Chapter 8

11 3 0
                                    

1825 : azmat
(a)(kl) hebat, ramai sekali

MATAHARI belum mau menunjukkan tanda-tanda muncul, padahal suara dari unggas yang tidak dapat terbang sudah terdengar jelas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

MATAHARI belum mau menunjukkan tanda-tanda muncul, padahal suara dari unggas yang tidak dapat terbang sudah terdengar jelas. Anak kelinci yang terbiasa dirawat dengan baik, bahkan sering diberikan yang terbaik dari yang paling baik, kini harus merasakan kehidupan di luar sangkarnya. Jika tidak segera kabur, justru kelinci tersebut yang akan menjadi mangsa empuk bagi predator yang kelaparan.

Usai melepaskan diri dari kemalangan predator, nasib lain menimpa kelinci yang belum mengalami masa-masa transisi. Entah kesialan atau keberuntungan yang dia dapatkan ketika keberadaannya mulai terendus oleh predator paling berbisa dari ras binatang melata, keberadaannya jadi tersamarkan saat seekor singa jantan bertubuh kekar yang kehadirannya mampu membuat hewan lainnya lari terbirit-birit, mengulurkan pertolongan dengan janji-janji yang tidak bisa ditolak oleh sang kelinci.

Namun, nahas. Saat kelinci sukar dalam beradaptasi dengan hidup  beriringan antara sang pemangsa dan binatang yang kerap dijadikan mangsanya. Kelinci tak bersalah yang hidupnya terombang-ambing oleh ambisi para pemangsa, kini harus berhadapan pula dengan anak-anak sang singa demi bertahan hidup! Jika tidak akur, tamat sudah kehidupan singkatnya yang penuh syukur.

“Tamat, deh.” Kyra menutup bagian ceritanya dengan mengulum senyum lebar.

Zahair yang terus memerhatikan putrinya saat bercerita turut membalas senyuman Kyra. Dia mengusap lembut kepala Kyra penuh kasih sayang. “Kamu mau ikutan grup teater nanti?”

Mata Kyra berbinar cerah. “Boleh, emang?”

“Tentu aja boleh. Kenapa, nggak?” Zahair tertawa kecil hingga membuat matanya ikut melengkung.

“Abisnya Kak Lanka sama Kak Al larang aku ikutan kayak gitu,” keluh Kyra. Dia bukannya manja dengan mengadukan kelakuan kakak-kakaknya, hanya saja  ... kapan lagi dia punya kesempatan untuk membalas bully-an kakak-kakaknya itu, ‘kan?

Lagipula ini bukan ajang balas dendam, kok. Cuma sekadar  ... ya, yang begitulah.

“Alister ikut larang?” Jujur saja, jika larangan itu hanya berasal dari Akalanka, Zahair tidak akan sekaget ini. Mengingat kedekatan Akalanka-Kyra, dia tentu akan sepenuhnya mencoba memahami dari sudut pandang Akalanka sebagai seorang kakak. Namun, jika urusannya berkaitan dengan seorang Alister, Zahair jadi curiga ada udang dibalik selimut. Eh, batu!

Kyra mengedip-ngedipkan matanya. Dia bergerak gelisah dengan tangan yang tidak bisa diam, bergerak kesana-kemari, membetulkan sesuatu yang percuma, seperti melakukan gerakan melipat-lipat daun telinga kanannya. “Hmm  ... ya, gitu, Pa.” Matanya mengerling sesaat. Lalu dia menatap takut-takut pada Zahair, “Intinya mereka gitu, deh. Pada larang ini-itu, jadinya, ‘kan, aku agak kesel. Agak kesel aja, lho, ya, Pa.”

“Yakin, cuma agak kesel?”

“Iiih, Papa! Kok, jadi ikutan ngejek aku, sih,” kata Kyra sambil mengerucutkan bibirnya.

Zahair pura-pura tidak paham dengan kekesalan yang dialami oleh Kyra, dia menampilkan tampang bingung, “Loh, kapan emangnya Papa ngejek kamu? Telinga kamu bermasalah, ya? Ayo, sini, kita ke dokter sekarang.”

Meski tahu jika Zahair hanya melemparkan guyonan padanya, tetap saja ada rasa dongkol—walau tidak sebesar kekesalannya pada dua makhluk itu—tetapi yang namanya kesal, ya, kesal! Kyra lebih mengalah dan membiarkan tawa dari sang Papa mengudara.

Saat tawanya berhenti, Kyra pun menyahut, “Sudah puas, Pa, ketawanya?” Meskipun terdengar sinis, mengingat mereka sudah berada di balkon cukup lama, dia mulai khawatir dengan kesehatan Zahair. Apalagi tadi, Zahair sesekali terbatuk-batuk. “Pa, kita kembali ke dalam aja, yuk?” Tawaran dari Kyra berbuah manis. Zahair menurutinya tanpa menambah-nambahkan banyolan.

Zahair akhirnya pergi dari kamar Kyra saat jam menampilkan pukul sepuluh. Barulah Kyra bergegas untuk mengurusi keperluannya agar segera tidur. Kira-kira sekitar dua puluh menit berlalu, Kyra sudah siap bergelung dengan bunga tidur. Namun, saat hendak menaiki ranjang, lampu kamarnya mendadak padam, bersamaan dengan pemadaman lampu-lampu lain di ruang kamarnya, Kyra mengerjap takut. Dia baru ingat, jika dirinya pernah mendengar percakapan dari pelayan di dapur jika kemungkinan besar genset mereka bermasalah. Padahal tangki solar genset sudah terisi penuh.

Tubuh Kyra melorot ke ubin yang dingin, dengan gemetaran yang hebat, dia mulai kehilangan kontrol dalam mengambil oksigen di sekitarnya. Napasnya jadi terseggal-senggal. Dia menutup mulut untuk tidak menjerit saking ketakutan dirinya sekarang ini. Tangan mungil itu berjalan dengan merangkak, berusaha mencari gawainya yang tiba-tiba berdering. Demi mendapatkan secercah cahaya, Kyra tidak bisa menahan desakan untuk tidak menangis.

Dalam kelam malam yang sunyi, detakan jantungnya yang berpacu cepat makin meningkatkan intensitas kengerian yang memeluknya. Ketika tubuh yang ringkih itu tak dapat lagi bergerak, dengan sisa napas yang makin merenggut kesadarannya dan memori tumpang-tindih yang merekam bagian-bagian mengerikan yang telah dia alami, kian muncul secara bergilir. Kyra makin tak berdaya untuk bergerak.

Maka, saat decitan dari pintu kamarnya yang terbuka, mengingatkan Kyra pada kejadian dulu. Hal yang hingga kini menjadi mimpi buruknya. Walaupun batinnya meneriakkan permintaan tolong maupun permohonan bahwa siapapun orang di balik pintu itu segera pergi, Tuhan tidak mendengarnya.

Kyra segera mengatupkan matanya. Meski Tuhan tidak mengabulkan permintaannya, dia masih bisa berharap kalau-kalau Tuhan bersedia menolongnya. Di tengah rasa takutnya itu, bayangan tentang suara-suara yang mengerikan mulai menghantuinya. Kyra semakin gelisah dan kian merasa sesak.

Bisa kah, aku meminta pada Tuhan supaya membuatku pingsan saat ini juga? Pertanyaan konyol, memang. Namun, kenyataan bahwa ada sebuah tangan yang menyentuh bahunya saat cahaya tidak terlihat sedikit pun, mau tidak mau semakin membuat Kyra panik. Jantungnya saja sudah hampir mau copot rasanya!

“Kyra, ini gue!”

Keringat dingin yang membasahi sekujur tubuhnya dan gemetaran yang kian bertambah tiap detik, kini berangsur menurun. Saat mendengar namanya terpanggil dengan suara familier dan bukannya dilisankan oleh sosok yang paling dia hindari, tanpa banyak kata, dengan sisa tenaga yang Kyra miliki, dia menubrukkan tubuhnya untuk memeluk orang—yang tadi memanggil namanya—dan mengabaikan rasa ego ketika perasaannya tidak sejalan dengan logikanya—yang menyuruh Kyra supaya tidak memeluk sembarangan orang—karena nantinya Kyra pastikan bahwa dia akan menyesali tindakannya kali ini.

1825 [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang