RISA hanya bisa diam dan melihat, sejak Alva masuk ke kamar kos-kosannya dan mulai berlaku seenak jidat. Mulai dari membuka kulkas dan memasukkan semua buah yang Alva bawa saat datang ke sana. Lalu, membuka lemari pakaian yang berisi pakaian dan beberapa alat masak yang Risa sembunyikan untuk mengecek apa saja yang ada di dalam. Dan yang terakhir, pria itu dengan santainya merebahkan tubuhnya tanpa beban di ranjang single milik Risa.
Risa sempat takut saat mengetahui Alva-lah yang mengetuk pintu kamarnya beberapa saat lalu. Terlebih saat pria itu memaksa untuk masuk ke dalam kamarnya. Dia sempat berpikir, Alva ingin mereka melakukannya lagi di sini. Namun, dugaannya sirna begitu Alva hanya melihat-lihat saja lalu rebahan di ranjang singlenya sambil tertawa pelan.
"Tempat lo kecil, tapi nyaman. Gue boleh nggak ikutan tinggal di sini sama lo?" tanya Alva sambil melirik Risa yang masih mematung di tempat semula.
Risa menarik napas panjang, kemudian menjelaskan secara perlahan, "Kos ini khusus buat perempuan. Kalau lo emang mau ngekos, lo bisa nyari kos-kosan lain di luar sana."
Alva berdecak sebal. "Ngapain gue ngekos di tempat lain, kalau nggak ada lo di dalamnya?"
Risa mengernyitkan dahi. "Maksudnya gimana?"
"Iya ... buat apa gue ngekos di tempat lain, kalau lo nggak ada di sana, Risa? Kita nggak akan bisa ngapa-ngapain kalau nggak bersama-sama, iya, kan?" Alva mengedipkan sebelah matanya yang lantas membuat Risa memalingkan muka.
Perempuan itu berjalan mendekati lemari es kecil miliknya, lalu mengambil sebuah sendok yang tadi dia letakkan di freezer. Kemudian, dia menempelkan sendok dingin itu ke bekas-bekas ciuman yang Alva tinggalkan semalam.
"Lo lagi ngapain?" tanya Alva dengan dahi mengernyit.
Dia heran melihat Risa memakai kaus turtleneck panjang siang-siang begini. Namun, lebih mengherankan lagi saat melihat perempuan itu meletakkan sendok dingin itu ke kulit lehernya yang sejak tadi tertutupi kerah kaus panjangnya.
"Ngilangin tanda yang lo bikin," jawab Risa pendek tanpa berbalik.
Alva turun dari ranjang dan mulai mendekati Risa dengan rasa khawatir. "Kenapa mau dihilangin? Nggak sakit, kan?"
"Enggak sakit, cuma bikin gue malu aja." Risa menatapnya dengan wajah sebal. "Gue nggak mungkin ngantor dengan keadaan leher kayak gini, kan?"
"Nggak masalah, kan? Lo tinggal bilang sama orang-orang yang nanya, kalau bekas itu hadiah dari kekasih yang paling lo sayangi di luar sana."
Alva menyeringai, kalau Risa melakukannya maka itu berarti dia mengakui Alva sebagai kekasihnya yang lebih dia sayangi daripada Alan berengsek di seberang sana.
"Kekasih gue ada di luar kota," jawab Risa pendek sembari memutar bola matanya bosan.
Alva mendengkus keras, dia memutar otak sebelum membalas, "Maka dari itu, mereka juga nggak akan ada yang tahu kalau tanda itu beneran dari pacar lo atau bukan, kan?"
"Tapi Ralf pasti tahu," sahut Risa dengan wajah malas memandangi Alva.
Alva langsung bungkam mendengar nama salah seorang teman baiknya itu dibawa-bawa dalam percakapan mereka.
"Ralf tahu, gaya pacaran gue sama Alan nggak sampai kayak gitu. Jadi, mustahil gue bisa lolos dari dia." Risa menghela napas kasar. "Ralf udah kayak kakak gue sendiri selama ini, kalau dia sampai tahu kelakuan gue ternyata nggak beda jauh sama lo, dia pasti kecewa setengah mati.
"Dan lagi, Alan katanya mau ke sini. Gue nggak mungkin bisa biasa aja waktu dia datang dan ngelihat keadaan gue lagi kayak gini, kan?"
Alva menghela napas panjang. Dia kemudian menarik sendok di tangan Risa dan mengembalikannya ke dalam kulkas. Tanpa Risa duga, Alva langsung memeluk tubuhnya dengan erat.
"Alan nggak akan datang ke sini," bisiknya di telinga Risa. "Dia yang bilang sendiri. Maka dari itu, dia nyuruh gue buat gantiin dia ngelihat keadaan lo hari ini."
Risa mematung beberapa saat. Hal seperti ini memang bukan yang pertama kalinya dilakukan oleh Alan. Hampir satu bulan terakhir ini dia tidak pernah bertemu dengan Alan dan sebagai gantinya, Ralf yang akan datang untuk mengunjungi dan melihat bagaimana keadaannya. Itulah kenapa, dia dekat dengan Ralf sampai bisa menganggap pria itu layaknya kakak sendiri.
Namun, pada akhirnya dia mengerti kenapa Alan tidak pernah lagi datang mengunjunginya. Terlebih, setelah dia pergi mengunjungi Alan kemarin dan melihat langsung dengan kedua bola matanya, kalau kekasihnya sudah memiliki wanita lain di luar sana. Itu mengapa dia tidak begitu peduli lagi pada Risa.
Risa menghela napas panjang. Sekarang dia tahu, kenapa Alva bisa berada di kos-kosannya siang ini. Karena Alan yang meminta Alva untuk mengecek kondisinya, lantaran dia sendiri tidak bisa datang untuk memastikan kondisi Risa dengan kedua bola matanya sendiri.
"Ck, menggelikan!" komentar Risa sembari melepaskan pelukan Alva di tubuhnya. "Gue nggak tahu, sebenarnya apa yang ada di otak sepupu lo itu. Kalau dia emang nggak peduli sama gue lagi dan udah punya yang baru, kenapa dia nggak mau ngelepasin gue dan bahagia sama wanita pilihannya itu?
"Kenapa dia malah ngikat gue dengan pertunangan yang pada akhirnya hanya akan sia-sia aja, karena dia udah nggak cinta lagi sama gue, kan?"
Alva hanya diam. Dia juga tidak tahu apa alasannya. Namun, dia juga tidak akan bisa melepaskan Risa begitu saja, karena perempuan itu teramat luar biasa untuk bisa dimiliki oleh pria mana pun yang beruntung mendapatkan hatinya.
"Kalau memang begitu, kenapa bukan lo aja yang mutusin hubungan kalian berdua?" tanya Alva kemudian. "Lo punya lebih dari sekadar alasan buat melakukannya, kan? Lo juga bisa melawan semua argumen dia, tapi kenapa lo lebih memilih buat bertahan?"
Risa menarik lepas tubuhnya dan menjauh dari Alva saat membalas, "Gue mau ngasih satu kesempatan lagi buat dia." Risa mendesah panjang. Satu kesempatan terakhir untuk Alan membuktikan perasaannya yang sebenarnya pada Risa
Alva mengernyitkan dahi dengan tatapan curiga. "Maksud lo gimana?"
"Kalau apa yang dia rasain ke gue beneran cinta. Dia akan memaafkan semua kesalahan yang udah gue buat sama lo. Terlebih karena dia juga melakukan hal yang sama dengan wanita lain. Tapi, kalau dia marah dan langsung menyerah, gue akan minta dia buat berhenti dan nggak lagi gangguin hidup gue buat selamanya lagi."
Alva berdecak kesal mendengar kata-katanya. Entah perempuan ini yang terlalu baik atau bodoh, karena perasaannya sendiri. Sudah tahu dirinya dikhianati, bukannya tegas seperti yang biasa ia lakukan selama ini, malah dia menjadi perempuan yang terlalu ragu mengambil keputusan untuk hubungannya sendiri.
Ataukah ... ada sesuatu yang membuat Risa tidak bisa melepaskan Alan begitu saja? Misal harta, sifat, atau Alan sendiri misalnya.
Alva berdecak sekali lagi. Kenapa lo lebih suka jalan yang susah, kalau ada jalan yang lebih mudah buat lo, Sa? Cukup lo putusin dia dan lihat gue sebagai sebagai pria yang layak lo cintai. Gue bakal bikin lo bahagia sampai mati!
Benar, dia mencintai Risa. Dia juga mendapat secuil kesempatan yang ada. Kalau dia bisa memenangkan hati Risa dan membuat perempuan itu menjadi miliknya.
Alva bersumpah akan membuat hidupnya bahagia. Dia tidak akan melukai, bahkan menduakannya seperti apa yang Alan lakukan padanya.
____
Aneh nggak, sih? Nggak masuk akal, ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
One Night Love (REPOST)
Romance[Follow me first] Pengkhianatan tunangannya, membuat Risa mengiyakan ajakan kencan semalam yang diajukan teman sekantornya, Alva. Playboy yang keberadaannya ia manfaatkan untuk membalas perselingkuhan Alan. Akankah semuanya berjalan baik-baik saja s...