Chapter 23

4 1 0
                                    


JAKARTA memang terkenal sebagai daerah metropolitan yang tentu saja memiliki ciri khas tersendiri. Terlepas dari kecanggihan dan perkembangan infrastruktur yang cepat, wilayah Ibu Kota ini banyak kedapatan fasilitas yang hadir untuk memudahkan masyarakat dengan memanfaatkan berbagai kecanggihan teknologi yang ada.

Kehidupan di Jakarta akrab kaitannya dipenuhi dengan gedung-gedung pencakar langit yang berlomba-lomba dalam kemajuan dunia bisnis dan ekonomi, mall yang bertebaran di berbagai lokasi strategis serta perkantoran yang dilengkapi dengan fasilitas memadai. Walau demikian, Jakarta masih belum bisa melepaskan diri dari permasalahan kemacetan.

Debu, polusi, serta kendaraan yang tidak menaati peraturan, sudah menjadi langganan umum di Jakarta. Meskipun saat ini pemerintah telah berusaha agar mengatasi kemacetan dengan memperbaiki dan melengkapi kebutuhan alat transportasi umum yang nyaman untuk masyarakat Jakarta, tetap saja wilayah di Ibu Kota hingga kini tidak luput dari kemacetan.

Seperti halnya Jalan menuju Rumah Sakit Gatot Subroto yang seharusnya mampu ditempuh dengan durasi 39 menit, jadi molor hingga satu jam lamanya. Bahkan kemungkinan saja bisa lebih lama dari waktu itu.

Jalan Tol Cililitan 2 dipenuhi dengan antrean kendaraan roda empat. Belum lagi katanya di pertengahan tol, terjadi tabrakan beruntun. Sehingga mau tak mau Alister harus menunggu dengan sabar perjalanannya yang bisa tertunda lebih lama.

Alister membunuh kebosanan dalam mobil yang dikendarai oleh Andrean dengan memainkan gawai. Matanya tak sengaja—walaupun harus dia akui kalau diam-diam—dia mengamati status online-tidaknya sosial media Kyra di platform gelembung telepon hijau.

Muka Alister berbinar cerah ketika mendapati kalau-kalau Kyra baru saja memposting salah satu kegiatannya. Artinya dia sedang memegang ponsel, kan? Tanpa basa-basi lagi, Alister menekan fitur telepon pada aplikasi yang menyerupai gagang telepon tersebut.

Setelah pertanda bunyi kalau gawai mereka terhubung, Alister menantikan suara Kyra terdengar jelas. Namun, hingg beberapa menit berselang, sama sekali tidak ada suara dari Kyra. Selain itu, keadaan di sekitar Kyra juga sepertinya terlalu hening.

“Bocil?” tanya Alister memastikan.

Senyap. Alister mengalihkan pandangannya pada gawai. Layar sebesar 6,7 inci itu berkedip-kedip. Status panggilan yang masih terhubung terpampang jelas, bar jaringannya pun menunjukkan tanda-tanda kalau jaringannya tidak bermasalah. Namun, tidak biasanya Kyra yang kerap beradu mulut dengannya sama sekali tidak menyahuti panggilannya.

Alister menggenggam ponselnya kuat-kuat. Giginya silih menggemeletuk. “Heh, Bocil, jangan main-main. Gue bisa aja ngelakuin yang buat lo nyesel nantinya. Lo mau emang, huh?”

Ancaman tak berarti dari Alister sama sekali tidak mendapatkan respons apa pun. Hanya keheningan yang didapatkan meskipun sambungan telepon mereka terhubung. Dia mengernyitkan kening.

Rasa penasaran sekaligus geram, menggulung menjadi satu. Namun, Alister lebih dulu memutuskan panggilan mereka secara sepihak. Dia mengembuskan napas panjang, menahan diri untuk tidak memaki-maki.

“Gadis konyol ini.” Rupanya rasa dongkol akibat perempuan yang umurnya berada setahun lebih muda darinya, sukses saja membuat Alister tidak memenuhi nazarnya barusan. Alister seolah diingatkan kalau mulutnya hnaya disetel untuk menggerutui orang-orang yang membuatnya kesal.

1825 [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang