Chapter 21

3 1 0
                                    

1825 : dahina
(n) (kl) (siang) hari
Masa lalu bukan seharusnya dilupakan, cukup dikenang sebagai pengalaman.

TIAP kali Kyra menutup matanya—saat dalam keadaan tidak mengantuk, misalnya—dia cenderung akan mendapati dirinya tengah merenung. Kilas-balik masa lalu yang sebetulnya tidak ingin dia ingat kembali, sering kali muncul menghantuinya.

Kenangan yang muncul itu seakan-akan menggerogoti jiwanya hingga membuat tubuh Kyra menjadi lemah. Bahkan, bisa berimbas hingga membuatnya mimisan. Kyra berakhir dengan napas tak beraturan dan ritme jantung yang kurang normal. Dia pun menyeka beberapa keringat dingin yang sudah mencuat ke permukaan kulitnya.

Akhir-akhir ini, bersamaan dengan rasa sakit kepala yang kerap menimpanya, bukan hanya sekedar dampak dari kegiatan dalam belajar saja, melainkan karena pikirnya yang bercabang akibat sebuah paket misterius berupa lembaran tentang identitasnya—tanpa nama pengirim—yang akan datang bersamaan dengan sepucuk surat yang berisi beberapa potret masa kecilnya.

Gambar yang selalu tidak lebih dari sepuluh buah tiap amplopnya, kini terlihat diambil dari dekat. Seakan-akan orang yang memotretnya selalu ada di dekat Kyra tiap kali mengabadikan momen yang dia lalui.  Mengingat hal itu,  Kyra merasa lehernya jadi merinding. Tampaknya dia sudah diamati sejak lama. Fakta demikian membuatnya gelisah.

Mata Kyra bergerak tegang. Dia melirik ke arah luar jendela, takut-takut ada juru foto yang sembarangan mengambil potretnya di sini. Jika iya, maka habis sudah. Dia sepertinya tidak akan bernapas dengan tenang karena tidak memiliki ruang privasi.

Haruskah aku memberitahukan kepada Papa tentang ini? Kyra lalu menggeleng. Pemikiran tersebut dirasa bukanlah pilihan yang bijak. “A..., tidak-tidak. Sebaiknya, aku diam saja dulu. Selagi mereka belum menunjukkan tanda-tanda yang bisa mengancam nyawa, aku lebih baik tutup mulut dulu,” gumam Kyra.

Lagi pula, Papa pasti punya banyak hal yang mesti diurus. Aku lebih baik nggak menambah bebannya.

Kyra menggenggam foto di tangannya dengan erat, kemudian tersenyum miris kala mengingat statusnya di dalam keluarga Bachtiar. “Kak Ali benar, aku harusnya lebih sadar diri.”

“Hayo, lagi lihatin surat-surat dari fans Kakak-kakak kamu itu, ya?” Hana tahu-tahu ikut duduk di samping Kyra. Saat dirinya hendak melirik surat yang tengah Kyra baca--seperti surat-surat ssebelumnya--Kyra malah menarik tangannya. Tidak seperti kebiasaannya. Kyra menyembunyikan lembaran surat berisi potret dirinya ke belakang punggung.

Hana merengut kecewa, tetapi tidak memaksa Kyra untuk menunjukkan surat yang tengah disembunyikan oleh gadis itu. “Tumben dirahasiain gitu, nggak kayak biasanya. Tapi, ya udahlah.” Hana mengedikkan bahunya, seolah tampak tidak terpengaruh dengan sikap Kyra. Gadis yang terbiasa dengan hijab panjang tersebut, kini terlihat lucu dengan rambut pendek sebahunya.

“Sori,” kata Kyra dengan ekspresi menyesal.

Bukannya Kyra tidak ingin berbagi, hanya saja untuk saat ini, dia bingung untuk bercerita dari mana dan tidak ingin makin menambahkan beban pikiran orang lain, terlebih kepada dirinya sendiri. Karena jika makin dipikirkan, maka kepala Kyra jadi ikutan pening nantinya.

“Santai aja kali, Ky. Lagian kalau kamu belum siap buat cerita, jangan dulu aja.”

Hana menarik bahu Kyra supaya berhadapan dengannya. “Tapi jangan pernah ngerasa sendiri, okay?” Dia menjabat tangan Kyra. “Jangan sungkan buat cerita-cerita, ya. Jika beban yang ditanggung seorang diri terasa berat, nggak ada salahnya buat berbagi beban itu biar nggak terlalu berat dipikul sendirian, ‘kan? Dua orang lebih baik daripada seorang.”

Mata Kyra berkaca-kaca. Dia mendekap tubuh Hana yang menerima pelukannya dengan hangat. “Ah, makasih banyak, lho, Han. Pokoknya aku janji, kalau semuanya udah jelas, aku pasti bakalan cerita, kok.”

Hana menganggut paham, dia  mengusap punggung Kyra, menyabarkan. “Iya, Kyra yang aku kenal pasti suka cerita ke sahabatnya kalau emang udah siap buat cerita.”

Dalam pelukannya, Kyra mengangguk tanpa kata. Dia bertekad, jika semua yang menimpanya ini telah dia pahami--maksud dari si pengirim tanpa nama--yang terus-terusan mengirimkannya sebuah paket.

Namun, sekilas pemikiran mengganggu benaknya. Apakah Akalanka dan Alister juga mengalami hal serupa?

•oOo•

Hari berlalu cepat, tak terasa pekan besok, sudah termasuk jadwal Alister untuk berkunjung ke rumah sakit. Maka, sejak malam tiba, karena SMANSA memberikan kelonggaran waktu menjelang akhir pekan, terlebih dengan alasan keluarga Bacthiar yang sudah terkonfirmasi antara pihak sekolah, rumah sakit dan keluarganya sendiri.

Sehingga, mudah saja bagi Alister untuk mengantongi izin dari sekolah untuk menginap di luar asrama saat akhir pekan, tetapi dengan catatan yang biasa dibubuhkan pada surat izin SMANSA jika Alister sudah harus berada di asrama di hari sebelum pembelajaran di mulai, maksimal sebelum pagi hari di hari Senin, dia sudah harus berada di SMANSA.

“Lo mau ke RS?”

Pertanyaan retorik dari Azriel yang sedang duduk santai di ranjang sambil memainkan salah satu  game online,  hanya dijawab oleh dehaman malas Alister. Sontak saja hal tersebut membikin Azriel emosi naik. Namun, untung saja dia bisa menahan diri agar tidak melemparkan gawainya ke depan muka Alister.

Bisa-bisa, bukan hanya uang jajan dari orang tuanya yang kena potong, dia juga kemungkinan tidak akan mendapatkan kompensasi atas kerusakan yang dialami ponselnya nanti. Akhirnya, Azriel memilih tutup mulut. Seperti yang sudah-sudah, dia hanya bisa memendam pertanyaan yang mengganjal sendirian atau melakukan penyelidikan atas rasa penasarannya tanpa sepengetahuan Alister yang memang tampak mustahil untuk direalisasikan.

Azriel tidak menduga jika Alister akan memberikannya buku komik detektif yang belum lama ini dinantikan olehnya tanggal liris komik tersebut. Dia menerima komik itu dengan suka hati, tetapi alarm bawah sadarnya segera memperingatinya. Kalau-kalau Alister tidak mungkin mendadak berhati malaikat seperti sekarang.

Tidak mungkin juga dia merasa bersalah karena udah nelantarin pertanyaan gue sebelumnya, ‘kan? Mata Azriel jadi menyipit ketika berpapasan dengan pemilik mata berdarah dingin. “Kali ini, lo butuh gue buat tutup mulut soal apaan?”

Senyum Alister melebar. “Gue pulang ke asrama pasti ngaret. Tahu, kan, maksudnya apaan?” Dia memamerkan kunci asrama di hadapan Azriel yang memandang sinis padanya. Tentu saja sikapnya itu sama sekali tidak mempengaruhi keputusan Alister.

Azriel mendelik. Saking hafal dengan tabiat minus seorang Alister yang sering dielu-elukan oleh siswa SMANSA, dia mendesah pasrah. “Iye, iye, tahu.” Dia merebut kunci dari tangan Alister, lalu menyimpannya di saku. “Mendingan lo cepet-cepet minggat, deh. Eneg gue,” kata Azriel sambil mendorong tubuh Alister supaya segera keluar dari asrama.

“Heh! Tanpa lo usir juga gue mau cabut sekarang,” balas Alister cepat. Dia mencangklongkan ransel  dan berderap menjauhi Azriel yang tidak lepas mengumpati Alister beberapa kali.

“Astaga, hati gue lapang banget, ya, sampai-sampai bisa tahan temenan sama orang macam Alister,” keluh Azriel.

1825 [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang