siap?"

"Oh, iya, sudah."

"Loh, kemejane nggak diagem, ta?"

Aku mengernyitkan dahil lalu menyadari bahwa tubuhku hanya dibalut kaus putih polos dan sarung cokelat tua. "Oh, iya, tadi kemejanya sudah tak seterika, tapi biar nggak nglinting pas di jalan, makanya tak hanger dulu," jawabku sambil mengangkat kemeja hitam yang sudah kugantung pada hanger.

Ia terkekeh. "Masyaallah.. ngalahin saya yang perempuan ya jebule," katanya sambil melangkah keluar.

"Ya nggak gitu juga, masalahnya kalau nyetir mobil itu nanti bajune mesti leh kusut, nggak rapi."

Alia hanya menanggapi dengan senyum kecil, lalu bergegas keluar.

Aku menutup pintu kamar Alia sebelum keluar rumah. Saat hendak menutup pintu, mataku tidak sengaja menatap gulungan kertas di dekat tempat sampah. Aku mengambilnya, mungkin kertas itu meleset saat Alia ingin membuangnya ke tempat sampah. Namun, entah mengapa, aku malah penasaran dan membuka gulungan kertas itu.

Rupanya itu bukan hanya kertas biasa, melainkan dua tiket liburan bulan madu ke Turki yang telah hangus, Atas nama Alia dan Nizam. Lalu di atas meja rias, aku melihat sebuah buku catatan bersampul bangunan Haghia Sophia. Mungkin saja itu buku catatan pribadi milik Alia. Aku sempat memiliki niat untuk membukanya, namun segera kuurungkan. Meskipun sudah sah menjadi suami istri, namun kami masih memiliki ruang privasi masing-masing.

Aku memutuskan untuk menutup pintu kamar Alia, lalu bergegas mengunci pintu rumah. Alia menyapaku dengan senyum yang hangat saat aku memasuki mobil. Aku membalasanya dengan senyum tipis, lalu menyalakan mesin mobil. Innova yang kami tumpangi melaju meninggalkan Margoyoso, menuju Pesantren Bulu.

Selama perjalanan, aku lebih banyak diam. Darahku seolah mendidih, tubuhku terasa gerah. Kunaikkan peci hingga ke atas jidat lalu menyalakan AC. Ada perasaan aneh yang tidak bisa kumengerti. Cemburukah aku? Masyaallah. Aku mengibaskan kaus berkali-kali. Meski AC mobil sudah kunyalakan, namun tubuhku masih terasa gerah. Sebentar, sebenarnya bukan tubuhku, melainkan hatiku.

Ah, mengapa juga aku cemburu? Bodoh jika aku merasa cemburu hanya karena gulungan kertas yang sudah nyaris masuk ke tempat sampah.

"Mas!" Alia menepuk lenganku, membuatku menoleh.

"Ya?"

"Njenengan ini lagi mikirin apa, ta? Dari tadi ta panggil kok gak denger."

"Oh, iya, maaf. Ada apa?"

"Saya kedinginan, AC mobilnya bisa dikecilin sedikit?"

Aku tersadar bahwa suhu di dalam mobil ini terlalu dingin. Karena perasaanku yang sedang tidak keruan membuatku lupa bahwa ada orang lain di dalam mobil ini.

"Maaf, tadi saya kepikiran sama nilai ulangan anak-anak, jadi tidak terlalu fokus," kataku mencari alibi sekenanya.

"Oh.." Alia hanya ber-oh pelan tanpa melihatku.

Merhaba Alia (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang