Chapter 20

6 1 0
                                    

1825 : cetera
(n) (kl) : payung

Jajananku
J

angan jauh-jauh nanti lupa aku.


ALISTER memaki angin yang mengenai wajahnya. Segerombolan pencipta ribut itu malah membikin emosi Alister meradang. Pasalnya, lembaran-lembaran kertas yang tengah dibacanya—dengan nama pengiriman dirahasiakan—makin membuat kemurkaannya jadi mendarah daging.

Orang iseng yang mengirimkannya paket berisi data-data pribadi yang bahkan hanya diketahui oleh sedikitnya orang, kian membuat Alister darah tinggi saja. Dia menggeram karena kesal. Tangannya ingin sekali mengoyak  kertas-kertas kurang ajar yang mengisyaratkan bahwa dirinya tengah diawasi, tetapi jika barang tersebut hancur, dia tidak punya bukti kuat jika ingin mengajukan penggugatan.

Mesti tidak tahu tepatnya kapan dirinya mulai diawasi, tetapi Alister berkeyakinan jika orang ini baru saja menyelidikinya baru-baru ini. Ketika dia resmi mengubah marga keluarganya yang dulu.

“Sialan! Apa yang mereka inginkan, huh!”

Dengan kesal, Alister membuang kertas-kertas itu, tidak sampai merobeknya—walaupun dia ingin—namun sudah cukup ampuh untuk mengakibatkan lembaran tersebut berceceran di asrama yang ditinggalinya dengan Azriel. Tanpa sedikit pun adanya niatan untuk menyingkirkan kekacauan akibat ulahnya, Alister memilih untuk merebahkan tubuh di kasur. Ketukan yang berakhir dengan gedoran tak sabaran pun dia abaikan.

“Kampret emang lo!”

Tahu-tahu jaket demin sudah mengenai muka Alister. Dia terpaksa bangun dan menatap nyalang pada pelaku yang melemparkan jaketnya secara sembarangan. “Apaan, huh!”

Azriel berdecap, meladeni orang macam Alister memang membutuhkan kesabaran yang lebih. Makanya, daripada susah-susah menyahuti laki-laki dengan muka suntuk, dia lebih memilih untuk memunguti kertas-kertas yang berantakan. Kemudian, setelah terkumpul, tanpa aba-aba Alister merebutnya begitu saja. Azriel melotot tak percaya.

“Berasa jadi babu banget, ya, jadi gue,” cibir Azriel. Laki-laki itu mempersiapkan diri untuk mandi, dia mengambil handuk dari tumpukkan lemari pakaiannya di sebelah kiri.

“Emang babu. Gitu aja bangga,” balas Alister tak acuh. Dia menyimpan kertas-kertas tersebut pada amplop coklat. Lalu menyimpannya di laci, dekat lemari pakaian sebalah kanan.

“Gini, nih, definisi temen nggak tahu terima kasih.” Azriel kembali mencibir, dia lantas melemparkan pakaian Alister yang ternyata terselip di antara tumpukkan bajunya. “Noh, kebiasaan amat. Salah nyimpen baju.”

Alister berdecap. “Hobi amat, sih, lo lempar-lempar barang ke muka gue. Emang lo kira muka gue apaan, huh?”

Azriel menutup pintu lemarinya agak kasar, dia menyeringai pada Alister. “Muka lo tampang-tampang yang cocok buat sasaran gampar orang,” ungkapnya sambil lalu.

Tanpa menunggu amukan sang singa, Azriel lebih dulu melarikan diri dengan masuk ke kamar mandi. Syukur-syukur dia  tidak mendapatkan luka apa pun, karena tampaknya Alister berancang-ancang untuk memberikan tinjuannya.

“Susah, ya, punya muka ganteng, tuh.” Alister melihat replikasinya di depan cermin.

Dagu yang lancip dengan hidung mancung yang bukan khas Indonesia banget, belum lagi iris matanya yang berwarna menarik, memang menjadi daya tarik seorang Alister. “Ck, wajah ini benar-benar keren. Gen dari Ayah dan Ibu emang nggak sia-sia.”

1825 [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang