ALVA tidak tahu harus memulai percakapan ini dari mana, tapi dirinya sangat penasaran dengan alasan yang telah membuat Risa menangis setengah jam di kamar mandi kos-kosannya.
Pria itu masih membawa mobilnya melaju hingga hampir mencapai perbatasan kota. Kepalanya sesekali melirik Risa yang masih terdiam dengan tatapan hampa terarah ke luar jendela. Bahkan, saat Alva memutar mobilnya dan kembali ke tempat semula. Risa tak berkata apa-apa, seperti dia tidak menyadari ... atau dia memang tidak melihatnya.
Alva menarik napas panjang, lalu mengembuskan napasnya perlahan. Tangannya terulur menyentuh puncak kepala Risa yang sontak membuat perempuan itu menoleh ke arahnya. Dia membelai puncak rambut Risa dengan lembut sambil menatap jalan raya dan sedikit mengurangi kecepatan mobilnya.
Pria itu menoleh, lalu tersenyum tipis. "Lo mau ke mana?"
"Hm ...." Risa menggeleng pelan. "Gue nggak tahu. Gue cuma mau ke tempat yang bisa bikin gue merasa tenang," akunya jujur.
Alva mengangguk mengerti. Dia menarik tangannya kembali dan membawa mobilnya melaju agak cepat menuju taman kota yang berada di dekat tempat mereka saat ini.
"Pergi ke taman kayaknya romantis banget buat kencan pertama kita malam ini, Sa?" ujarnya asal-asalan sesaat setelah mesin mobil ia matikan.
Risa tersenyum tipis. "Romantis banget, apalagi kalau sepi, nggak ada orang lagi selain kita berdua di sini."
Alva membuka pintu, lalu berlari mengitari mobil guna membukakan pintu untuk Risa. Dia melirik sekitarnya dan berkata, "Sayangnya, di sini ada cukup banyak orang, nggak cuma ada kita berdua."
Risa tersenyum lebar, senyuman yang tampak lebih tulus dari sebelumnya. "Tentu aja, karena ini realita, bukannya cerita novel apalagi film romansa. Yang kayak gitu cuma ada di dalam cerita, realitanya, mau pagi, siang, sore, bahkan malam, tempat ini pasti ada pengunjungnya."
"Kalau gitu, kenapa lo mau turun tadi? Bukannya lo mau nyari tempat yang bisa bikin lo tenang hari ini? Apa kita perlu ke perpustakaan negara aja? Biar lo bisa tenang di sana?" sarannya dengan nada menggoda. Dia menutup pintu mobil dan berdiri tegap di samping Risa yang kini menatapnya dengan wajah malas.
"Kenapa nggak sekalian nyaranin buat ke kuburan aja, sih, Va?" Risa mendengkus dengan keras, tapi reaksi itu malah membuat Alva tertawa karenanya.
"Kalau gue nyaranin lo ke kuburan, berarti gue lagi ngusulin supaya kita berdua mati dan dikubur bareng di sana. Apa lo mau kayak Romeo sama Juliet gitu mungkin? Biar cinta kita kekal, abadi, sampai mati."
Risa membuang muka. "Lo tahu gue nggak cinta sama lo," katanya tiba-tiba.
"Tentu aja gue tahu. Kalau lo emang cinta sama gue, sekarang kita berdua pasti udah nikah dan mungkin udah punya banyak anak, Sa." Alva tersenyum miring.
Tentu saja, Alva mengerti hal itu. Risa bukanlah orang yang mudah jatuh cinta dan juga mudah terbuka pada orang lain. Perempuan itu memiliki pendirian yang keras, sama seperti isi hati dan perasaannya yang sulit digerakkan untuk jatuh cinta pada pria mana pun yang ada di dekatnya.
Bahkan, hanya dalam sekali lihat saja Alva bisa tahu, kalau Risa tidak pernah jatuh cinta pada sepupunya sebelum ini. Namun, entah kenapa Risa tetap bertahan dan terus berjuang untuk tetap bisa berdiri di sisinya.
Alva tidak mengerti alasannya, tapi yang jelas semua itu bukanlah cinta.
"Va! Gue sama sekali nggak bercanda sama lo!" Tanpa Alva duga, Risa membentak dan tampak sangat marah saat membalas kata-katanya. "Gue beneran nggak cinta sama lo, tapi kenapa lo bisa dengan mudahnya bilang, kalau cinta kita bakal kekal abadi sampai mati kayak cinta Romeo dan Juliet, hah?!"
Risa tertawa mengejek. "Beneran lelucon yang menggelikan. Cinta? Emangnya itu makanan apa?" Perempuan itu tertawa mendengar kalimatnya sendiri.
Alva hanya diam. Tangannya terulur pelan, menyentuh bahu Risa yang kemudian ditepis dengan kasar. Pria itu menarik napas, lalu mengembuskan napasnya dengan berat. "Apa gue kelihatan kayak lagi bercanda? Gue ngomong yang sebenarnya."
"Sebenarnya? Gue nggak cinta sama lo."
Kata-kata itu semakin dipertegas dan diperjelas. Alva merasa dadanya sesak. Dia tidak ingin mendengarnya lagi, karena dia tahu betul, Risa memang tidak mencintainya, tapi dia yang mencintai perempuan itu dalam diamnya.
Dia yang hanya bisa membual, merayu, menggoda, dan ingin sekali memilikinya, tapi dia tidak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Alva menarik Risa dengan paksa ke dalam pelukannya.
Risa memberontak dan lagi-lagi berteriak, "Gue nggak cinta sama lo!"
"Gue tahu ... gue tahu, Sa." Alva semakin mengeratkan pelukannya, memaksa Risa untuk berhenti berpura-pura tegar dan baik-baik saja hingga akhirnya perempuan itu terisak dan kembali menangis untuk kedua kalinya. "Gue tahu lo nggak cinta sama gue. Gue tahu itu, karena gue kenal lo, makanya gue yakin, lo nggak akan pernah jatuh cinta pada siapa pun. Gue ngerti, gue nggak akan maksa lo buat cinta sama gue, gue juga nggak akan bikin lo sakit hati dan apalagi sampai kecewa kayak gini. Jadi, biarin gue tetap jatuh cinta ke lo seorang diri."
Risa menghentikan air matanya. Wajahnya mendongak, menatap Alva yang tengah tersenyum penuh ketulusan dan juga kepedihan di kedua bola matanya.
"Lo cinta sama gue? Lo suka sama gue? Nggak mungkin," tanyanya dengan nada tidak percaya.
"Apa selama ini lo nggak bisa lihat sendiri?" Alva tersenyum pedih. "Mungkin, karena salah gue yang nggak pernah bisa bilang semua ini langsung ke lo. Gue tentu aja nggak bisa bilang, setelah gue tahu lo udah tunangan sama Alan. Apalagi, setelahnya gue pernah nawarin lo ranjang dan lo tolak habis-habisan. Waktu itu, gue ngaku salah, gue nggak seharusnya mikir kalau lo cuma mainan Alan yang sebentar lagi akan dibuang. Gue ...."
Alva menggigit lidahnya kelu. Kesulitan mencari kata dan menyambungnya menjadi kalimat yang utuh untuk mengungkapkan semua yang dirasakannya pada perempuan dalam dekapan tubuhnya ini.
"Lo bener, gue emang mainan sepupu lo itu yang udah dibuang. Gue kira dia bakal setia, walaupun gue nggak lagi ada di sisinya. Kenyataanya? Sama aja. Apa yang menurut gue udah sempurna dan semuanya akan berjalan baik-baik saja hancur dalam hitungan detik, tepat setelah gue lihat sendiri semua kelakuannya."
Risa menelan ludah susah payah.
"Harusnya, putus hubungan sama dia adalah hal yang paling wajar. Kenyataannya gue nggak bisa. Waktu itu gue lari, milih jadi perempuan bodoh yang nggak tahu apa-apa, dan biarin dia ngelanjutin semua pengkhianatannya. Sampai hari ini, gue akhirnya bisa nulis lima huruf itu buat dia."
Risa menelan ludahnya susah payah. "Sebuah kata terakhir yang akhirnya bikin gue yakin, kalau selama ini ... gue udah jatuh cinta sama dia, Va."
KAMU SEDANG MEMBACA
One Night Love (REPOST)
Romance[Follow me first] Pengkhianatan tunangannya, membuat Risa mengiyakan ajakan kencan semalam yang diajukan teman sekantornya, Alva. Playboy yang keberadaannya ia manfaatkan untuk membalas perselingkuhan Alan. Akankah semuanya berjalan baik-baik saja s...