Chapter 4

33 6 1
                                    

1825 : ahmak
(a)(kl) bodoh; kurang pikir

JALANAN di Taman Suropati tampak ramai dengan orang-orang yang menghabiskan weekend mereka dengan kunjungan ke salah satu wilayah asri di Menteng

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

JALANAN di Taman Suropati tampak ramai dengan orang-orang yang menghabiskan weekend mereka dengan kunjungan ke salah satu wilayah asri di Menteng. Walaupun awal bulan Oktober merupakan hari-hari paling panas di Jakarta, dengan suhu udara mencapai 40 derajat, taman oval ini tetap dijadikan alternatif untuk healing pun, tidak menjadi pilihan buruk.


Sebagai destinasi pilihan, beberapa bangunan bekas Belanda masih berdiri kokoh menjadi ikonik di Taman Suropati. Belum lagi, patung-patung modern karya artis-artis ASEAN sebagai ajang pertalian seniman ASEAN, tentu saja dapat memanjakan mata bagi pencinta seni, khususnya.

Kyra baru saja menapakkan kakinya di Taman Suropati setengah jam lalu, tetapi tubuhnya sudah banjir oleh keringat. Apalagi udara panas Jakarta memang sedang tidak bersahabat. Berniat untuk menghilangkan gerah hati, malah ditambah dengan gerah body. Huft  ....

“Kyra, ‘kan?” Sapaan itu membuat Kyra berpaling. Manik matanya berpapasan dengan iris abu-abu yang Kyra yakini sebagai salah satu aksesoris mata yang amat dia hindari.

“Emm  ... Calista, bukan?” tanya Kyra agak ragu. Pasalnya, penampilan sederhana dari gadis yang memiliki gelar sebagai primadona sekolah ini membuat Kyra takut dalam mengenali orang tersebut.

Gila, pake pakaian sederhana aja masih keliatan cantik!

Gadis yang memiliki selera dalam menyesuaikan pakaian dengan gaya rambut dan bentuk tubuh itu terlihat rapi dan enak dipandang. Meskipun menggunakan pakaian yang terlihat sederhana, inner beauty yang menghiasi wajahnya dengan senyuman, membuat Kyra merasa silau karena berjalan beriringan dengan perempuan idola sekolahnya.

“Rumah kamu deket sini? Aku baru tahu, lho.”

Rambut panjang milik Calista saja sudah bikin Kyra insecure, apalagi pembawaan Calista yang tampak ramah makin menenggelamkannya dalam lautan kerendahhatian. “Yah  ... bisa dibilang gitu. Kamu sendiri?”

“Hm, nggak juga sih. Rumahku di ujung Jakarta Selatan, dekat Bogor.”

“Kalau gitu, kamu di sini untuk  ...?”

Calista memperlihatkan kantong keresek putih yang ditenteng. Di dalamnya terdapat buntalan yang dibungkus kertas nasi. “Nasi gila!” ungkapnya dengan riang.

Kyra mengangguk maklum. Nasi gila di Taman Suropati memang akhir-akhir ini menjadi tren paling diincar oleh kalangan muda sepertinya. Nasi hangat yang dipadukan dengan potongan bakso, sosis, telur dan sayuran menjadi pilihan paling praktis untuk memanjakan lidah. Apalagi nasi gila dengan level pedas tinggi, sering kali menarik perhatian penggila makanan pedas.

“Mau makan bareng? Yuk!” ajak Calista.

“Ah, nggak-nggak,” tolak Kyra, spontan. Dia melihat enam monumental yang dapat dijadikannya sebagai alasan. “Aku ke sini cuma mau nyari udara segar sekalian ... mau buat essai monumen itu,” Kyra menunjuk salah satu patung buatan seniman Malaysia, “Iya, monumen itu,” katanya, seolah-olah tidak yakin dengan jawaban yang diberikannya.

Walaupun meragukan alasan Kyra, Calista tidak ingin mencampuri urusan orang. Dia akhirnya memilih pergi ketika sudah berpamitan dengan Kyra.

Selepas kepergian Calista, bohong bila Kyra tidak merasa hampa. Dia hanya duduk sambil mengamati sekelompok manusia yang beregu menikmati waktu petang. Kios-kios yang menjajakan makanan dan menawarkan berbagai perintilan mainan anak-anak sudah mulai buka. Para pedangang penjual minuman, tukang bakso, siomay, es krim dan gerai nasi gila sudah banyak disesaki oleh penikmat kuliner.

Kyra termenung, memikirkan reka-ulang kejadian yang kerap menimpanya sejauh ini. Adakalanya Kyra ingin menghentikan waktu, seperti sekarang ini. Dia ingin beristirahat, sejenak saja. Permasalahan yang menimpanya selama satu semester ini, membuatnya seperti menumpangi roller coaster kehidupan.

Sekali saja, Kyra ingin bersandar. Sejenak saja, dia ingin menghirup udara tanpa dilingkupi perasaan resah. Namun, rupanya Tuhan belum membuatnya bernapas lega. Tepat melalui ekor matanya, di arah jam sembilan yang searah dengan putaran jarum jam, sosok yang Kyra selama ini selalu menghantuinya  kembali terlihat.

Jantung Kyra terasa berdentum keras. Matanya melirik dengan panik objek yang paling dia hindari. Ketika sosoknya terbenam bersama keramaian, Kyra belum bisa tenang. Dia mencangklongkan tas selempangnya dan berlari menjauhi Taman Suropati.

Langkah Kyra terburu-buru, akibat memerhatikan orang yang berada di belakangnya, karena ditakutkan jika orang yang dia hindari akan mengikutinya. Keringat sebesar biji jagung sudah bermunculan pada kening dan lehernya. Kyra menyeka sekadarnya. Dia berjalan cepat sambil sesekali menengok ke belakang. Maka, tidak heran jika kakinya pun tersandung.

“Kyra!”

Seruan lantang membuat kaki Kyra membeku. Dia mengeluh dalam hati, tetapi ketika matanya berpapasan dengan orang yang memanggilnya, raut wajahnya tidak dapat menyembunyikan ekspresi takjub. “Oh, astaga! Kamu membuatku jantungan, tahu!”

“Emang kenapa, sih?”

“Bukan apa-apa. Kenapa kamu tahu aku di sini?”

Senyum Akalanka serta-merta melengkung sempurna. Dia mengedipkan sebelah matanya dengan jail. ”Rahasia  ....”

Kyra bersungut. Lantas menarik Akalanka menuju KRL jalur Tanah Abang yang melewati Kebayoran Lama.

“Tunggu-tunggu!” Akalanka menarik tangan Kyra, sehingga menghentikan langkah gadis tersebut. “Kenapa kamu mesti lari ke sini, Kyra?”

Tampak seperti orang linglung. Kyra mengerjapkan matanya beberapa kali. “Huh?” Mata Kyra tidak dapat menipu Akalanka bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan adik perempuannya yang satu ini.

“Kenapa, kamu? Padahal kita bisa pulang dengan mobil. Tuh, mobilnya di sana.” Akalanka balik mengambil lengan Kyra dan menggandengnya menuju arah parkiran di Taman Suropati.

Kyra mengalah dan membiarkan Akalanka menuntun langkahnya. Namun, matanya siaga dengan orang-orang yang dia temui. Khawatir jika kegelisahannya menjadi nyata, lagi-lagi kakinya tersandung dan kali ini tubuhnya pun menubruk punggung Akalanka.

“Sori, sori, Kak. Aku  ... nggak fokus.” Melihat mata Kyra yang mengerling-ngerling ke segala arah, membuatnya menahan bahu Kyra supaya perhatian anak itu tertuju padanya.

“Katakan padaku, Kyra. Sebenarnya, ada apa? Aku merasa jadi Kakak yang buruk dan tak berguna jika kamu tidak membagi kegelisahanmu itu.”

“Anu  ... hmm  ...,” Kyra menutup matanya, perkataan yang ingin dia utarakan, mendadak lenyap. Keinginan untuk membagi keresahannya, adalah hal yang dinantikan sekaligus merupakan hal yang membingungkan untuknya berbagi.

1825 [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang